Oleh:
Murdiono P. A. Mokoginta
(Ketua Pusat Studi Sejarah Bolaang Mongondow Raya)
Tadi pagi ibu saya membuatkan makanan olahan sagu yang kami namakan dinangoi. Makanan khas Bolaang Mongondow ini berasal dari campuran sagu dan gula aren yang dipanggang. Rasanya memang nikmat dan memiliki cita rasa tersendiri. Di tambah secangkir kopi hangat membuat alam pikiran saya terusik untuk menulis catatan ini.
Bagi saya sagu bukan hanya soal rasa tapi juga sejarah. Tiap rasa dan gurihnya bisa membawa kita menyusuri kembali relung masa lalu orang Bolaang Mongondow yang terkait dengan sejarah sagu itu sendiri.
Koito’ begitu orang Mongondow menyebut tentang sagu. Bila umumnya masyarakat Indonesia mengkonsumsi nasi yang notabene berasal dari beras sebagai makanan pokok, maka sagu bagi beberapa kelompok masyarakat yang ada di Indonesia Timur menjadi salah satu makanan pokok alternatif untuk menunjang kehidupan mereka.
Dahulu koito’ (selanjutnya ditulis demikian) adalah makanan pokok utama bagi masyarakat Timur Nusantara termasuk Bolaang Mongondow. Sebelum abad ke-19 beras memang telah ada, namun biasanya tidak beredar secara bebas dipasaran. Hanya kalangan tertentu yang bisa mengkonsumsi nasi entah itu keluarga kerajaan atau pegawai-pegawai pemerintah kolonial Belanda.
Wilayah-wilayah yang menjadi produksi beras utama seperti di Jawa Tengah dan Jawa Timur kebanyakan berada langsung di bawah pengawasan pemerintah Belanda. Adapun untuk beberapa wilayah di Nusantara seperti Maluku, Madura, Sulawesi, Papua, sagu masih menjadi jenis tanaman utama yang banyak ditemukan karena masyarakat masih menganggap sebagai makanan pokok yang perlu dibudidayakan.
Berdasarkan sejarahnya, sagu telah dikenal lama di kalangan masyarakat Nusantara. Bahkan pada relief Candi Borobudur juga terdapat pohon sagu, selain 3 pohon palem lainnya, yakni nyiur, aren, dan lontar.
Menurut ahli, kemungkinan pada zaman dahulu sagu adalah makanan orang asli Indonesia. Coba saja dengar kalau orang Jawa mengatakan nasi adalah “sego”, sedangkan orang Sunda mengatakan “sengu”. Hal itu dapat terjadi pada akar kata yang sama dengan sagu (Kurniawan, 2018: 7).
Bolaang Mongondow dan beberapa wilayah di sekitarnya sebelum abad ke-18 telah membudidayakan koito’ secara masif. Masyarakat luas Bolaang Mongondow pada masa-masa itu menjadikan koito’ sebagai makanan pokok utama mereka untuk bertahan hidup. Oleh orang Bolaang Mongondow koito’ dan garam adalah jenis kebutuhan primer yang paling utama bagi mereka.
Di Bolaang Mongondow sendiri, keberadaan koito’ pertama kali dicatat oleh seorang Pastur Portugis yang bernama Fr. Fero Macarenhas dalam Documenta Malucensia (1542-1576). Pada tahun 1568-1569, Mascarenhas yang mengantikan Diogo de Magelhaes, berangkat dari Ternate untuk mengunjungi beberapa wilayah di utara Celebes antara lain Manado, Siau, Sangihe, Bolaang, dan Kaidipang (Abendanon, 1918: 1770).
Menurut catatan perjalanan Macarenhas, ketika mulai berlayar ke barat dari Manado menuju Kaidipang, kelompoknya lalu singgah ke Bolaang untuk berjumpa dengan seorang murid Fr. Diogo de Magelhaes yang dia tinggalkan di Manado tahun 1564.
Informasi yang ia dapat, murid tersebut berada di Bolaang yang dipimpin oleh seorang raja Islam anak Raja Manado yang dibaptis oleh Fr. Diogo de Magelhas bersama Raja Siau tahun 1564. Macarenhas tidak bertemu dengan raja pada saat itu karena ia hanya di Pelabuhan, tidak langsung menuju kediaman Raja. Meski demikian raja mengirim hadiah seperti koito’, ayam, dan babi sebagai hadiah untuk Macarenhas yang langsung diletakan di atas kapal mereka (Jacobs, 1974: 539).
