Loloda tak pernah berpikir akan menerima tanggung jawab sebagai seorang pemimpin Bolaang dan Mongondow, akan menjadi Punu’ yang berkuasa atas wilayah ke-Punu’-an mulai dari Bolaang dan Mongondow, Tontemboan, sampa Manarow. Sesungguhnya Loloda adalah penyendiri yang selalu merenungkan kehidupan. Dia tak segan-segan mengemukakan perenungannya pada keluarganya, para Bogani, bahkan pada sang Punu’ Tadohe yang merupakan ayahnya sendiri. Lidahnya sangat fasih dalam mengemukakan apa yang dia pikirkan.
Justru yang mendengarkan jadi terkagum-kagum dan bersorak kegirangan karena menemukan pemimpin yang paripurna.
“Penantianmu sudah dijawab Ompu Duata, Punu’. Penggantimu telah mahir berkata-kata dan punya ketajaman berpikir. Engkau tak perlu lagi mencemaskan apa yang terjadi pada ke-Punu’-an setelah kita semua tinggalkan,” kata Inde’ Dow.
“Sukuron kon Ompu Duata, Inde’. Loloda tak hanya jawaban atas doa saya tapi juga doa seisi alam Bolaang dan Mongondow. Ompu Duata telah menjawab doa kita, Inde’, sekarang kewajiban kita untuk mendandani agar Loloda benar-benar bisa seperti yang kita harapkan,” kata Tadohe.
Maka Loloda’ pun mulai dilatih untuk disiapkan menjadi Punu’. Dia sangat beruntung Inde’ Dow, Bantong, Oyotang, Mogidag dan Karompeyan masih hidup walau jelas mereka tak mungkin mendampinginya ketika dia menjadi Punu’ suatu hari nanti. Ompu ki Togi Mia, telah menjadikan kehidupan hanya seperti lautan pendek yang diarungi, suatu saat dia akan berlabuh ke alam kematian dan bersiap menuju alam keabadian. Namun pelajaran yang mereka berikan sangat Loloda’ harapkan dalam menjalani takdirnya dikehidupan.
Di siang hari, dia dilatih kanuragan oleh Bantong, Oyotang, Mogidag, Karompeyan, bahkan oleh ayahnya sendiri, di malam hari dia akan mendengarkan kebijaksanaan dari Inde’ Dow. Loloda sangat senang mendengar hikmah dari bibir Inde’ Dow yang dia panggil Ba’ai itu.
“Pomalui (Loloda), engkau memimpin dimasa yang sulit. Orang-orang pucat berkepala api berkeliaran di wilayah ke-Punu’-an dengan adat dan aturan yang sama sekali berbeda dengan kita. Mereka orang aneh dengan sejuta keanehannya. Senjatanya seperti milik mongonggaing, berbunyi di sini tapi mati di sana…”
Loloda tersenyum mendengar definisi Inde’ Dow pada senjata dari mesiu yang dipunyai orang-orang Pertugis, Spanyol, Belanda dan Inggris. Ketika masuk pertama kali di wilayah ke-Punu’-an, pasti banyak orang yang menyangka orang pucat berkepala api itu sakti dan punya ilmu yang tinggi. Namun lama kelamaan, mereka menganggap senjata mesiu itu seperti mainan. Loloda punya satu, yang bentuknya pendek, berukir serta bertuliskan entah apa. Ayahnya yang memberikan, Punu’ Tadohe tak ingat lagi itu hadiah dari siapa dan dia jarang sekali mengingatnya. Senjata dari mesiu memang bukan senjata andalan orang-orang di wilayah ke-Punu’-an. Para Bogani maupun Walian jarang sekali yang mempergunakan. Bagi mereka, senjata itu seperti senjata perempuan yang tak melambangkan keberanian dan keperkasaan dan kehormatan. Bagi mereka, lebih terhormat memenggal musuh atau terpenggal oleh musuh dengan parang dibandingkan dengan senjata dari mesiu.
“Orang-orang pucat berkepala api itu licik, Pomalui. Mereka akan memecah belah kita, akan menjadikan kita ata…”
“Jika begitu, mengapa Punu’ mau berteman dengan mereka?” Loloda memotong.
