BOLMONG– Pasca dibatalkannya Permendagri Nomor 40 tahun 2016, terkait tapal batas dua daerah antara Kabupaten Bolaang Mongondow (Bolmong) dengan Bolaang Mongondow Selatan (Bolsel), langkah hukum dan komitmen serius mempertahankan wilayahnya, terus dilakukan Pemkab Bolmong. Hal itu dilakukan demi mempertahankan apa yang seharusnya menjadi milik daerah.
Upaya mediasi keduanya sudah ada sebelumnya. Itu mulai dari pertemuan-pertemuan yang difasilitasi Biro Pemerintahan Sekretariat Daerah Provinsi Sulawesi Utara (Sulut), namun keduanya tak kunjung menemui hasil. Sehingga, langkah tegas yang diambil Pemkab Bolmong dengan mengajukan permohonan Judicial Review ke Mahkamah Agung (MA) membuahkan hasil.
Adapun dasar putusan MA ini dengan Nomor :75P/HUM/2018, tertanggal 18 Desember 2018 yang dinyatakan sudah final dan mengikat secara hukum.
Menurut Kepala Bagian Hukum Setdakab Bolmong Muhamad Triasmara Akub menyampaikan, sampai saat ini pihaknya tengah menunggu peraturan Menteri Dalam Negeri (Mendagri) yang baru. Itu untuk mengatur kembali batas Daerah Kabupaten Bolmong dengan Bolsel sesuai mengacu pada putusan MA Nomor: 75P/HUM/2018.
“Dengan putusan itu, Pemkab Bolsel terkesan belum mengakuinya, dengan berbagai argumentasi, yang secara hukum lemah dan tidak berdasar,” kata Akub, dalam keterangan resmi yang diterima Bolmong.news, Senin (5/7).
Lanjut dia, adapun Pemkab Bolsel, setelah dalam beberapa rapat fasilitasi penyelesaian masalah ini, saat akan melakukan pendatanganan berita acara rapat (BAR), enggan untuk memasukan dasar Putusan MA Nomor: 75P/HUM/2018 yang merupakan dasar untuk menyelesaikan masalah ini.
“Pun kami berpikir, hal ini disengaja agar terjadi deadlock. Sehingga ujung dari permasalahan ini kembali diserahkan ke Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) untuk diambil kembali keputusan yang dikwatirkan akan merugikan kami,” jelasnya lagi.
“Ini merupakan hal prinsip. Yang diperjuangkan saat ini adalah mengembalikan kesepakatan batas daerah yang telah ada sebelum, sesuai dengan diterbitkannya UU No 30 Tahun 2008 tentang Pembentukan Kabupaten Bolaang Mongondow Selatan di Sulawesi Utara,” sambungnya.
Dijelaskannya lagi, kesepakatan tersebut yaitu antara batas yang berada di Puncak Toliomu dan di Tapa’ Mosolag yang tidak diakomodir dalam Permendagri No 40 Tahun 2016 (sebelum dibatalkan).
“Sehingga kami keberatan, dengan tidak diakomodirnya kesepakatan tersebut. Hal ini pun bertentangan dengan Permendagri 76 Tahun 2012 dan Permendagri 141 Tahun 2017, dimana salah satunya mengatur dokumen penegasan batas daerah harus ada kesepakatan tentang batas daerah yang pernah dibuat pemerintah daerah yang berbatasan,” terangnya.
Ia pun merasa khwatir, jika nantinya akan ada pihak (oknum) tertentu akan mengesampingkan Putusan MA Nomor: 75P/HUM/2018. Serta mengesampingkan kesepakatan-kesepakatan sebelumnya yang telah ada.
“Tentu ini akan merugikan kami,” ungkapnya.
Lanjut dia, kalaupun akan dilangsungkan rapat terakhir pengambilan keputusan menyangkut dua batas daerah ini, dengan adanya usulan Permendagri terbaru, maka akhirnya harus bersiap terhadap segala kemungkinan.
“Termasuk kemungkinan terburuk sekalipun. Namun kami pun sudah siap dengan bukti-bukti yang kuat,” bebernya.
Dirinya berharap, semua pihak legowo dan menyelesaikan persoalan ini dengan tenang dan berlandaskan ketentuan perundang-undangan yang berlaku dengan tetap mengacu Putusan Nomor 75P/HUM/2018, juga tetap menghormati UU Nomor 30 tahun 2008 tentang Pembentukan Kabupaten di Sulut.
“Pada intinya, semua pihak mari sama-sama kita selesaikan persoalan ini dengan ketentuan perundang-undang yang berlaku dan menghormati segala ketentuan yang ada, sehingga berjalan semestinya, kemudian tidak ada yang dirugikan,” harapnya.
(Yudi Paputungan)
Komentar