Tentang Papan Tulis

Oleh: Arifin Gobel

Beberapa waktu lalu, saat sedang mengajar, seorang siswa mengacungkan jari dan mengajukan pertanyaan kepada saya.
“Pak guru, frasa itu apa?”
“Frasa itu satuan bahasa yang terdiri dari dua kata atau lebih.” Jawab saya singkat.
“Berarti kalo ‘papan tulis’ itu frasa?”

Tunggu dulu.

Dialog di atas (tentu sudah saya olah menjadi lebih baik dan lebih ringkas dari aslinya) menjadi pemicu hadirnya tulisan ini. Siswa saya tadi, dan mungkin banyak siswa di luar sana masih punya pertanyaan yang sama mengenai apa yang disebut sebagai frasa.

Tulisan ini dimaksudkan sebagai usaha untuk menguraikan istilah frasa dan perbedaannya dengan, utamanya, bentuk majemuk, sebab dua istilah ini memang sering membingungkan. Berbeda dengan klausa dan kalimat yang relatif lebih mudah diidentifikasi.

Frasa pertama-tama harus dilihat sebagai hasil dari proses sintaktis. Kalimat, yang merupakan konstruksi terbesar dalam sintaksis, dibangun dari konstituen-konstituen yang lebih kecil dan bersifat hirarkis.

Konstituen tersebut terdiri atas kata, frasa dan klausa. Oleh sebab itu, frasa harus dilihat sebagai bagian dari kalimat. Ia adalah hasil dari pengelompokan kata dalam satuan yang didasarkan pada hubungan makna kata-kata tersebut dalam kalimat, bukan sebagai padanan kata yang membentuk suatu makna baru sebagai akibat dari proses komposisi morfologis.

Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia Edisi Keempat (Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa 2017:32) mendefinisikan frasa sebagai konstituen yang terdiri atas dua kata atau lebih, khususnya yang mengandung satu kata terpenting dan diperluas dengan kata lain yang mengelaborasi kontribusinya terhadap kalimat. Oleh karena itu, frasa tidak menghasilkan makna baru. Makna yang dihasilkan adalah makna gramatikal yang menjelaskan hubungan kata dengan kata lain dalam frasa tersebut.

Kembali ke masalah ‘papan tulis’ tadi, lalu, apakah bentuk ‘papan tulis’ disebut sebagai frasa? Jawabnya adalah bukan. ‘Papan tulis’ adalah hasil dari komposisi leksem ‘papan’ dan leksem ‘tulis’ untuk mewadahi konsep ‘papan yang digunakan untuk menulis’ yang sebelumnya tidak ada.

Bentuk baru dari hasil proses ini umum dikenal sebagai kata majemuk, atau dalam Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia disebut majemuk yang didahului oleh kelas kata pembentuknya. Misalnya verba majemuk, adjektiva majemuk, dan nomina majemuk.

Mengapa demikian?
Pertama, frasa merupakan konstituen dari kalimat. Sebuah kalimat dibangun oleh satuan-satuan yang lebih kecil, yakni kata, frasa dan klausa.

Dalam konstruksi sintaksis, kata merupakan konstituen terkecil yang tidak dapat dibagi lagi ke dalam satuan yang lebih kecil tanpa merusak maknanya.

Oleh karena itu bentuk majemuk yang terdapat dalam sebuah kalimat tidak dapat dipisahkan atau ditukar satu dengan yang lain.

Contoh:
(1) a. Papan tulis ini sangat kotor
b. Papan ini sangat kotor

Jika ditanya berapa jumlah frasa yang terdapat dalam kalimat (1a), tentu kita akan menjawab dua. Namun jika ditanya berapa banyak kata yang terdapat dalam kalimat itu, sebagian akan menjawab lima, dan sebagian akan menjawab empat. Bagi yang menjawab lima, kata ‘papan’, ‘tulis’, ‘ini’, ‘sangat’ dan ‘kotor’ dianggap sebagai kata yang berdiri sendiri-sendiri. Bagi yang menjawab empat, kata ‘papan tulis’ dirangkai menjadi satu kesatuan dan sisanya berdiri sendiri-sendiri. Mana yang benar?

Kita sepakat bahwa kalimat (1a) terdiri atas dua frasa, yaitu ‘papan tulis ini’ dan ‘sangat kotor’. Pada frasa ‘papan tulis ini’, konstituen yang menjadi pembentuknya adalah kata ‘papan tulis’ dan ‘ini’. Bukan dari ‘papan’ ‘tulis’ dan ‘ini’ yang dirangkai sekaligus. Bentuk ‘papan tulis’ pada kalimat (1a) merupakan nomina majemuk yang salah satu komponennya tidak dapat dipisahkan atau dipertukarkan seperti pada contoh (1b).