Inde’ Dow terdiam, memandangi Loloda. Seumur-umur baru sekali ini pembicaraannya dipotong. Bahkan Tadohe, ayahnya Loloda yang telah menjadi Punu’ pun tak berani memotong bicaranya, terlebih ketika dia diberi nasehat.
“Maafkan saya, Ba’ai,” kata Loloda.
Inde’ Dow tertawa. “Engkau akan menjadi Punu’ sehingga kumaafkan agar kau tak membalas,” kata Inde’ Dow, dia tertawa lagi.
Inde’ Dow menatap Loloda dengan pandangan serius. “Orang-orang pucat berkepala api itu harus diadu antar mereka, syukurlah mereka sangat sulit berunding antar mereka. Salah satu dari mereka meminta kita membantu memerangi lawannya, kita terima saja. Dengan begini mereka tak bisa bersatu, juga kita dapat mengetahui senjata aneh mereka yang berbunyi di sini namun yang mati ditempat yang jauh, juga kita mendapatkan bibit tanaman yang sangat berguna tapi belum ada di tempat kita. Intinya, kau bisa berteman dengan mereka tapi harus tetap berhati-hati dan berusaha sebisa mungkin agar pertemanan itu tidak mengancam wilayah ke-Punu’-an melainkan menguntungkan,”
Loloda menganggukan kepala. Sekarang dia mengerti kenapa banyak hal mengherankan yang pendahulunya lakukan terhadap orang-orang berambut merah itu. Sekali waktu mereka berteman dengan Spanyol dan membantu berperang melawan Portugis, namun di waktu lain mereka bersikap sebaliknya, bahkan mereka mengundang Compeny itu mendiami wilayah mereka. Pada masa Tadohe, Company diizinkan membangun benteng dari kayu yang memicu sengketa Spanyol dan Company. Walau telah mengizinkan Belanda untuk membangun benteng tersebut namun Tadohe tidak otomatis membantu Belanda. Tadohe hanya mendiamkan walau orang-orang Tontemboan mendesaknya membela Belanda karena dari Toundano masih menginginkan Spanyol. Bagaimanapun Tadohe harus memperhatikan perimbangan Spanyol yang telah menguasai bekas kesultanan Sulu yang lebih dekat dengan Ke-Punu’-an di bandingkan Company yang berada di Batavia. Andai Company kalah, bisa jadi ke-Punu’-an akan jadi bulan-bulanan Spanyol.
“Adapun orang-orang diwilayah ke-Punu’-an, walau banyak yang berbeda denganmu namun kau tak boleh memusuhi mereka. Orang Tontemboan dan Manarow adalah saudaramu. Leluhurmu, Bua’ Ginsapondo telah dinikahi dan tinggal di tempat mereka. Leluhur kita telah menikahi gadis-gadis mereka. Mereka adalah saudara kita. Tak hanya ketakutan akan perang yang membuat mereka mau masuk ke wilayah ke-Punu’-an tapi juga karena kesadaran bahwa kita memang bersaudara. Tapi jika mereka mengancam wilayah ke-Punu’-an, kau harus bijak tapi tegas,” lanjut Inde’ Dow.
Seperti biasa, Loloda hanya bisa mengangguk ketika mendengarkan petuah Inde’ Dow yang penuh hikmah. Bukan sekadar anggukan seorang munafik tapi memang setiap hikmah dari Inde’ Dow langsung tersimpan dalam hatinya. masih banyak hikmah yang Inde’ Dow sampaikan padanya.
*******
Tadohe punya cara sendiri dalam mendidik Loloda. Dia membawa anaknya itu ketika dia turun ke daerah. Di Moyag, dia bersitatap dengan gadis cantik dan jantungnya langsung berdegup kencang. Di Komalig, dia mendadak jadi pendiam. Dia sangat menikmati wajah itu di alam angan.
“Engkau sakit, Pomalui (Loloda)?”
Loloda tersontak saking kagetnya. “Ah, tidak, Ba’ai,” katanya, pipinya langsung memerah, dia merasa telah tertangkap basah telah bercumbu dengan sang gadis di alam angannya.
“Engkau sakit!” sekarang Inde’ Dow berseru.
“Tidak!” Loloda meraba keningnya sendiri. “Aku tidak sakit!” ulangnya.
