MANADO—Dinas Kebudayaan (Disbud) Provinsi Sulawesi Utara memfasilitasi pertemuan antara sutradara, pihak Balai Pelestarian Nilai Budaya (BPNB), para seniman dan budayawan, bersama Kepala Dinas Kebudayaan dan Parwisata (Disbudpar) se Bolaang Mongondow Raya, terkait pentas teater Pingkan Matindas ‘Cahaya Bidadari Minahasa’ yang dinilai kontroversi, Kamis (5/11/2020) kemarin.
Pantauan media ini, pertemuan berjalan lancar kurang lebih empat jam. Dipandu langsung fiksiwan, budayawan Sulut Reiner Ointoe. Para Kepala Dinas, Sutradara, budayawan, sejarahwan, seniman yang hadir satu persatu memberikan tanggapannya soal pentas seni yang diproduksi oleh Institut Seni Budaya Independen Manado (ISBIMA), Sabtu (30/10) lalu.
“Pertemuan ini untuk mengklarifikasi. Duduk bersama dan berdialog merupakan solusi, apabila terjadi protes terhadap suatu karya seni. Sehingga semua pihak nyaman dan persoalan ini tidak berkepanjangan,” kata Sualang.
Ia mengungkapkan, dalam teater itu Dinas Kebudayaan hanya diundang sebagai penonton. “Karena udangannya hari libur dan dibawa ke Kabid Kesenian, saya bilang Kabid Kesenian saja yang wakilkan. Tapi mau tidak mau saya bertanggungjawab diwilayah Kebudayaan Sulawesi Utara,” katanya.
“Tetapi secara pribadi saya memberi apreseasi juga, seniman budayawan, sutradara muda yang berkreasi. Saya sebagai bidang yang membina kebudayaan punya kewenangan dan merasa bertanggungjawab dengan hal ini,”sambungnya.
Sementara itu, Achi Breyvi Talanggai sutradara teater itu menyampaikan, pementasan Pingkan Matindas diangkat dari karya sastra, sebuah Novel Hervesien M Taulu yang diterbitkan oleh Balai Pustaka. “Pementasan ini merupakan alih wahana dari sastra ke seni pertunjukan teater. Pementasan ini saya adaptasi dan melakukan penafsiran-penafsiran baru atas diksi-diski didalam teks HM Taulu. Tentu dari prosa, novel, drama kemudian ke pertunjukan,” katanya.
Lanjutnya, pementasan itu murni sebuah karya fiksi dan bukan karya sejarah. Dimana sebuah karya novel ke pentas teater. “Lagi pula dalam pementasan tidak ada penyebutan raja Loloda Mokoagow. Saya tau etika itu meskipun karya seni pertunjukan, saya tidak menyebutnya, meski dalam novel jelas raja Loloda Mokoagow dan hal ini tidak diketahui publik sebetulnya. Namun karena publik barangkali telah terlanjur marah, dan terlanjur membaca karya HM Taulu, dan langsung mengambil asumsi bahwa raja tersebut yang dipenggal kepalanya adalah raja Loloda Mokoagow. Saya fikir boleh dicek kembali video pementasan saya. Karena dalam teks dialog drama saya, tidak ada penyebutan karakter tokoh Raja Loloda Mokagow,” kata dia.
Ditambahkannya, ia bersama timnya melaksanakan teater tidak bertujuan untuk melukai hati masyarakat Bolaang Mongondow Raya. “Tidak ada tujuan itu, sekecilpun tidak menginginkan bahkan terfikirkan bahkan tidak sama sekali. Peristiwa ini juga menjadi pelajaran bagi saya secara pribadi muapun kelompok. Dari lubuk hati yang paling dalam jika terdapat sesuatu yang tidak berkenan, maafkan saya maafkan kami. Tidak ada niat sedikitpun selain mencapai estetika pemangungan kerja keras yang kami upayakan,” ucapnya dari beberapa point yang disampaikannya dalam pertemuan tersebut.
Menanggapi hal tersebut Kepala Disbudpar Bolmong Ulfa Paputungan mewakili seluruh Disbudpar BMR, menyambut baik apa yang disampaikan sutradara itu. Namun, reaksi yang terjadi akibat teater itu, menurutnya, sangat berdampak bahkan menyinggung serta melukai masyarakat di Kabupaten Bolaang Mongondow Raya.
“Intinya adalah sutradara teater yang mementaskan ini menyampaikan permohonan maaf kepada seluruh pemerintah dan masyarakat Bolmong Raya. Kemudian pihak budayawan menyarankan agar diberikann sanksi adat kepada sutradara, yang sanksi adatnya akan dibicarakan terlebih dahulu dengan Bupati dan Wali Kota selaku pemangku adat tertinggi di Kabupaten dan Kota se Bolmong Raya,” ujarnya.
Hasil pertemuan itu, kata Ulfa akan dilaporkan ke masing-masing Bupati dan Wali Kota. Terkait sanksi apa, masih menunggu petunjuk dan saran dari Bupati dan Wali Kota selaku pemangku adat terttinggi, “Sedangkan untuk proses pidana yang tengah berjalan, itu diluar kewenangan kami. Karena ada komunitas yang sudah melaporkan,” tandasnya.
Turut hadir, Kepala Disbudpar Kotamobagu Anki T Mokoginta, Kepala Disbudpar Bolmong Selatan Wahyudin Kadullah, Kepala Bidang Budaya Disbudpar Bolmut, Ena Meti Humokor, budayawan, fiksiwan Reiner Ointoe, pemerhati budaya Bolmong, Chairun Mokoginta, H Ambaru, pegiat sejarah Sumitro Tegela, Murdiono Mokoginta, Uin Mokodongan serta Budayawan, sejarahwan dan seniman Minahasa.
Diketahui, reaksi protes dan kemarahan masyarakat Bolmong Raya dalam teatrikal yang berdurasi kurang lebih lima jam itu, diakibatkan ditampilkannya sosok raja yang disebut sebagai Raja Bolaang Mongondow. Leluhur Bolaang Mongondow itu, dalam cerita yang ditayangkan ingin merebut Pingkan dari Matindas. Tapi Pingkan memerintahkan prajurit kerajan Bolaang Mongondow untuk membunuh Raja. Bahkan, kepalanya dipenggal dan dipertontonkan. (Erwin Makalunsenge)
Komentar