HUT Kotamobagu 23 Mei, Momentum Tanpa Sejarah

Murdiono Prasetio A. Mokoginta

Tepat 14 tahun yang lalu pada 23 Mei 2007 ketika Ir. Siswa R. Mokodongan dilantik menjadi Pjs. Walikota Kotamobagu. Hingga kini momentum itu masih terus diperingati tiap tahun bahkan ‘lucunya’ dijadikan sebagai pijakan penentuan ‘Hari Jadi’ padahal tanpa sejarah.

Hal itu berarti sejak masa walikota pilihan rakyat pertama Drs. Hi. Djelantik Mokodompit hingga periode ke dua kepemimpinan Walikota Hj. Ir. Tatong Bara, yang kita peringati adalah momentum pelantikan PJS. Walikota Ir. Siswa R. Mokodongan, bukan momentum Hari Lahir Kotamobagu.

Bila berdasar pada UU No. 4 Tahun 2007 tentang pemekaran Kotamobagu sebagai salah satu Kotamadya di Provinsi Sulawesi Utara hasil pemekaran Kabupaten Bolaang Mongondow, maka penetapan ‘hari jadi’ Kota Kotamobagu harusnya adalah 2 Januari sesuai dengan tanggal terbitnya UU di atas.

Sayangnya, tanggal 2 Januari itu adalah awal tahun baru. Bagi daerah, tidak mungkin di waktu tersebut telah ada porsi anggaran yang tersedia untuk memperingati ‘Hari Jadi’ meskipun itu momentum penting.

Hari Jadi atau Hari Ulang Tahun (HUT) adalah sebuah peristiwa monumental yang diperingati dengan gempita oleh hampir seluruh daerah/kota di Indonesia tak terkecuali di Kota Kotamobagu. Untuk memeriahkan dan menyemerakannya biasanya masing-masing daerah telah memiliki porsi anggaran di APBD masing-masing. Kecuali di masa pandemi saat ini, biasanya HUT di masing-masing daerah atau kota diselenggarakan dengan tidaklah sederhana bahkan meriah. Oleh karena itu ketersediaan anggaran adalah sebuah keniscayaan.

Dengan memahami kondisi ini apakah lantas 23 Mei adalah waktu yang tepat untuk dijadikan sebagai dasar penentuan ‘Hari Jadi’ Kota Kotamobagu?, jawabannya ‘tidak’. Sederhana saja, Kotamobagu secara entitas telah ada jauh sebelum Negara Republik Indonesia lahir pada 17 Agustus 1945. Penetapan tanggal 23 Mei yang berdasar pada momentum pelantikan Pjs Walikota Pertama sangat jelas tidak memiliki nilai historis sebagai pondasi mental untuk memperkuat jati diri lokal kita.

Kesadaran Sejarah dan Konsensus Bersama

Meski tidak ada regulasi yang mengatur bahwa tiap provinsi/daerah/kota wajib memiliki hari ulang tahunnya berdasarkan ketentuan undang-undang negara. Namun kebanyakan wilayah di Indonesia telah menetapkan ‘Hari Jadi’ wilayah mereka berdasar pada konsensus bersama antara pemerintah dan semua pihak yang memiliki kepedulian akan sejarah lokal di wilayah mereka.

Saat suatu masyarakat mulai memikirkan dan mencari jati diri mereka, maka akar sejarahlah yang mereka gali untuk mendapat pelajaran dan hikmah masa lalu yang bisa diambil untuk melanjutkan pembangunan masa kini dan di masa depan. Mereka pasti telah sadar bahwa suatu masyarakat yang tidak memiliki sejarah pasti akan terasing di antara komunitas bangsa yang lain. Tidak memiliki legitimasi masa lalu, kebanggan pada daerah dan hilangnya rasa percaya yang berakibat masyarakat seperti itu tak memiliki daya saing di dalam pembangunan semua segi.

Karena itu guru besar sejarah di Universitas Indonesia, Susanto Zuhdi (2014: 279) di dalam Nasionalisme, Laut, dan Sejarah menulis bahwa keinginan masyarakat daerah untuk mencari dan menetapkan “hari jadi” daerah atau kotanya dapatlah dikatakan sebagai meningkatnya kesadaran sejarah. Pemerintah sebagai pengambil keputusan tidak boleh membiarkan semangat masyarakat seperti itu padam akibat tidak memberi ruang kepada para pegiat sejarah dalam merekonstruksi masa lalu wilayahnya.