“Mari kita berjalan-jalan, biar kuberitahu sakitmu.”
Loloda’ pun bangkit dan mengikuti langkah Inde’ Dow yang terbungkuk-bungkuk dengan tangan bersandar pada tongkat. Sepertinya tongkat itulah kaki Inde’ Dow, namun agak susah bagi Loloda untuk mengimbangi. Mereka ke salah satu gubug tak berdinding yang tak jauh dari Komalig. Di depan gubug itu terdapat kolam besar dengan perahu yang masih tertambat. Punu’ dan Boki’ sering bersantai di sana. Para Dayang yang sedang bergosip di sana diusir halus oleh Inde’ Dow.
“Siapa perempuan itu, Pomalui?” tanya Inde’ Dow begitu mereka duduk.
Wajah Loloda kembali memerah. Dia seperti tersergap. Dia ingin berdusta namun dia yakin Inde’ Dow tahu apa yang dia pikirkan. “Aku tak tahu namanya, Ba’ai. Tapi dia dari Moyag,” katanya jujur.
“Tidak kah kau ingin tahu namanya?”
Inde’ Dow menarik napas panjang. “Kau cari tahulah siapa dia, pastikanlah apa dia belum menikah. Jika dia belum menikah, suruhlah taba’ untuk menyampaikan hasratmu padanya. Kau harus memastikan apa dia mau menikah denganmu dengan keikhlasan atau tidak. Kau jangan sekali memaksakan diri kalau dia sudah menikah atau tidak ingin berumbah tangga denganmu. Walau kau anak Punu’ dan kalau Ompu Duata mengizinkan sebentar lagi akan menjadi Punu’, kau tak boleh memaksakan kehendak. Jangan sampai ke-Punu’-an berperang dan musnah hanya karena kau berhasrat pada perempuan,”.
Sangat mengherankan. Persoalan ini seharusnya disambut dengan gembira karena sebentar lagi Loloda akan menjadi pria dewasa seutuhnya dengan menikah. Dengan menikahnya Loloda maka syaratnya untuk menggantikan ayahnya sudah cukup. Namun Inde’ Dow malah menanggapinya dengan serius, dengan diselimuti kesedihan dan ancaman. Loloda tahu sikap Inde’ Dow biasanya mendatangkan hikmah, maka dia mendiamkan saja. Tadohe tak ingin peristiwa kelam itu terjadi pada Loloda.
“Perkawinan itu untuk menyatukan, Abo’, karena itu kau tak boleh memaksakan walau sangat ingin karena bisa jadi bukannya menyatukan tapi malah memunculkan permusuhan yang akan membuat kita malu,” kata Inde’ Dow.
Loloda melaksanakan apa yang disarankan Inde’ Dow. Dia benar-benar meneliti siapa gadis yang ternyata bernama Langgaan itu. Setelah semua jelas dan tak ada dari gadis itu yang melanggar syarat dari Inde’ Dow, Loloda dan Langgaan pun menikah.
***
Baru sehari menikah, Loloda harus mendapatkan dirinya dalam kekosongan. Saat itu, ayahnya sendiri yang memanggilnya. Mereka, hanya berdua, tanpa pengawalan, tanpa pakaian kebesaran, mereka berjalanan ke wilayah Kotabunan. Di sepanjang perjalanan, Punu’ Tadohe diam. Mendapatkan ayahnya diam, Loloda pun diam walau berjuta tanya muncul di kepalanya.
Mereka terus berjalan. Begitu, mendaki dan menuruni gunung. Akhirnya mereka sampai disuatu gubug. Loloda kaget begitu keluar Inde’ Dow, Bantong dan Oyotang.
“Engkau sudah datang, Adi’, Ompu,” sapa Inde’ Dow, bibirnya tersenyum penuh misteri. Bantong dan Oyotang pun terlihat gembira—entah apa yang mereka girangkan.
“Kuucapkan selamat padamu, Ompu. Kau sudah terlihat bukan sekadar pomalui lagi tapi sudah Punu’ yang sebenarnya,” sambung Inde’ Dow.
Loloda hanya diam. Dia belum tahu apa akan gembira atau senang. Ucapan Inde’ Dow masih misteri baginya.
