Oleh: Murdiono Mokoginta
Pemandangan menarik tersaji pada Upacara HUT Ke-78 Republik Indonesia tanggal 17 Agustus 2023 di Istana Negara.
Presiden Republik Indonesia, Ir. Hi. Joko Widodo mengenakan pakaian Kesunanan Surakarta yang bernama Ageman Songok Singkapan Ageng dari Kraton Kesunanan Surakarta Hadiningrat.
Baju tersebut biasanya dikenakan oleh para Raja Pakubuwono Sukrakarta Hadiningrat, untuk menemui para warganya untuk membagikan rejeki demi kesejahteraan mereka.
Di sisi lainnya, kita juga melihat momen menarik dari Ibu Puan Maharani sebagai ketua lembaga legislatif, Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI).
Di mana cucu dari Presiden Pertama Indonesia, Ir Soekarno ini juga mengenakan pakaian adat dari Kerajaan Bolaang Mongondow. Kerajaan Bolaang Mongondow merupakan salah satu Kerajaan Tua di wilayah Sulawesi Utara, yang telah eksis bahkan sebelum abad ke-15.
Pakaian adat yang dikenakan oleh Ibu Puan Maharani sendiri dalam Kerajaan Bolaang Mongondow disebut “Salu” sebagai pakaian Perempuan.
Baju Salu’ memakai kain songket dan pada dada terdapat hiasan dari kain biludru jenis kain yang baik dengan hiasan emas yang disebut hamunsei.
Di atas hamunsei terdapat mandapung, berbentuk seperti dasi dengan hiasan-hiasan permata intan, berlian atau lain-lain yang bernilai. Pada dahi dibuat hiasan disebut lokis. Pada rambut dibubuhi sejenis mahkota (hiasan sisir). Pada sanggul terdapat sunting emas yang biasanya bermotif burung. Pada lengan terdapat hiasan gelang emas atau perak yang disebut pateda.
Dalam Buku Empat Aspek Adat Daerah Bolaang Mongondow (1996:23-24), pakaian Salu’ dimaknai pada tiap bagian-bagiannya seperti: gunting tiga buah yang bermakna dipikiran wanita terpikul tiga hal, yakni sebagai pendamping suami, anggota masyarakat, dan pembimbing dan pendidik anak.
Lokis lima buah melambangkan lima sila dari Pancasila sebagai dasar pendidikan anak. Hamsei dengan aneka hiasan berwarna kuning dan hijau melambangkan kesuburan dan kuning melambangkan padi dan emas.
Madapung di dada melambangkan kelapangan dada seorang perempuan juga istri dalam menghadapi berbagai masalah baik dalam rumah tangga, keluarga dan lingkungan.
Sedangkan warna kuning melambangkan keabadian. Bobol dan kote-kote melambangkan ikatan keluarga yang kuat untuk mengikat sang istri dalam tindak tanduk sehari-hari. Pateda dan Bolusu sebagai tanda bahwa sang wanita terikat dalam sangsi hukum adat yang kelak ditemui.
Sunting paling sedikit lima dan sisir diletakan digaris mahkota. Lokis lima buah terbuat dari benang rambut. Hamsei disesuaikan dengan lambang daerah.
Madapung diletakan dibagian atas hamsei serta memakai kote-kote dan bobol di leher. Memakai pateda, gelang ditangan. Adapun warna salu atas bahwa menyesuaikan umumnya yang agak meriah.
Kerajaan Bolaang Mongondow sendiri telah eksis sebelum abad ke-15 dan menguasai hingga wilayah Bonton di Gorontalo dan Manado sejak di masa Kinalang Damopolii hingga Raja Loloda Mokoagow.
Dalam Sejarahnya, di abad ke-17, Raja Loloda Mokoagow memiliki hubungan yang sangat akrab dengan Sultan Hasanuddin di Makassar dan Sultan Sibori Amsterdam dari Ternate.
Kesultanan Makassar, Kesultanan Ternate, dan Kerajaan Bolaang Mongondow di abad ke-17 dalam beberapa catatan kolonial pernah dijuluki sebagai segitiga emas di Nusantara Timur, karena luasnya pengaruh dan kebesaran tiga kerajaan ini pada masa itu.
HUT Republik Indonesia tahun ini menampilkan romantika historis dari wajah Indonesia sesungguhnya. Ini tercermin dari dua pakaian adat pimpinan tertinggi eksekutif dan legislatif di Indonesia.
Presiden Joko Widodo mengenakan pakaian adat Kesunanan Surakarta yang mewakili Indonesia bagian barat, sedangkan Ketua DPR RI, Mba Puan Maharani mengenakan pakaian “Salu” dari Kerajaan Bolaang Mongondow mewakili Indonesia Timur. Pemandangan yang sejuk dan luar biasa.
*) Penulis merupakan Ketua Pusat Study Sejarah Bolaang Mongondow Raya (PS2BMR).
Komentar