Oleh: Novel Damopolii
Bab 4: Penari Bangsawan
Disebuah rumah bergaya Eropa, terdengar suara musik tradisional lewat sebuah speaker di aula, didekatnya seorang perempuan sedang menggerakkan tubuhnya menari dengan lembut.
Postur tubuh dan lekuk sang penari sangat indah dipandang, terutama dalam keserasian dan harmonisasi gerak tertangkap dari keseluruhan tari yang sedang dilakukannya, seolah-olah dia dilahirkan untuk menari laksana seorang dewi yang turun dari kahyangan.
Bentuk wajah sang penari yang berbentuk oval, dengan alis alami seperti semut beriringan, bentuk bibir yang tipis dengan pipi yang penuh membuat setiap orang akan terpana tatkala melihatnya.
Sang pelatih,yang berdiri didekatnya memberi petunjuk gerakan, terutama posisi kayang untuk mengambil Kabela.
Perempuan penari itu bernama Tutu adalah mahasiswi Fakultas Sastra di Perguruan Tinggi Negeri Manado.
Dia menyukai segala bentuk kesenian, meliputi tari, alat musik bahkan memintal benang. Ketika pelatih mengatakan untuk istirahat sejenak, Tutu memanfaatkan situasi untuk berdialog, menanyakan makna dari tari yang sedang dilatihnya.
“Bua, itu Kabela kenapa isinya manik-manik, bukankah dahulu isi dari kabela adalah sirih dan pinang ? jaman dulu kan tamu di sambut dengan sirih dan pinang”, ujar Tutu. Ketika berbicara matanya memancarkan cahaya kecerdasan dan rasa ingin tahu yang besar.
Perempuan paruh baya yang dipanggil Bua adalah adik Ayahnya. Dia dikenal sebagai keturunan bangsawan yang mengurus seni dalam Istana Raja.
Sementara Tutu, ayahnya adalah pengusaha sukses di bidang ekspor import hasil perkebunan. Sambil tersenyum, Bua mengatakan “Bulan (nama panggilan Tutu), tari Kabela adalah tari yang fungsinya adalah sebagai penjemput tamu.
Jadi pada gerakan menabur isi Kabela, di taburkan manik-manik, menunjukkan penghormatan kepada tamu.
Gerakan tari haruslah lembut, menunjukkan keterbukaan dan sekaligus sikap Mongula (sikap malu-malu) dinampakkan dalam gerak mata.
Sikap Mongula adalah ciri khas perempuan Mongondow. berbeda dengan tari daerah lain, gerak penyambutan terlihat dalam gemulainya tangan menyambut bua memberikan penjelasan panjang lebar soal makna tari kabela kepada keponakannya.
“Memang dahulu ketika Kerajaan Bolaang Mongondow masih ada, Pinang (areca catechu) dan Sirih (piler betle) adalah sajian utama kerajaan kepada tiap tamu yang datang di dalam wadah kabela, disamping itu juga disajikan makanan dan minuman ala kadarnya, cuma dalam mengikuti jaman, ketika diciptaakan tari kabela, dipakailah kabela sebagai benda untuk pelengkap tarian dan isinya berganti manik-manik, bagaimana kalau tetap isinya masih sirih dan pinang, pas ditaburi sirih dan pinang, tamunya akan tersinggung,” sambil tertawa, Bua dan Tutu membayangkan jika tamu terkena taburan sirih dan pinang.
Sesudah memberikan penjelasan kepada keponakannya , Bua yang nama aslinya adalah Angried Dhini selain menjadi kepala urusan seni dalam kerajaan Bolaang Mongondow, dia waktu mudanya adalah seorang penari istana.
Ketika kerajaan mengadakan penyambutan setiap ada tamu istimewa, Bua Angried menjadi penari utama dalam memperagakan berbagai macam tarian khas Bolaang Mongondow.
Dalam tradisi masyarakat Mongondow perempuan bangsawan diberikan gelar Bua, sedangkan laki-lakinya di berikan gelar Abo.
Sesudah memberikan latihan dan penjelasan, Bua Anggried meninggalkan rumah kakaknya dan segera menuju ke sebuah cafe untuk memenuhi perjanjian dengan temannya, salah seorang ahli seni dari Belanda demi mengidentifikasi salah satu barang kuno yang di jual seseorang dalam pasar gelap seni.
Sesampainya di tempat pertemuan, di sebuah cafe di sebelah utara kota Manado, Bua Anggried tersenyum menyapa temannya.
Cafe itu cukup sepi, hanya ada 2 meja yang berisi tamu selain temannya.
“hai Jeane pa kabar, gimana perjalanan kamu” sapa Bua sambil menarik kursi kayu beralaskan bantal duduk, dia mengamati di depannya Jeanne terdapat segelas Kopi dan penganan kecil.
“Baik, masih jet leg, namun semuanya baik-baik saja” sambil tersenyum Jeanne menjawab uluran tangan Bua Angried.