Pemerintah justru berhutang atas usaha mereka yang tidak kenal lelah, telah mendedikasikan waktu dan tenaga mereka untuk mencari jejak masa lalu agar wujud daripada warisan kebudayaan yang lama terpendam bisa nampak pada semua orang dan nilai-nilai teladan masa lalu tidak hilang sama sekali.

Padang pasir tandus di sekitar PiramidaAgung Giza Mesir tetap diakui sebagai simbol kebudayaan dan kemajuan dunia karena menyimpan kekayaan sejarah di dalamnya. Yogyakarta dan Bali yang mampu mempertahankan nilai tradisinya bahkan diakui sebagai salah satu kekayaan budaya di negeri Indonesia.

Kita akhirnya bisa belajar bahwa indikator majunya pembangunan tidak selamanya dihitung dari berapa banyak gedung mewah yang berdiri megah. Yang ada justru wilayah-wilayah yang memiliki kekayaan budaya dan sejarah tetap diperhitungkan dan dihargai karena tingginya jati diri dan martabat rakyatnya.

Tanggal 23 Mei yang diperingati sebagai ‘Hari Jadi’ Kota Kotamobagu sama sekali tidak memiliki relevansi dengan sejarah Kota Kotamobagu sebagai pusat kebudayaan dan sosial di kawasan Bolaang Mongondow Raya. Peringatan momentum ini juga tidak sejalan sama sekali dengan salah satu penggalan visi Pemerintah Kota Kotamobagu yang “Berbasis Kebudayaan Lokal”.

Koentjaraningrat (2009: 153) dalam Pengantar Ilmu Antropologi menjelaskan bahwa menjunjung sistem nilai kebudayaan merupakan tingkat yang paling tinggi dan paling abstrak dari adat-istiadat. Hal itu disebabkan karena nilai budaya merupakan konsep-konsep mengenai sesuatu yang ada dalam alam pikiran sebagian besar dari masyarakat yang mereka anggap bernilai, berharga, dan penting dalam hidup sehingga dapat berfungsi sebagai suatu pedoman yang memberi arah dan orientasi pada kehidupan para warga masyarakat.

Cara kita menghargai kebudayaan adalah dengan mempelajari pola pergerakan manusia di dalam ruang dan waktu. Kita kemudian menemukan nilai-nilai kehidupan mereka saat membaca sejarah. Seperti yang selalu saya tekankan bahwa menghargai kandungan filosofi dan sejarah lahirnya Kota Kotamobagu adalah keharusan bila kita menganggap bahwa kebudayaan lokal sebagai pondasi pembangunan sebagaimana bunyi visi di atas.

Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kota Kotamobagu perlu segera ‘mensahkan’ Perda Perubahan HUT Kota Kotamobagu yang telah diinisiatif oleh legislatif sejak awal tahun 2021 ini agar kedepan kita bisa memperingati momentum HUT Kota Kotamobagu berdasar pada masa lalu yang membangkitkan patriotisme dan kebanggan.

Sejarah Entitas Kotamobagu (Hasil FGD Maret 2021)

Bulan Maret lalu saya bersama beberapa pegiat sejarah Bolaang Mongondow Raya (BMR) bersama Tim dari Kanwil Kemenkum HAM Provinsi Sulawesi Utara diundang oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kota Kotamobagu, untuk hadir pada Focus Group Discussion (FGD) terkait Ranperda perubahan HUT Kota Kotamobagu. Melalui kegiatan ini sejarah lahirnya entitas Kota Kotamobagu berhasil disusun secara diakronik (periode/waktu) sebagai berikut:

Tahun 1901 digagaslah perpindahan pusat Kerajaan Bolaang Mongondow dari pesisir Bolaang ke pedalaman Mongondow. Tempat ini dipilih menjadi Pos Kolonial yang jugaakan dibangun kantor Controleur sebagai perpanjangan tangan Pemerintah Belanda. Sayangnya pembangunan di sini tidak berjalan lancar sesuai dengan apa yang diharapkan karena terjadi konflik antara penduduk pribumi (tuan tanah) dan Belanda yang mulai meningkatkan eskalasi konflik di wilayah ini.

