Sengkarut Nama Bandara

Oleh: Donald Q. Tungkagi, MA
Pecinta Sejarah dan Budaya Bolaang Mongondow

“ Selamat Datang di Bandara Loloda Mokoagow, Bolaang Mongondow.” Jangan kaget jika sebentar lagi kalimat itu yang akan kita dengar dalam pesawat sebuah maskapai udara saat mendarat nanti. Di gerbang bandara kita juga bakal disuguhi kalimat “Dega Niondon , Selamat Datang di Bolaang Mongondow,”. Membayangkannya saja, saya tak kuasa menahan senyum sumringah. Bangga! Sudah pasti iya.

Sekian tahun merantau di pulau seberang, cukup memberi pengalaman lumayan melelahkan ketika mudik sekedar mengobati rindu di kampung halaman. Jika ke Kotamobagu biasanya dari Bandara Sam Ratulangi-Manado kita masih kembali menguras tenaga menempuh sekitar 4-5 jam perjalanan. Tak lama lagi, lelah tersebut bakal berkurang. Sebab jarak tempuh dari bandara baru ini hanya sekitar 1 jam perjalanan. Senang! Iya. Tapi ini bukan satu-satunya alasan kebanggaan.

Ini bukan persoalan jarak tempuh yang semakin pendek saat pulang kampung nanti. Lebih dari itu, ini persoalan kebanggaan kultural masyarakat Bolaang Mongondow. Plus menjadi tantangan untuk membuktikan kemandirian. Hadirnya bandara ini jadi penanda era baru bagi masyarakat Bolaang Mongondow.

Sepertinya penamaan Loloda Mokoagow tak sekedar wacana. Ini diikuti munculnya polemik yang bermula pasca Bupati Bolaang Mongondow, Yasti Soepredjo Mokoagow secara resmi mengumumkan ihwal nama ini dalam acara peletakan batu pertama pembangunan terminal tipe A, di Desa Dulangon, Lolak, Rabu (8/8/2018).

Perihal sengkarut penamaan bandara yang lagi hangat diperbincangkan. Tak pelak berbagai kritik hingga tudingan bermunculan. Mungkin pemerintah daerah perlu lebih intens mengkomunikasikan. Bisa jadi karena ada informasi yang tidak lengkap tersampaikan. Penjelasan perlu biar tidak terjadi bias yang dapat menimbulkan kesalahpahaman.

Dari beberapa kritik yang ada, mungkin tudingan adanya sikap primordialisme kemargaan itu paling santer terdengar. Tudingan bahwa pemilihan nama Loloda Mokoagow terindikasi merupakan upaya Bupati untuk mengangkat marganya. Nyatanya memang ada kesamaan, entah karena kebetulan atau memang sudah direncanakan. Ini yang perlu dijelaskan, benarkah demikian?

Karena terbatasnya ruang, diskusi tentang pantas tidaknya nama Loloda Mokoagow disematkan jadi nama bandara nanti saya uraikan pada artikel edisi berikutnya.

Berbagai kritik yang ada tidak harus diabaikan. Adanya tudingan tak enak pun lebih baik tetap perlu dijelaskan.  Sebab silang sengkarut penamaan bandara bukan sesuatu yang baru. Seakan jadi hal biasa di Indonesia. Bahkan ada diantaranya yang terus menuai polemik berkepanjangan.

Memanfaatkan mesin pencari di dunia maya, saya mendapati bahwa biasanya pemberian nama bandara yang ada di berbagai daerah itu umumnya merujuk pada tiga hal, yakni; _Pertama_ , nama bandara diharapkan dapat mewakili identitas suatu orang yang menjadi panutan di daerah tersebut. Bisa nama tokoh sejarah atau pahlawan di suatu daerah. Sebagian besar nama tokoh/pahlawan dijadikan nama bandara di Indonesia, seperti Bandara Pattimura-Ambon, Ngurah Rai-Bali, Sultan Hasanudin-Makassar, Sam Ratulangi-Manado, Jalaludin-Gorontalo, dan lain sebagainya. Karena di Bolaang Mongondow belum ada seorang tokoh yang ditetapkan sebagai pahlawan nasional, maka nama Loloda Mokoagow bisa jadi pilihan.

_Kedua_ , nama bandara menggambarkan identitas yang secara langsung mencirikan tempat berada. Misalnya, Bandara Pangkalpinang- Kota Pangkalinang, Bandara Tanah Merah-Kota Tanah Merah, Bandara Tarakan-Kota Tarakan, dan lain sebagainya. Sebagai alternatif bisa juga diusulkan nama “Bandara Lolak,” “Bandara Bogani” atau “Bandara Bogani Totabuan.”

Ketiga, nama bandara harus bisa diterima oleh seluruh elemen masyarakat. Tanpa mempertimbangkan usulan dari masyarakat, dipastikan timbul polemik berkepanjangan yang tak jarang justru mengganggu kelancaran pembangunan bandara itu sendiri. Pemerintah diharapkan dapat mengambil jalan tengah. Bisa juga dengan mengusulkan nama yang tidak kontroversi. Bandara Internasional Kualanamu salah contohnya. Dari lima nama yang diusulkan, empat diantaranya adalah nama pahlawan dan tokoh daerah maupun suku tertentu. Akibatnya pemerintah justru menyepakati nama Kualanamu sebagai nama bandara yang berarti “tempat pertemuan” dalam bahasa daerah setempat.

Pemerintah daerah, bersama pihak yang terkait bisa memilih dari ketiga model penamaan bandara tersebut. Jika mengikuti keterangan Sekretaris PT. Angkasa Pura I (Persero), Israwadi, rangkaian penamaan calon bandara itu dimulai dari PT. Angkasa Pura mengkomunikasikan dengan pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten bersama DPRD, kemudian nama tersebut diusulkan ke Kementrian Perhubungan untuk disetujui menteri.

Dalam proses ini para pemuka adat dan pemerhati budaya perlu kiranya diundang untuk didengar juga pendapatnya. Saya kira pemberian nama apapun terhadap bandara yang ada di Lolak ini tidak jadi persoalan selama itu menjadi keputusan bersama, bukan sepihak.

Jika akhirnya nama Loloda Mokoagow tetap menimbulkan polemik yang tak berkesudahan. Sebagai sumbangsi saran, saya juga mau mengusulkan nama “Bandara Totabuan” atau “Bandara Bogani Totabuan” yang relatif bisa diterima semua kalangan. Bisa juga kita berkaca dari perubahan Bandara Internasional Lombok menjadi “Lombok International Aiport”, siapa tahu saja disepakati “Totabuan International Airport”. Konon kata “airport ” ini dianggap lebih dikenal luas oleh masyarakat baik nasional maupun internasional. Semoga saja kedepan ada tidak temu bernilai kebaikan. (***)

Komentar