“Karena kau sudah menggenapi syarat untuk menjadi Punu’ maka maka tugas kami untuk membimbingmu sudah berakhir. Kali ini kau tak boleh memotong, Ompu, karena yang bicara ini bukan pembimbingmu melainkan Ba’aimu.”
Loloda yang sudah ingin bicara langsung merapatkan bibir.
“Karena tugas kami telah selesai maka sekaranglah saatnya bagi kami menjelajahi bumi dari Ompu Kitogi Mia, sambil menunggu dimana ajal akan menjemput nyawa,” kata Inde’ Dow, mulutnya seperti terkunci setelah mengucapkan itu.
Punu’ Tadohe berusah menahan air mata namun matanya berkaca-kaca. Loloda terisak-isak.
“Jangan menangis ya Mokogagow, kehilangan hanyalah hiasan kehidupan maka sebaiknya bukan kepergian kami yang kau tangiskan tapi hikmah dari setiap pertemuan kita yang kau jadikan pegangan dalam membimbing rakyat agar mencapai kesejahteraan,”
Setelah bersalaman dan berpelukan, Inde’ Dow, Bantong dan Oyotang pun pergi diiringi tangis ayah-anak, Tadohe-Loloda. Loloda merasakan kehampaan yang sangat mendalam justru disaat dia dinyatakan telah mencapai kesempurnaan untuk memimpin wilayah ke-Punu’-an.
Di kemudian hari, Loloda mendengar kemunculan Inde’ Dow diberbagai tempat. Bahkan keturunan Loloda pun mengatakan sering melihat Inde’ Dow.
Hari itu, Tudu in Bakid terlihat seperti biasa. Tak ada yang istimewa dengan tampilannya. Dia masih tetap dengan kesederhanaannya. Pohon-pohon tinggi menjulang yang mengelilinginya meliuk-liuk lembut mengiringi kehendak angina yang seperti diperintahkan untuk sekadar mendesah oleh Maha Kuasa. Langit cerah, awan putih yang bertebaran diangkta telah memberi tempat persembunyian bagi sang surya. Hawa disekitar Tudu in Bakid demikian sejuk.
Padahal hari itu dia akan kembali menjadi saksi peristiwa besar di alam ke-Punu’-an Bolaang dan Mongondow. Kesederhanaan memang telah menjadi bagian dari alam ke-punu’-an. Walau telah berkenalan dengan orang pucat berambut api serta orang-orang bermata kecil yang memperkenalkan beragam barang namun tak ada yang diambil dalam upacara diperistiwa besar semacam itu selain kain sikayu yang telah menjadi baju pengganti kulit kayu.
Tak jauh dari Tudu in Bakid, kesibukan luar biasa terjadi di Komalig. Kesibukan itu telah masuk hari ketujuh. Tolibag, totampit dondong, silat, dan lainnya ramai dimainkan dari pagi sampai pagi lagi. Masyarakat, terlebih pemuda dan gadis, tumpah dihalaman Komalig.
Dari atas Komalig, para pembesar dari berbagai tempat datang. Penguasa di wilayah ke-Punu’-an, para Ukung dan Bogani nampak hadir dengan pakaian kebesaran. Juga penguasa dari negeri sahabat seperti Siau, Hulantalo, Gowa, Ternate, dan lainnya. Bahkan ada perwakilan dari orang pucat berambut api yang datang dengan pakaian aneh mereka. Para Bogani dan Ukung sadar bahwa kehadiran orang pucat berambut api ini untuk mengamati apa ada peluang bagi mereka untuk menguasai ke-Punu’-an. Namun Punu’ Tadohe menitahkan agar dibiarkan saja, bahkan ini peluang bagi ke-Punu’-an untuk memperlihatkan bahwa mereka bersatu padu sehingga musuh gentar. Walau demikian, para Bogani dan Ukung tetap menyiapkan diri untuk berperang jika memang itu yang orang pucat berambut api itu inginkan.