Informasi di atas membuktikan bahwa sejak abad ke-16, koito’ telah menjadi makanan pokok utama bagi masyarakat Bolaang Mongondow. Karena itulah masyarakat di Kerajaan Bolaang pada tahun 1569 memberikan hadiah seperti koito’, ayam, dan babi kepada orang-orang yang menyertai perjalanan Macarenhas dari Manado ke Kaidipang yang singgah ke Bolaang pada waktu itu.
Hingga beberapa abad kemudian koito’ masih menjadi komoditas utama Bolaang Mongondow. Keberadaan koito’ sendiri sangat dibutuhkan dan menjadi prioritas kerajaan untuk memenuhi kebutuhan pokok rakyat pada masa itu. Hal inilah yang menyebabkan sempat terjadinya permasalahan antara Kerajaan Bolaang Mongondow dengan Kerajaan Bintauna pada kisaran tahun 1795 soal status Sungai Sangkub dan Gunung Gamboeta.
Sebagamana dalam kontrak MCLXXXVII. Molukken—Noord-Celebes tanggal 14 Juli 1795, dibuatlah perjanjian antara Raja Manuel Manoppo dengan Regent Bintauna, Adrian Datunsolang yang salah satu poin pentingnya adalah “Regent Bintauna dan seluruh bangsawan sepakat dan berjanji tidak mengizinkan penduduknya untuk memukul sagu, membuat kebun, atau mengumpulkan atau mengambil buah atau produk lain dari tanah atau pantai di sungai Sangkub, di hilir, di daratan yang masuk wilayah Bolaang Mongondow maupun pulau-pulau disekitarnya dan pulau tiga kecuali mendapat izin dari kepala negeri yang diangkat oleh Raja Bolaang Mongondow untuk menjaga pantainya, tanahnya, hutan sagu, telur burung maleo dan sebagainya”.
Perjanjian di atas menunjukan betapa pentingnya masalah ketersediaan koito’ bagi masyarakat Bolaang Mongondow masa itu sehingga soal koito’ bukan lagi hanya berkaitan dengan kebutuhan pangan tetapi telah menyangkut kepentingan ekonomi, politik dan keamanan negara.
Tahun 1866 ketika Wilken dan Schwarz datang ke Bolaang Mongondow, koito’ menjadi salah satu makanan utama yang dikonsumsi masyarakat. Pada masa itu dikenal jenis makanan olahan sagu yang bernama bail atau momail yakni jenis makanan dari sagu yang dimasukan ke dalam bambu.
Menurut Wilken dan Schwarz (1867: 38) di masa Residen Jansen, makanan pokok utama orang Bolaang Mongondow dan Bolango adalah sagu. Begitu juga Van der Endt (1921: 11) dalam De Zending In Bolaang Mongondow (1921) juga menulis bahwa hingga awal abad ke-20 selain beras dan jagung, sagu masih menjadi makanan laternatif utama bagi orang-orang Bolaang Mongondow.
Koito’ sebagai jenis makanan utama di Bolaang Mongondow bertahan hingga abad ke-20. Tidak hanya soal kebutuhan makanan, ketersediaan sagu bisa menjamin keamanan masyarakat pada masa-masa itu.
Menurut Budayawan Bolaang Mongondow, Chairun Mokoginta, pada tahun 1901-1902 ketika Pemerintah Belanda membangun Kota Baru di sekitar Gunung Sia dan perkebunan Papak milik Penduduk Pontodon, mereka merusak semua pohon-pohon koito’ yang berada di sana. Hal itu menyebabkan kemarahan penduduk Pontodon dan sekitarnya yang kemudian menjadi salah satu motif terjadinya perlawanan rakyat pada masa itu.
Koito’ adalah salah satu jenis komoditas utama masyarakat Bolaang Mongondow yang menyejarah dalam ruang dan waktu. Saya sendiri suka dengan jenis olahan koito’ yang bernama dinangoy yang dicampur gula merah. Makanan ini adalah favorit saya dan mungkin oleh sebagian besar masyarakat Bolaang Mongondow secara umum.
Mungkin jenis makanan ini bisa direvitalisasi kembali atau dijadikan sebagai salah satu jenis kuliner budaya Bolaang Mongondow. Selain beras, koito’ sebenarnya akan terasa nikmat tergantung bagaimana orang-orang Bolaang Mongondow bisa sekreatif mungkin membuat menu-menu yang dapat mengguggah selera penikmat cita rasa kuliner Nusantara. ***
Komentar