Secara gramatikal, kalimat (1b) masih dapat diterima, tetapi sudah berbeda dengan makna ‘papan tulis’ pada (1a). Papan yang dirujuk pada kalimat (1b) tidak lagi spesifik merujuk papan tulis, kecuali ditambahkan aspek tutur yang menjadikan proposisi itu dimungkinan.

Misalnya saat dituturkan oleh guru atau siswa dalam kelas yang papan tulisnya belum dibersihkan. Namun hal itu sudah melampaui bidang kajian sintaksis. Masalah semacam itu masuk dalam ranah pragmatik.

Bentuk majemuk seperti ‘papan tulis’, ‘kepala sekolah’, dan ‘bapak pendidikan’ ini konstruksinya menjadi rigid karena telah mengalami proses komposisi morfolologis sehingga menghasilkan makna baru.

Rigiditas ini membuat bentuk majemuk tersebut tidak dapat dipisahkan ketika memasuki konstruksi yang lebih besar tanpa merusak makna aslinya seperti yang dicontohkan pada kalimat (1b).

Kedua, berbeda dengan bentuk majemuk, frasa tidak menghasilkan makna baru. Misalnya pada frasa ‘papan tulis ini’, kata ‘papan tulis’ yang diikuti oleh demonstrativa ‘ini’ tetaplah sebuah papan tulis. Kata ‘ini’ digunakan untuk menunjuk kehadiran ‘papan tulis’ yang relatif dekat dengan pembicara. Contoh lain dapat kita lihat pada bentuk-bentuk berikut ini.

(2) a. Guru olahraga sedang mengajar di kelas VII
b. Guru sedang mengajar di kelas VII
(3) a. Siswa bergotong royong merapikan lemari buku
b. Siswa bergotong royong merapikan lemari

Pada kalimat (2a) dan (3a) terdapat frasa ‘guru olahraga’ dan ‘lemari buku’ yang merupakan frasa nominal. Frasa nominal adalah frasa yang unsur intinya merupakan nomina. Pada frasa ‘guru olahraga’ dan ‘lemari buku’, frasa nominal dibentuk oleh nomina inti yang diikuti oleh nomina lain sebagai pewatas.

Jadi, kata ‘olahraga’ menjadi pewatas bagi kata ‘guru’, dan kata ‘buku’ menjadi pewatas bagi ‘lemari’. Pewatas dalam frasa nominal berfungsi deskriptif atau atributif terhadap nomina inti.

Sudah disinggung sebelumnya bahwa frasa tidak mengahasilkan makna baru. Kata ‘olahraga’ pada frasa ‘guru olahraga’ dan kata ‘buku’ pada lemari buku masing-masing berfungsi sebagai pewatas yang memberikan informasi lebih lanjut perihal nomina ‘guru’ dan nomina ‘lemari’, yakni guru yang membidangi olahraga dan lemari untuk menyimpan buku. Oleh karena itu jika kata ‘olahraga’ dan ‘buku’ dihilangkan, kata ‘guru’ dan kata ‘lemari’ masih bisa berdiri sendiri dalam konstruksi kalimat itu tanpa mengubah makna ‘guru’ dan makna ‘lemari’ pada contoh (2b) dan (3b).

Hal itu dimungkinkan karena frasa ‘guru olahraga’ dan ‘lemari buku’ merupakan paduan kata dan kata, bukan komposisi leksem dan leksem. Melalui proses derivasi zero dalam morfologi, leksem ‘guru’ dan ‘lemari’ dapat berubah menjadi kata tanpa mengalami perubahan bentuk aslinya.

Dari uraian ini kita bisa melihat bahwa perbedaan frasa dan bukan frasa setidaknya dapat dilihat dari konstituen pembentuknya. Apabila suatu konstituen merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisah satu dengan yang lain, maka satuan bahasa tersebut bukanlah frasa, melainkan bentuk majemuk. Sebaliknya apabila konstruksi pembentuknya terdiri dari konstituen-konstituen yang longgar, maka satuan bahasa itulah yang disebut sebagai frasa.

Akhirnya, perlu diakui bahwa penjelasan ringkas ini masih relatif membingungkan mengingat banyak istilah teknis yang digunakan tidak sempat dideskripsi lebih jauh.

Namun saya berharap tulisan ini setidak-tidaknya dapat menggambarkan kompleksitas proses-proses bahasa dibalik bentuk-bentuk bahasa yang muncul ke permukaan.

Oleh karena itu saya berharap (terutama bagi pelajar) tulisan ini dapat memunculkan rasa ingin tahu dan menumbuhkan minat untuk mempelajari bahasa. Semoga. (***)

Penulis adalah alumni Fakultas Sastra dan Budaya Universitas Negeri Gorontalo. 

Komentar