Catatan: Muslim Paputungan
Jauh sebelum kata merdeka di dengungkan ada sebuah sejarah perlawanan di Indonesia. Yang pastinya hal itu hampir terjadi seluruh daerah yang ada di Negeri ini. Salah satunya di daerah Bolaang Mongondow (Bolmong).
Berdasarkan penuturan Alm Hi K.C Mokoginta yang dilansir dalam catatan S.Mokoginta, dimana pernah terjadi perang di Desa Pontodon Kecamatan Passi pada masa itu. Peristiwa perang tersebut terjadi pada tahun 1891. Diceritakan awal perlawanan masyarakat Bolmong diakibatkan saat pasukan Belanda masuk di Bolmong dan merampas hak-hak masyarakat, termasuk perkebunan milik warga. Para serdadu belanda ini membuat markas di Dayow sebuah perkebunan warga milik Pontodon kala itu. Seiring berjalannya waktu daerah kekuasan belanda lebih besar dan hampir terlihat diseluruh lokasi perkebunan terdapat markas Belanda.
Melihat adanya kondisi tersebut, warga Pontodon tidak hanya tinggal diam. Melalui Abo Kui Mokoginta yang disebut sebagai pimpinan perlawanan rakyat Pontodon, melakukan protes terhadap mereka (Serdadu belanda) dengan cara mengadukan perampasan tanah wialayah perkebunan mereka kepada Raja Bolmong. Saat mendengar peristiwa tersebut, Raja Bolmong langsung mengundang beberapa kepala kelompok Belanda untuk menyelasaikan persoalan itu. Maka dilakukanlah perundingan dan hasilnya di sepakati bahwa perluasan wilayah pembuatan markas belanda harus dihentikan. Setelah adanya kesepakatan tersebut, keadaan semakin membaik dan warga Pontodon kembali beraktifitas seperti biasanya.
Namun Setelah berjalannya waktu, perlawanan kepada Belanda kembali terjadi. Peristiwa ini disebut sebagai perang besar pada masa itu, atau perang orang Pontodon dengan Belanda. Peristiwa ini bermula saat salah satu warga Pontodon bernama Huruma yang berprofesi sebagai pedagang gula merah hendak menjual dagangannya ke markas belanda. Niat Huruma untuk mejual gula merah tersebut dianggap lain oleh pihak Belanda dan dirinya ditangkap, karena dituduh sebagai mata-mata rakyat Pontodon. Tak hanya ditangkap bahkan dirinya dipukul dan disiksa.
Mengetahui hal itu, masyarakat Pontodon dibawah pimpinan Abo Kui Mokoginta melakukan perlawan dengan mengumpulkan seluruh warga desa Pontodon. Dengan menggunakan parang dan bambu runcing warga Pontodon melakukan penyerangan ke markas Belanda yang saat itu dilengkapi dengan senjata militernya. Karena jumlah yang terbatas dan persenjataan yang masih ala tradisonal, akhirnya masyarakat Pontodon banyak yang menjadi korban dalam perang tersebut. Ratusan warga menjadi tahanan dan diasingkan ke Manado dan pulau Jawa. Abo Kui Mokoginta yang saat itu lolos dalam pertempuran itu, mendapatkan perlindungan dari pihak KerajaanBolmong.
Setelah keadaan mulai berangsur pulih, perang mulai redah Abo kui Mokoginta kembali ke desa Pontodon dan beraktifitas kembali seperti biasa.
Meskipun dengan susah payah Abo Kui Mokoginta dan warga lainnya kembali membangun desa Pontodon. Lahan perkebunan kembali di buka, warga kembali menanam hasil-hasil bumi seperti kopi dan tanaman perkebunan lainnya. Hingga berkahirnya masa kerajaan Bolmong, Desa Pontodon menjadi salah satu desa yang banyak memproduksi hasil pertanian di wilayah Bolmong. (***)
Komentar