Bua Anggried dan Jeanne adalah teman masa kuliah di Universitas Leiden, Belanda. Mereka berdua memiliki ketertarikan yang sama, dalam bidang kebudayaan. Apalagi diketahui banyak benda-benda peninggalan dari Kerajaan Bolaang Mongondow ada di Museum Belanda.
Obrolan mereka terhenti sejenak, ketika pelayan cafe membawakan menu. Bua Anggried memesan segelas kopi hitam dan roti bakar keju.
Setelah pelayan cafe itu pergi, mereka melanjutkan basa-basinya, masing-masing menanyakan aktivitas yang tengah mereka geluti saat ini. Tak lama pesanan Bua Anggried datang diiringi sapaan selamat menikmati dari pelayan cafe.
Sesudah berbicara basa-basi, Bua Anggried segera menanyakan barang kuno yang menjadi tujuannya bertemu dengan temannya.
“‘Boleh saya melihat barang Kuno itu?,”
Sebelum mengeluarkannya, Jeane mengamati keadaan cafe, terlihat di sudut jauh cafe, pasangan laki dan perempuan sedang asyik mengobrol, sedangkan meja satunya terlihat salah seorang pria memakai kacamata berbingkai emas yang sibuk dengan laptopnya, nampaknya membuat laporan.
Melihat keadaan cukup aman, Jeanne mengeluarkan sebuah kotak kayu yang terlihat kuno, tanpa ukiran apa-apa.
Melihat kotak kayu tersebut, hati Bua Anggried tiba-tiba tergetar, namun perasaan terkejutnya tidak nampak dalam wajah cantiknya.
Jeanne pun mengulurkan kotak kayu itu kepada Bua Anggried tanpa mengatakan apa-apa setelah melihat tidak ada reaksi yang terjadi di wajah Bua Anggried.
Setelah menerima kotak kayu itu, Bua Anggried perlahan mengelus permukaan kotak, sambil menggumam sesuatu. Tak lama ia pun membuka kotak tersebut, dan di dalamnya terdapat selembar perkamen kulit rusa tanpa tulisan apa-apa.
Sambil mengambil perkamen kulit rusa itu dan membolak-balikkan, wajah Bua Anggried nampak terheran-heran, tidak ada tulisan atau simbol dalam kulit rusa itu.
“Jeanne apa ini, kenapa tidak ada tulisan atau simbol dalam kulit rusa ini ?
Sambil tersenyum, Jeanne mengatakan, apa kamu lupa, orang-orang dahulu menyembunyikan rahasianya dengan tinta yang akan muncul ketika terkena panas?
Nampak shock Bua Anggried menepuk meja perlahan, sambil berkata “Maafkan, saya lupa, lagian kamu memiliki spesialisasi dalam penanganan dokumen-dokumen kuno,”.
Tiba-tiba, dari arah sudut cafe, terdengar suara dingin “lepaskan perkamen kulit rusa itu, maka kalian akan baik-baik saja”.
Bua Anggried kaget mendengar suara dingin bernada ancaman, sambil menoleh ke arah suara, dia melihat pasangan laki-laki dan perempuan menodongkan pistol yang sudah dilengkapi peredam suara ke arah mereka.
Anehnya, wajah Jeanne terlihat santai, tidak nampak terkejut dengan aksi kedua orang itu, seolah-olah hal itu biasa baginya.
Sambil mengambil perkamen kulit rusa dari tangan Bua Anggried, Jeanne berkata “Kelompok Mawar Hitam, nampaknya kalian sudah mengikutiku sejak dari Bandara,”.
Tanpa berbicara, gelas kopi di depan Jeanne pecah ketika sebutir peluru terdengar mendesiing dari moncong pistol.
“Mau lepas atau tidak, itu hanya peringatan, berikutnya, kepala kalian yang akan hancur,” suara dingin perempuan berdandan menor terdengar, sementara partnernya nampak senyum-senyum saja, seolah yakin Jeanne akan memberikan perkamen kulit rusa itu kepada mereka. .
Dengan tenang Jeanne mengatakan kulit rusa ini dimenangkan oleh Bastian dalam sebuah pelelangan di pasar gelap Belanda, dengan harga 1 juta dollar, kalian pikir saya membawanya sendiri saja?
Tiba-tiba pintu cafe terbuka dan 5 orang laki-laki berpakaian hitam-hitam menyeruak masuk dengan membawa senjata otomamis dan langsung menodongkan senjata mereka ke arah laki-laki dan perempuan yang sedang menodongkan pistolnya ke arah Jeanne dan Bua Anggried.
“Maaf kami terlambat miss Jeanne,” sapa seorang yang nampaknya sebagi pemimpin 5 orang itu mendekati Jeanne dan menyapa sambil menundukkan kepala.
“Kalian tidak terlambat, malah tepat waktu, segera ringkus kedua orang itu, bawa ke markas dan interogasi mereka,” perintah Jeanne kepada pimpinannya.
