Catatan Perjalanan Wilken dan Schwarz di Bolaang Mongondow (Bag. 3)

Oleh.

Murdiono Prasetio A. Mokoginta

Negeri Soemojit dan penduduk Bantik diberikan bab khusus oleh Wilken dan Schwarz dalam catatan Madedeelingen Van Wage Het Nederlandsche Zendelinggenootschap Th. 1867. Mereka menulis, “Ten oosten, circa 1 paal van Bolaang verwijderd, aan de Soemojit ligt de negerij van dien naam. De weg derwaarts loopt over eene vlakte op geringen afstand langs de vorstelijke begraafplaats, waarvoor juist geen bijzondere zorg gedragen wordt.”

“Di sebelah timur, sekitar 1 paal (1 paal= 1–1,5 Km) dari Bolaang, di Soemojit terletak sebuah negeri dari nama itu. Jalan di sana mengarah ke dataran agak jauh melewati kuburan agung, yang tidak dilakukan perawatan khusus.”

Orang Bantik di Negeri Soemojit

Saat tinggal di wilayah Kerajaan Bolaang Mongondow, di antara negeri yang dikunjungi langsung oleh Wilken dan Schwarz adalah negeri Soemojit tempat tinggal imigran Bantik. Dalam penglihatan mereka, kondisi tata wilayah dan pemukiman negeri Soemojit masih lebih elok dipandang dibanding pusat kerajaan di Bolaang.

Di Soemojit terdapat 28 rumah yang berdiri di kedua sisi jalan yang lebar. Penduduk yang tinggal di Soemojit adalah imigran Bantik yang berada di bawah kekuasaan Raja Bolaang Mongondow. Menurut tradisi lisan di sana (masa Wilken dan Schwarz) nenek moyang penduduk Bantik di sana berasal dari Manado yang ikut bersama Raja Loloda Mokoagow sejak pertengahan abad ke-17.

Diceritakan bahwa pada tahun 1689 saat Raja Loloda Mokoagow mundur dari tahta kerajaan, beliau telah memerintahkan penduduk Bantik di Soemojit untuk kembali ke keluarga mereka di Minahasa. Mereka mematuhi perintah Loloda Mokoagow dan kembali ke sana. Namun saat mereka sampai kembali di Minahasa, mereka hanya menggusur negeri mereka sendiri, dan tetap kembali lagi ke negeri Soemojit. Penduduk Bantik yang tinggal di Soemojit lebih sedikit dibanding dengan penduduk di kampung halaman mereka di Manado.

Wilken dan Schwarz membandingkan dengan tradisi lisan Minahasa yang justru berbeda dari versi di atas. Versi Minahasa sendiri mengatakan bahwa orang Bantik yang berada di negeri Soemojit itu adalah pelarian dari Minahasa yang datang ke Bolaang Mongondow pasca kematian pangeran mereka di Maaron dekat Kema. Apa penyebab kematian pangeran ini?,, tidak dijelaskan secara rinci oleh Wilken dan Schwarz.

Menanggapi dua versi ini, secara terus terang Wilken dan Schwarz tidak menghakimi pendapat mana yang menurut mereka ‘suatu kebenaran’, berdasar riset yang dilakukan. Mereka mengatakan bahwa asal-usul Bantik yang tinggal di Soemojit memang tidak diketahui secara jelas hingga kedatangan mereka ke sana.

Meski demikian mereka masih memiliki kesamaan bahasa, kebudayaan dan adat istiadat dengan orang Bantik di Manado. Bantik di Soemojit juga telah banyak yang memeluk agama Islam karena hasil perkawinan campur dengan penduduk asli di kawasan Bolaang. Mereka hidup berdampingan dengan damai dan aman saat tinggal di Soemojit.

Kehidupan masyarakat Bantik di Soemojit bergantung pada pertanian, terutama menenam padi. Mereka menaruh hasil panen padi di gudang belakang rumah-rumah mereka dan diletakan di kulit pohon. Selain padi, hasil pertanian padi di sana antara lain jagung, kakao, sedikit tembakau, dan menganyam tikar.

Adapun peternakan, di sana terdapat jenis hewan seperti ayam, babi, kambing, dan kerbau yang mereka konsumsi dan lainnya dijual kepada orang-orang Bolaang atau Mongondow. Umumnya kehidupan mereka tidak jauh berbeda dengan kehidupan penduduk asli di pesisir Bolaang.

Imigran Minahasa di Kerajaan Bolaang-Mongondow

Pada 28 Juni 1866, Wilken dan Schwarz melanjutkan penjelajahan mereka di beberapa wilayah Kerajaan Bolaang Mongondow, lebih khusus di tempat tinggal imigran Minahasa di sana.