Tadohe sesekali menampakan diri diatas Komalig yang disambut teriakan membahana dari rakyat. Dia tampil dalam pakaian yang berbeda-beda. Sekali dia tampil dengan pakaian seorang Punu’ yang menggenggam tongkat bersaput emas, sekali dia dengan pakaian perang dan mengacungkan parang mengkilap, sekali dia tampil dengan pakaian pengembara yang sangat sederhana lengkap dengan tongkat kayunya. Semua itu menampakan sosoknya saat itu. Bahwa saat itu dia masih pemimpin tertinggi ke-Punu’-an yang siap berperang dengan siapapun yang mengganggu wilayah ke-Punu’-an namun tak lama lagi dia akan menjadi pengembara untuk mencari hidup yang lebih bermakna sambil menunggu takdir dari Ompu Duata setelah mengalihkan tongkat kepemimpinannya. Sebelum Ompu Duata memisahkan nyawa dari raga, dia akan tetap membantu ke-Punu’-an tapi tidak akan berstatus dalam terlebih wayang. Dia akan menjadi penolong yang tak dikenal seperti Inde’ Dow. Tadohe sudah berpikir akan mencari di mana ibu angkatnya itu berada dan dia akan bersatu lagi dengan Inde’ Dow, Bantong serta Oyotang tapi berstatus sama. Di dalam angannya dia sudah membayangkan mereka berempat akan menjadi pahlawan tak dikenal bagi ke-Punu’-an.
Selama keramaian yang sudah memasuki hari ketujuh itu, Loloda belum pernah tampil dihadapan rakyat serta para penguasa dari bermacam Negara. Dia sedang dipingit di dalam ruangan, menjalankan beragam ritual. Setelah mengarungi pelatihan sampai mendampingi ayahnya menjalankan pemerintahan di ke-Punu’-an, para Bogani pun menilai dan sepakat memilihnya untuk menggantikan Tadohe menjadi Punu’ Bolaang Mongondow yang menguasai Bolaang dan Mongondow sampai Manarow.
Sekarang waktunya Loloda dilantik. Ayahnya menjemput ke dalam ruangan tempatnya menjalankan ritual. Loloda kaget melihat sang ayah, Punu’ Tadohe, berkuasa penuh didalam wilayah ke-Punu’-an, yang wilayahnya terbentang sepanjang keberadaan bantong, dimuliakan kawan dan disegani lawan—bahkan orang pucat berkepala api, namun sekarang dia hanya memakai pakaian pengembara yang lengkap dengan tongkat kayunya. Alangkah kecilnya semua itu bagi seorang yang sadar bahwa semua kemuliaan dunia pasti akan ditinggalkan.
Bagi Loloda, pakaian itu juga pertanda dia akan ditinggalkan. Sudah bertahun-tahun perpisahannya dengan Inde’ Dow beserta Bantong dan Oyotang, namun begitu ayahnya sendiri memakai pakaian begitu, rasanya perpisahan dengan orang tua bijak itu baru terjadi kemarin. Dan sekarang, ayahnya yang akan meninggalkannya.
Entah perubahan drastis ayahnya atau kenyataan dia akan ditinggalkan, yang jelas Loloda menangis.
“Kau boleh menitikan air mata, Abo’, tapi jangan terisak, apalagi meraung. Dan hanya di sini. Kasihan rakyat jika melihat. Musuh-musuhmu akan kegirangan kalau tahu kau menangis,” kata Tadohe, dia melangkah dan memeluk anaknya, matanya berkaca-kaca. “Inilah takdir dari Ompu Kitogi Mia wahai, Punu’. Yang kau dapatkan hanyalah mainan yang diberikan-Nya dan pasti akan diambilnya dan diberikan pada yang lainnya. Engkau harus sabar dan ikhlas menerima semua ini.”
Mereka berpelukan erat. Loloda belum bisa menerima kenyataan itu.
“Hapuslah air matamu, Punu’, dan keluarlah. Rakyatmu sudah menunggu. Jangan kau buat mereka berpikir bahwa kau lemah, begitu juga musuh-musuhmu. Kau harus tegak dihadapan mereka yang hadir hari ini. Engkau punya kewajiban terhadap tanah yang telah menghidupimu,” kata Tadohe.
Loloda pun melepaskan rangkulannya dan mengusap air matanya. Keduanya berdiam diri sejenak sampai air mata itu tak berbekas. Kemudian keduanya ke luar.
“Wehuhui.”
“Wehuhui.”
“Wehuhui.”
Sorak sorai rakyat dan undangan menyambut mereka, membela angkasa.
