Soal Tapal Batas, Pemkab Bolmong Tetap Mengacu Pada Putusan MA

BOLMONG–Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Bolaang Mongondow (Bolmong) tetap mempertahankan tapal batas wilayahnya, yang sebelumnya di klaim masuk Kabupaten Bolaang Mongondow Selatan (Bolsel).

Hal ini setelah adanya hasil putusan Mahkamah Agung (MA) Republik Indonesia (RI), terkait Juducial Review yang diajukan beberapa waktu lalu oleh Pemkab Bolmong.

“Tapal Bolmong dan Bolsel, kami tetap berpegang pada putusan MA Nomor 75 P/HUM/2018,” ungkap Asisten I Pemkab Bolmong Deker Rompas kepada awak media, usai mengikuti video coverence bersama Direktur Toponimi dan Batas Daerah Kemendagri Sugiarto SE M Si, Jumat (2/7), di ruang kerjanya.

Deker optimis, sebagian wilayah milik Bolmong akan dikembalikan.

“Judicial review yang diajukan, merupakan proses upaya langkah hukum yang sudah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku,” kata Deker.

Ia menjelaskan, masalah ini bergulir setelah Pemkab Bolmong terlibat perselisihan batas daerah dengan Kabupaten Bolsel.

“Hal itu kemudian difasilitasi oleh Gubernur Provinsi Sulawesi Utara (Sulut) Olly Dondokambey. Namun, dalam setiap pertemuan, untuk upaya mediasi, Pemkab Bolsel tidak mengakui batas wilayah daearah milik Kabupaten Bolmong. Meskipun masyarakat setempat tetap mengakui batas daerah yang telah disepakati melalui proses adat,” jelasnya.

Lanjutnya, judicial review yang dikabulkan, dijelaskan pada Permendagri nomor 40 Tahun 2016. Dimana sama sekali tidak mengadopsi kesepakatan adat tahun 2004 dan tahun 2008. Kemudian, pada Pasal 2 Permendagri 40 Tahun 2016 secara eksplisit memunculkan titik-titik koordinat baru yang memotong wilayah kesepakatan awal yang jumlahnya terdapat 4 titik yaitu kode TK 4, TK 5, TK 6 dan TK 7.

Sehingga, akibatnya kata Deker, sebagian besar wilayah yang sebelumnya adalah wilayah Bolmong ditarik jauh dan masuk ke dalam wilayah administratif Kabupaten Bolsel.

Dengan itu, bahwa tidak mengadopsi kesepakatan adat yang telah ada sebelumnya, dimana penentuan titik-titik koordinat baru yang diatur dalam Pasal 2 Permendagri 40 Tahun 2016 tidak didasarkan pada data penelitian faktual di lapangan.

“Semestinya titik-titik batas yang baru tersebut harus ada dasar penelitian survey/pengecekan lapangan. Akibatnya, tidak ada kepastian hukum bagi hak-hak Pemkab Bolmong,” jelas Deker.

Ditambahkannya, pada Pasal 1 ayat 5 Permendagri Nomor 40 Tahun 2016 menyatakan, titik koordinat kartometrik yang selanjutnya disingkat TK adalah koordinat hasil pengukuran posisi titik dengan menggunakan peta dasar. Sedangkan dalam Permendagri Nomor 76 Tahun 2012 dalam penjelasannya menyatakan, jika batasnya adalah pertemuan lebih dari dua batas daerah, maka dilakukan pengukuran titik koordinat batas pada pertemuan batas (titik simpul) secara kartometrik.

“Sehingga hal ini menunjukan bahwa titik TK dalam Permendagri Nomor 40 Tahun 2016 ada permasalahan, karena sejatinya hanya TK 1 lah yang merupakan pertemuan lebih dari dua daerah sebagai titik simpul yaitu pertemuan batas Kabupaten Bolmong dan Kabupaten Bolsel dan Kabupaten Bolmut,” kata Deker.

Sedangkan 6 TK yang lain hanya merupakan pertemuan antar dua daerah yaitu Kabupaten Bolmong dan Kabupaten Bolsel. Akibat terbitnya Permendagri 40 Tahun 2016, Pemkab Bolmong harus menghadapi persoalan faktual yang telah terjadi di lapangan, antara lain hilangnya asset daerah berupa wilayah yang berpotensi tinggi mengandung sumber daya alam (SDA).

“Tentu dengan adanya kehilangan asset daerah ini akan mempengaruhi pemasukan daerah yang berpengaruh langsung kepada kesejahteraan warga Bolmong,” jelasnya.

Adapun dengan terbitnya Permendagri 40 Tahun 2016, menurutnya, justru seolah meniadakan dan menganggap hukum adat (kesepakatan adat) sama sekali tidak ada. Sehingga hal ini yang ditanggung Pemkab Bolmong, akibatnya timbul konflik sosial di lapangan.

“Pada prinsipnya, beginilah isi judicial review yang diajukan Pemkab Bolmong ke MA,” terangnya.

Dengan adanya judcial review ini, sehingga Pemkab Bolmong tetap akan berpegang pada putusan MA.

“Karena apa yang diputuskan itu, semua sudah diuji atas nama lembaga,” tegas Deker.

Diketahui, dalam rapat dengar pendapat (RDP) melalui vidcon, pihak Pemkab Bolsel sendiri tidak hadir.

(Yudi Paputungan)

 

Komentar