Perjalanan hari itu untuk mengetahui kondisi sosial serta sejarah adanya imigran Minahasa yang kini hidup dengan damai di wilayah itu. Mereka merasa perlu mengabadikan momen perjalanan dalam catatan laporan mereka yang kelak akan memberi informasi penting untuk para petinggi-petinggi NZG di Batavia.

Dari hasil pendalaman tentang sejarah kedatangan imigran Minahasa, ke dua orang ini mencatat dengan pasti bahwa gelombang pertama imigran Minahasa yang kini tinggal di wilayah kerajaan adalah Alifur dari Minahasa yang datang ke negeri Bolaang-Mongondow sejak abad ke-17 di masa Raja Loloda Mokoagow. Adapun gelombang ke dua baru datang pada abad ke-18 di masa Raja Salomon Manoppo.

Para imigran ini datang ke Bolaang Mongondow karena tidak puas dengan pemerintahan kepala-kepala suku mereka yang ada di Minahasa. Karena itu mereka memutuskan meninggalkan kampung halaman dan mencari kedamaian di Kerajaan Bolaang Mongondow meski berbeda budaya dan adat istiadat dengan tempat asal mereka.

Imigran Minahasa pertama yang tinggal di Kerajaan Bolaang Mongondow berasal dari Tomboriri, Sonder, Langowan, Kawangkoaan. Di pantai Bolaang mereka mendiami tiga negeri yaitu Mariri Lama, Mariri Matani, dan Nanasi.

Penduduk Mariri kebanyakan berasal dari Tomboriri. Itulah mengapa nama tempat tinggal mereka dinamakan Mariri yang sama dengan nama negeri asal mereka di Minahasa ‘Tomboriri’.

Pun di Nanassi tinggal imiran Minahasa yang umumnya berasal dari Sonder, Langowan, dan Kawangkooan. Mereka meninggalkan semua duka mereka di Minahasa dan diterima dengan tulus sebagai rakyat oleh Raja Bolaang Mongondow dengan kewajiban membayar upeti dan kewajiban-kewajiban lain yang ditentukan Kerajaan.

Setelah imigran gelombang pertama, Wilken dan Schwarz menulis bahwa dalam beberapa tahun terakhir sebelum kedatangan mereka di negeri Bolaang, beberapa keluarga dari distrik Tompasso telah melarikan diri dari Minahasa dan memilih tinggal di Poppo yang berada di pedalaman Mongondow dan lainnya tinggal di wilayah pesisir Bolaang tepatnya di Mariri dan Nanasi. Diperkirakan imigran dari Tompoasso ini berjumlah sekitar 700 sampai 800 jiwa.

Meski jauh dari kampung halaman mereka di Minahasa, para imigran ini tetap mempertahankan tradisi, kebudayaan dan adat istiadat mereka yang lama. Mereka menganut agama nenek moyang dan menggunakan bahasa Minahasa dalam berkomunikasi.

Perjalanan Ke Mariri

Wilken dan Schwarz menuju negeri Mariri dengan menunggangi kuda melewati pesisir pantai ke Tandjung Kakoemi, mendaki pegunungan, menyusuri jalan-jalan sempit di sana yang terjal dan berbatu.

Sesekali mereka berhenti sambil melihat tingginya gunung dan keindahan lembah yang memanjakan mereka dengan pemandangan laut, hutan dan ladang. Dalam perjalanan mendekati negeri Mariri terlihat petani-petani di sana yang memanen hasil perkebunan mereka.

Para petani mengelolah kebun mereka seperti para pekebun dari Minahasa. Kebun mereka terlihat lebih tertata bila dibanding milik para petani Bolaang. Hasilnya pun juga cukup berbeda di mana panen kebun milik imigran Minahasa di sini lebih banyak dibanding hasil kebun milik penduduk asli.

Pada jarak setengah paal (sekitar 750 – 500 meter) sebelum memasuki Mariri, mereka berdua disambut oleh suruhan dari kepala negeri yang menunggu mereka di hutan dan langsung menanyakan ke mana tujuan dua orang ini, apakah ke Mariri-Lama atau Mariri-Matani?, mereka pun akhirnya memasuki negeri bersama suruhan itu.

Mariri Matani

Negeri yang pertama mereka kunjungi adalah Mariri Matani (selanjutnya Matani). Mereka disambut dengan ramah oleh penduduk di sana. Para pria di negeri itu memakai pakaian terbaik mereka. Rumah-rumah dihiasi kain katun merah, putih, dan warna-warni lain untuk menyambut tamu. Bagi penduduk Matani, ini adalah sebuah sejarah baru di mana untuk pertama kalinya ada orang Belanda yang datang di negeri mereka.