Dengan ditandu, Loloda diarak ke Tudu in Bakid, disampingnya Punu’ Tadohe berjalan dengan pakaian pengembara yang sederhana. Di barisan depan, para Bogani dan Waraney menarikan tari perang. Parang mereka sesekali terlihat gemerlapan tertimpa cahaya sang surya yang selalu berlindung dibalik awan.
***
Lelaki itu sudah sangat tua, sudah lebih seratus umurnya. Namun dialah monument dan masih hidup. Padanya dinisbatkan perjanjian yang dibuat 20 tahun lalu itu. Dialah Paloko sang mononikop. Dialah yang mula-mula menyatakan ketundukan penuh pada Tadohe sebelum Tadohe menjadi Punu’. Dan atas namanya Tadohe menyatakan kewajibannya sebagai Punu’ untuk mensejahterakan rakyat. Itulah perjanjian Paloko-Kinalang, perjanjian antara rakyat dan penguasa yang menyatakan : tonoi aku’oi ba bibittonku mo’iko.
Karena dia monument dan masih hidup maka dialah yang diminta untuk mengucapkan ikrar rakyat dalam pelantikan penguasa mereka itu. Dan dia pun maju perlahan, tertatih, menyeret kaki. Tongkatnya perlahan berpindah dari bongkahan tanah satu ke bongkahan tanah berikutnya.
“Ya, Punu’, kami ini hanyalah tuangi lipu’, keberadaan kami sangat tergantung padamu, Duhai Punu’. Engkau Besar maka kami akan ternaungi, engkau kuat maka kami akan selamat. Karena itu wahai Punu’, katakanlah pada kami apa yang akan memperbesar dan memperkuat dirimu. Inilah diri kami, darah dan tulang kami yang telah dicipta oleh Ompu Kitogi Mia, inilah nyawa kami siap dipertaruhkan untuk memperbesar dan memperkuat dirimu.”
Keheningan yang syahdu melingkupi semua yang hadir. Suara serak Paloko menelusup ke kalbu.
“Duhai Punu’, Engkau memang bukanlah sesembahan karena hanya Ompu Duatalah pemilik kehidupan. Andai Ompu Duata Kitogi Mia belum memisahkan nyawa dari badan maka semua yang ada padaku ini adalah untuk membesarkan dan memperkuat dirimu. Sayang semua milik Ompu Duata, padanya kita semua berserah.”
Paloko terdiam, dia mengambil napas sejenak. Udara di Tudu in Bakid segar namun meniupkan kesedihan. Loloda menyadari sepenuhnya arti kata-kata Paloko. Ompu Duata memang telah menakdirkan orang-orang terbaik yang telah membesarkan dan memperkuat ayahnya kebanyakan telah meninggalkan keramaian untuk menyambut jemputan Ompu Duata yang akan membawa mereka ke alam lainnya.
“Tapi jangan cemas wahai Punu’, anak-cucu di wilayah ke-Punu’-an, orang Bolaang dan Mongondow, Tontemboan sampai Manarow, siap membesarkan dan memperkuat dirimu.”
“Wehuhui.”
“Wehuhui.”
“Wehuhui.”
Teriakan menggema bersahut-sahutan. Para Bogani dan Waraney mengacungkan parang ke udara, memberi tanda kepada siapapun yang akan macam-macam dengan Punu’ baru, mereka siap melawan.
“Duhai Punu’, harta bukanlah pertukaran yang mahal untuk kehormatanmu karena kehormatanmu melebihi harta kami. Pertukaran yang imbang hanyalah nyawa yang melekat diraga. Tapi itu pun masih lah kurang. Karena itu, walau hancur lebut alam ke-Punu’-an namun kehormatanmu harus kami utamakan.”
“Wehuhui.”
“Wehuhui.”
“Wehuhui.”
Teriakan menggema di atas Tudu in Bakid.
Pernikahan Loloda Mokoagow yang juga dikenal Datoe Binangkang dan permaisurinya Langgaan memiliki seorang anak diberi nama Makalunsenge. Pada pernikahannya kedua dengan Malo Malangkasi, Loloda Mokoagow kembali mendapatkan putra bernama Manoppo (Jacobus Manoppo) yang kemudian menggantikannya sebagai Raja Bolaang Mongondow.
(Sumber: Novel Karya Anwar Sukur)
Komentar