44 Tahun Jadi Petani Gula Aren, Ungke: Saya tak Mampu Lagi Makan Gaji

KOTAMOBAGU Ungke Mamonto (68) asal Desa Moyag Kecamatan Kotamobagu Timur, merasakan benar suka duka menjadi petani gula aren.

Memang tak mudah dan membutuhkan fisik yang kuat. Selepas subuh, ia sudah membawa bambu atau wadah air nira ke perkebunan miliknya.

Ungke memanjat pohon aren satu per satu. 10 pohon aren ditargetkannya untuk dipanjat dalam sehari.

Wadah yang sudah berisi diganti lagi dengan yang baru. Begitulah keseharian yang dilakukannya.

Sejak 44 tahun silam, ia sudah menjadi petani gula berbahan baku air nira dari pohon aren peninggalan orang tuanya.

“Usia saya baru 14 tahun waktu itu, saya membantu orang tua yang juga petani gula aren. Sekarang ini kurang lebih sekitar 44 tahun saya geluti usaha ini,” ungkapnya saat ditemui di tempat pengolahan gula aren di perkebunan Desa Moyag, Senin, 2 Maret 2020.

Terkadang hasil penjualan gula aren tidak sesuai harapan. Namun, hal itu bukan menjadi masalah baginya. Bahkan untuk membiayai kebutuhan sehari-hari seringkali tak cukup.

“Sekarang harganya sudah bagus, per biji itu normalnya 13 ribu rupiah sampai Rp15 ribu. Kalau dulu diwaktu saya baru memulai pekerjaan ini, harga per biji hanya Rp25. Tapi saya tetap bersyukur. Terpenting bagi saya ada hasil, meskipun hanya sedikit dan itu yang saya gunakan untuk kebutuhan sehari-hari,” ujar tete Kaizan sapaan akrabnya.

Agar usaha ini berjalan terus, sejak beberapa tahun lalu ia mulai melakukan lagi penanaman pohon aren.

Saat ini jumlah pohon aren miliknya sekitar 100 pohon lebih yang terdapat di tiga lokasi kebun yang berbeda.

“Proses pengambilan air nira tidak sekaligus dalam 100 pohon, tapi setiap hari itu ada beberapa pohon saja, yang lain nanti pengolahan berikutnya,” terangnya.

Lanjutnya, untuk dua hari ia mampu menghasilkan 350 liter air nira yang siap diolah menjadi gula.

Air nirah ini nantinya dituangkan ke dalam drum yang sudah di potong dengan ukuran per drum kurang lebih 175 liter.

“Dua hari proses untuk memasak air nira ini sampai menjadi gula yang sudah siap dipasarkan. Untuk setiap kali produksi jumlahnya 75 biji,” katanya.

Diusianya yang tak lagi muda, ia pun berharap nantinya gula merah produk asli Desa Moyag ini bisa menjadi salah satu icon Kota Kotamobagu, serta memberikan dampak peningkatan kesejahteraan bagi petani gula aren itu sendiri.

“Saya sudah tak mampu lagi makan gaji seperti yang lain, usia saya sudah tua. Jadi hanya ini yang menjadi harapan saya untuk memenuhi kebutuhan setiap hari. Semoga gula merah asal Moyag ini nantinya menjadi produk kebanggaan Kota Kotamobagu,” ucapnya.

Penulis: Erwin Makalunsenge

Komentar