Kepada kepala negeri dan masyarakat Matani Wilken dan Schwarz menayakan, apakah mereka ingin didirikan sekolah sebagaimana yang ada di Minahasa. Mereka menjawab pertanyaan itu dengan suka cita. Mereka dengan senang hati menyambut usulan ini karena ada banyak sekali anak-anak yang ingin belajar di sana.

Penduduk yang tinggal di Matani umumnya berasal dari Arakan Tomboriri dan Tumpaan di Sonder. Para petinggi-petinggi Matani terwakili dari dua suku ini. Hukum Tua adalah keturunan Tomboriri dan Hukum Kedua dari Sonder.

Kepala suku yang lebih rendah, dia disebut Toea-oe-loekar (sesepuh atau tetua penjaga) seperti di Tomboriri, dan dua kepala-i-loekar (kepala penjaga), seperti di Sonder. Selain itu ada juga dua Maweteng (distributor). Dua kepala pertama ini tak memiliki penghasilan dan hanya menerima bantuan dari seluruh penduduk lima kali dalam setahun, sedangkan dua lainnya hanya dua kali dari yang berada di bawahnya.

Di Matani terdapat 31 rumah dengan 71 rumah tangga. Mereka membayar kepada pemerintah sebesar f130 per tahun. Kepada raja mereka menyerahkan f35, dan 35 gentang padi dan 3500 buah paduan suara Turki setiap tahun.

Mereka tinggal di atas medan tanah yang bergelombang di mana rumah-rumah mereka tersebar acak. Kemiskinan mereka tidak jauh berbeda dengan orang-orang yang ada di negeri Bolaang. Hewan-hewan ternak dibiarkan bebas berkeliaran di halaman-halaman rumah. Adapun hewan-hewan liar juga kadang masuk ke desa meningkatkan kewaspadaan penduduk terhadap keadaan ini.

Sebagai pengabdian kepada raja mereka harus memelihara jembatan menuju Bantik, menjaga jalan-jalan di Bolaang, dan menandu (memikul) raja bila melakukan perjalanan ke pedalaman Mongondow. Para penduduk di sini tidak merasa bahwa Raja dan pembayaran pajak itu menindas mereka. Sebaliknya mereka memiliki alasan untuk tinggal di sini dan mencari nafkah penghidupan yang damai dan aman.

Wilken dan Schwarz memiliki pandangan lain. Menurut mereka Raja Bolaang Mongondow sebenarnya melakukan penindasan terhadap penduduk di sana meski penduduk Mariri Lama dan Mariri Matani tidak merasa demikian.

Menurut dua orang ini, sebagai orang asing di tanah Kerajaan, penduduk di sini lebih tertindas dibanding penduduk asli Bolaang di mana Raja bersama keluarga besarnya seringkali mengambil keuntungan yang banyak dari mereka. Setiap tahun pasca panen padi, Raja dan koleganya mengirim potongan kapas ke Hukum Tua Mariri Lama dan Mariri Matani yang harus mereka bagikan kepada penduduk. Sebaliknya penduduk dua negeri ini harus mengirimkan beras sesuai takaran kepada Raja dan keluarganya.

Menurut Wilken dan Schwarz ini sangat tidak adil. Penduduk di sana bisa saja mendapatkan potongan kapas ini hanya dengan harga yang murah dari pedagang-pedagang Cina dengan harga f13 sampai f15. Sementara mereka harus mengirim beras kepada raja tepat pada waktunya. Harga segentang beras di Bolaang adalah f0,8. Sementara potongan kapas yang dikirim oleh raja kepada mereka untuk ditukar dengan beras dirasa tidak ada gunanya sama sekali. Bahkan sebelumnya raja pernah menuntut 50 gentang beras untuk sepotong madapollam dan 20 sampai 25 gentang untuk sepotong kapas biru.

Mariri Lama (Waleoere)

Mariri Lama juga biasa disebut ‘Waleoere’ oleh dua penduduk negeri di sana. Waleoere memiliki arti sebagai ‘rumah tua’, tempat tinggal lama karena di negeri inilah tempat awal penduduk Mariri tinggal, termasuk penduduk yang ada di Mariri Matani. Di sini terdapat 20 rumah dengan 40 rumah tangga. Dahulu penduduk di sini jauh lebih padat. Hanya karena wabah dan kekacauan yang terjadi terjadi pada tahun 1864 di mana banyak rumah-rumah penduduk yang dibakar banyak yang sudah pindah ke Matani.