Sekitar tahun 1902-1905 terjadi perang Pontodon sebagai bentuk perlawanan terhadap Belanda yang semena-mena mengambil tanah perkebunan milik orang Pontodon untuk dijadikan kawasan perumahan dan perkantoran pemerintah kolonial sehingga kondisi di wilayah Sia’ dan sekitarnya menjadi tidak aman, hingga memaksa pihak Belanda harus memindahkan tempat itu ke wilayah lain yang dianggap lebih aman. Jika Belanda tetap bertahan di sana, maka perlawanan orang Pontodon dan Bilalang akan makin membara dan korban jiwa antara ke dua belah pihak makin tak terelakan.

Tahun 1903 keluar besluit No. 249 Lembar Negara oleh Gubernur Jendral Hindia Belanda tanggal 19 Juni 1903 No. 32 (Lembar negara No. 249) yang menginstruksikan Residen Manado untuk membentuk Afdeeling Bolaang Mongondou, yang terdiri atas wilayah Kerajaan Bolaang Mongondou, Bolaang Oeki, Bintaoena, Bolaang Itam dan Kaidipan, di bawah seorang Controleur. Dalam besluit ini juga dijelaskan bahwa Ibu kota Afdeeling akan ditempatkan di dataran tinggi di pedalaman Mongondou (Kaki Gunung Sia’).

Tahun 1905 keluar keputusan besluitGubernur Jendral Hindia Belanda No. 50 tanggal 26 Mei 1905 tentang perluasan pembangunan proyek Kota Baroe sebagai Ibu Kota Afdeeling Bolaang Mongondow.

Setahun kemudian keluarBesluit No. 32 tanggal 10 Januari 1906(Lembar NegaraNo. 41) yang mengatur penunjukan pegawai pemerintahan Belanda yang akan bekerja di Kota Baroe di pedalaman Mongondow sebagai Ibu Kota Afdeling Bolaang Mongondow. Pada ketentuan huruf (A) di dalam besluit ini kembali mempertegas ayat (4e) besluit No. 32 tanggal 19 Juni 1903 di atas bahwa harus dibentuk pemerintahan mewakili Negeri Belanda di Afdeling Bolaang Mongondow dan dan ditunjuk Ibu Kotanya di Kota Baroe.

Nama Kotamobagoe sendiri baru muncul pada Besluit Gubernur Jendral Hindia Belanda No. 26 Tanggal 29 September 1910 (Lembar Negara No. 519). Besluit ini kemudian menjadi dasar pemindahan Ibu Kota Afdeling Bolaang Mongondow dari Kota Baroe di ke Kota Mobagoe. Dengan Besluit ini maka secara hukum administrasi Kota Mobagoe ditetapkan menjadi Ibu Kota Afdeling Bolaang Mongondow setelah dipertegas lagi bahwa Ibu Kota bukan di Kota Baroe tapi di Kota Mobagoe.

Acara seremonial peresmian Kota Mobagoe sebagai Kota administratif Belanda di Afdeling Bolaang Mongondow baru dilaksanakan pada tanggal 30 April 1911. Persemian Kota Mobagoe ini terdapat dalam catatan perjalanan guru misi sahabat Dunnebier yang bernama Van Der Endt dalam bukunya De Zending In Bolaang Mongondow. 30 April diambil dari tanggal kelahiran Ratu Juliana Louise Marie Wilhelmina van Oranje-Nassau, Ratu Belanda yang lahir 30 April 1909 atau dua tahun sebelum persemian Kota Mobagu tahun 1911.

Hingga berakhirnya kekuasaan Belanda di Indonesia pada 8 Maret 1942 dan menyusul Kerajaan Bolaang Mongondow pada 1 Juli 1950, Kota Kotamobagu tetap menjadi Ibu Kota Kabupaten Bolaang Mongondow sejak tahun 1954 hingga tahun 2007 silam. Sayangnya sejarah panjang Kota Kotamobagudi atas hingga kini belum juga dijadikan acuan untuk menetapkan ‘Hari Jadi’, padahal memiliki landasan sejarah yang jelas.

* Penulis adalah Ketua Lembaga Riset Pusat Studi Sejarah Bolaang Mongondow Raya (PS2BMR)

 

Komentar