“Siap miss” jawab pimpinannya.
“hehehe, kalau kalian menangkapku, kalian yakin gerakan kalian lebih cepat dari peluru ini? lelaki yang memegang pistol berperedam suara itu berkata dengan suara agak keras.
Salah seorang dari kelima orang yang masuk, dengan gerakan segera secepat kilat, hingga hanya nampak bayangannya, bergerak ke belakang laki-laki dari kelompok Mawar Hitam dengan serta merta mengayunkan telapak tanggannya ke tangannya yang memegang pistol.
Tak sempat bereaksi, saking cepatnya gerakan lelaki berbaju hitam itu, laki-laki kelompok Mawar Hitam hanya mengaduh kesakitan ketika pistol dalam genggamannya jatuh ke lantai, tak lama sesudahnya suara badan jatuh pun terdengar ketika sebuah tendangan melingkar dari laki-laki berbaju hitam mengenai wajah laki-laki itu.
Hampir bersamaan, Wanita berdandan menor terkaget dari gerakan lelaki berbaju hitam, ia menembak ke arah Bua Anggried,
“door”
Bua Anggried yang menjadi sasaran tembakan, hanya terdiam mematung, wajahnya pucat pasi, namun seolah ada yang menggerakkan tubuhnya, ia melakukan gerakan melompat kesamping, hingga peluru mengenai pot bunga di belakang Bua Anggried.
“dduaaar” suara pot yang pecah berantakan terkena peluru terdengar keras di ruangan cafe.
Sejak keributan tadi pelayan-pelayan cafe tak tampak batang hidungnya, mereka nampaknya segera meringkuk di bawah meja yang berada di ruangan dalam cafe.
Sementara itu ketika wanita berdandan menor melepaskan tembakan, pemimpin laki-laki baju hitam segera melesat ke arah wanita itu sambil melempar pisau. tak lama terdengar suara teriakan kesakitan, ketika pisau yang terlempar mengenai tangan yang memegang pistol wanita berdandan menor.
“adduuh” sambil memegang tangannya yang terkena pisau, ia berteriak ke arah lelaki pelempar pisau.
“Bangsat kalian, kalau bukan kalian yang mati aku yang mati,” sambil merogoh sakunya, ia mengeluarkan granat, yang daya ledakkan bisa menghancurkan seluruh cafe.
Sebelum wanita berdandan menor menarik cincin pengunci granat, suara berondongan senapan otomatis terdengar.
“tretetetet”
Teriakan kesakitan kembali menggema, wanita kelompok Mawar Hitam terjatuh ke lantai, kakinya penuh dengan luka tembak, genangan darah menggenangi lantai, granat yang berada di tngan kirinya terjatuh ke sampingya yang segera dipungut oleh salah seorang llaki-laki berbaju hitam.
Melihat kelumpuhan 2 orang Kelompok Mawar Hitam, pimpinan lelaki berbaju hitam segera mengisyaratkan anak buahnya, untuk membawa keduanya keluar cafe.
Sebelum itu ia menuju ke arah ruangan dalam cafe, memanggil pelayan untuk membereskan kekacauan ruangan. sambil bertanya ke pelayan cafe, “Mana manager kamu?,”
Tak lama, seorang lelaki paruh baya mengenakan jas keluar dari ruangan dalam cafe.
“Maaf atas kekacauan yang terjadi, ini uang pengganti kerugiannya, cukup kan,”ujar pimpinan lelaki berbaju hitam sambil menyerahkan sejumlah uang yang nilainya kurang lebih 10 juta.
“Cukup,” ujar sang manager dengan wajah pucat pasi sambiil menerima uang pemberian lelaki berbaju hitam.
Setelah meringkus kedua orang itu, mereka segera meninggalakn cafe itu dengan cepat.
Melihat mereka pergi, Jeanne melirik ke arah pria yang duduk sendiri, sambil berkata “Mr.Rudolf, penyamaranmu cukup sempurna, tapi tak bisa mengelabui mataku,”
Tak lama, suara tertawa terdengar dari arah pria berkacamata, sambil tertawa lebar dia berkata ke arah Jeanne.
“Sungguh tajam pengamatan anda miss, namun kelompok kami tidak berniat ikut campur, saya hanya berkepentingan dengan Bua Anggried,”
Mendengar itu Bua Anggried terkaget-kaget, sambil menatap Jeanne, ia berkata “saya tidak tahu akan ada orang yang mencariku,”.
Sambil tersenyum, Jeanne berkata “nanti kita bicarakan” setelah itu ia berpaling ke arah lelaki berkacamata itu “Mr Rudolf, anda bisa berbicara dengan Bua Anggried setelah urusan kami selesai,”.
“Silahkan, saya menunggu di sudut saja,” Pria yang di sebut Mr Rudolf berkata sambil menuju tempat duduk di sudut cafe. (***)
(Penulis adalah warga Kota Kotamobagu)
Komentar