Perawakan hukum tua di sana terlihat sangat kusam sama seperti penduduk Bolaang umumnya. Namun ia sangat disayangi oleh Kerajaan Bolaang Mongondow karena tidak pernah membantah dan selalu setia menjadi hamba Raja yang taat dan patuh. Tidak seperti kepala sebelumnya yang sadar, bijaksana, dan mencintai bangsanya sepenuh hati. Kepala sebelumnya meminta kepada raja agar dibebaskan dari segala tuduhan buruk dan menuntut perlakuan dan hak yang sama dengan penduduk asli Kerajaan Bolaang Mongondow umumnya. Tuntutan ini tidak pernah terdengar sebelumnya.

Struktur organisasi masyarakat di Mariri Lama sama dengan di Mariri Matani. Mereka menjual kepada orang Bolaang Mongondow padi, jagung, wol, pisang, kambing dan ayam atau menukarnya dengan ikan, peda’s (golok), atau kain linen asli. Sama dengan di Matani, Penduduk Mariri Lama beternak juga babi, ayam, kambing, kuda. Hewan-hewan liar yang sering  masuk ke desa itu antara lain rusa, sapi liar (bantong), dan babi hutan.

Di Mariri Lama penduduk juga menyabut Wilken dan Schwarz dengan sangat suka cita dan bahagia. Mereka menyampaikan bahwa sangat ingin memiliki sekolah untuk tempat belajar anak-anak mereka. Setelah perjalanan di sana, saat sudah larut, mereka berdua makan sedikit nasi dan kembali menunggang kuda untuk pulang ke rumah di Bolaang.

Catatan Penulis (Bag. 3)

Secara keseluruhan bagian ini memuat banyak data-data historis akan kondisi imigran Minahasa di Bolaang Mongondow pada abad ke-19. Wilken dan Schwarz menulis beberapa tradisi lisan yang berkembang di negeri-negeri tempat tinggal imigran ini untuk mengetahui akar historis mengapa mereka memilih Bolaang Mongondow menjadi tempat tinggal dalam menyusuri kehidupan bahkan hingga kini.

Tidak ada yang berbeda dengan kondisi umum masyarakat Bolaang yang sudah diuraikan pada Bagian 2 yang lalu. Hanya saja imigran memiliki banyak kelebihan dalam mengelolah pertanian dan menata negeri mereka agar terlihat lebih rapi.

Dijelaskan juga dua versi kedatangan Bantik ke Bolaang Mongondow berdasarkan Bolaang-Mongondowsentris dan Minahasasentris. Namun Wilken dan Schwarz memilih objektif dalam memberikan tanggapan akan dua versi berbeda mengenai cerita ini. jelaslah bahwa orang Bantik yang tinggal di negeri Soemojit lebih berpihak pada tradisi Lisan Bolaang Mongondow. Mereka mengakui versi Bolaang Mongondow yang mengatakan bahwa kedatangan mereka ke sana bersamaan dengan Raja Loloda Mokoagow abad-17.

Bahkan diakhir kekuasaan Raja Loloda Mokoagow pun, beliau menyuruh orang-orang Bantik ini untuk pulang ke kampung halaman mereka. Namun karena rasa cinta terhadap Raja, mereka memang kembali ke sana, tapi hanya membuat kerusuhan dan kekacauan lalu pulang kembali ke Bolaang Mongondow yang menurut mereka lebih aman dan damai untuk kehidupan mereka.

Beberapa Imigran Minahasa yang berada di Mariri, Matani, dan Nanasi datang ke Bolaang Mongondow karena berbagai gejolak yang terjadi di kampung halaman. Termasuk konflik internal dengan kepala-kepala suku di sana yang menurut mereka melakukan tindakan dan kebijakan yang dianggap tidak sesuai dengan harapan.

Akhirnya Kerajaan Bolaang Mongondow dipilih untuk menjadi tempat tinggal. Mereka pun akhirnya diterima oleh Raja Bolaang Mogondow sebagai rakyatnya dengan kewajiban membayar upeti dan beban kerja yang diwajibkan oleh raja atas mereka.

Akhirnya, sebelum menutup bagian 3 ini, penulis akan memberikan gambaran sedikit mengenai ulasan pada bagian selanjutnya (Bag. 4) antara lain mengenai lanjutan perjalanan Wilken dan Schwarz ke Nonapan, Nanassi, Poigar dan  berbagai sejarah dan dinamika masyarakat yang ada di sana. Semoga catatan ini bisa menambah wawasan kesejarahan kita tentang Bolaang Mongondow sebagai bagian dari Indonesia Raya.

*Penulis adalah Ketua Lembaga Pusat Studi Sejarah Bolaang Mongondow Raya (PS2BMR)

 

 

Komentar