Manajemen Keuangan Syariah Berbasis Akad Wadiah dan Ijarah

Oleh: Rinta Mutiara

Mungkin di dunia perbankan syariah, kita sudah tidak asing lagi bukan dengan yang namanya mekanisme keuangan syariah.

Di dalam mekanisme keuangan syariah itu sendiri  terdapat berbagai jenis akad yaitu akad ijarah, IMBT, wadiah, dan qardh.

Nah disini saya akan lebih fokus membahas tentang mekanisme keuangan syariah berbasis akad ijarah dan wadiah, ijarah yaitu upah yang diberikan sebagai kompensasi sebuah perkerjaan.

Sedangkan wadiah itu sendiri berati meninggalkan (menitipkan), yang mana barang yang ditinggalkan atau diletakkan ditempat orang lain agar dijaga.

Baik disini saya akan menjelaskan secara singkat tentang Mekanisme Keuangan Berbasis Akad Ijarah dan Wadiah

  • Definisi ljärah

أجر – يأجر ljarah secara etimologi adalah masdar dari kata

(ajara-ya’jiru), yaitu upah yang diberikan sebagai kompensasi sebuah pekerjaan. Al-ajru berarti upah atau imbalan untuk sebuah pekerjaan. Al-ajru makna dasarnya adalah pengganti, baik yang bersifat materi maupun immateri. Al-Syarbini mendefinisikan ijarah sebagai berikut: عَقْدٌ عَلَى مَنْفَعَةٍ مَقْصُودَةٍ مَعْلُومَةٍ قَابِلَةٍ لِلْبَدْلِ وَالْإِبَاحَةِ بِعِوَضٍ مَعْلُومٍ

“Akad untuk menukar manfaat suatu barang dengan sesuatu, di mana manfaat tersebut merupakan manfaat yang halal dan diperbolehkan oleh syara”.

Akad ijarah ada dua macam, yaitu ijarah atau sewa barang dan sewa tenaga atau jasa (pengupahan). Sewa barang pada dasamya adalah jual beli manfaat barang yang disewakan, sementara sewa jasa atau tenaga adalah jual beli atas jasa atau tenaga yang disewakan tersebut. Keduanya boleh dilakukan bila memenuhi syarat ijarah sebagaimana yang akan dijelaskan.

  1. Rukun dan Syarat ljärah

Umumnya dalam kitab fiqih disebutkan bahwa rukun ijarah adalah pihak yang menyewa (musta’jir), pihak yang menyewakan (mu’jir), ijab dan kabul (sigah), manafaat barang yang disewakan dan upah. KHES menyebutkan dalam Pasal 251 bahwa rukun ijarah adalah:1) pihak yang menyewa;

2) pihak yang menyewakan; 3) benda yang diijarahkan; dan 4) akad. Masing-masing rukun ini mempunyai syarat tertentu yang akan dijelaskan dalam masalah syarat ijarah.

Fatwa DSN MUI No: 09/DSN-MUI/IV/2000 menetapkan mengenai rukun ijarah yang terdiri dari:

  1. Sigah ijarah yaitu ijab dan qobul berupa pernyataan dari kedua belah pihak yang berakad (berkontrak) baik secara verbal atau dalam bentuk lain.
  2. Pihak-pihak yang berakad, terdiri atas pemberi sewa/pemberi jasa dan penyewa/pengguna jasa.
  3. Objek akad ijarah; yaitu:

a. Manfaat barang dan sewa; atau

b. Manfaat jasa dan upah.

Secara garis besar, syarat ijarah ada empat macam, yaitu syarat terjadinya akad (syurut al-in’iqad), syarat pelaksanaan ijarah (syurut al-nafadz), syarat sah (syurut al-Sihhah), dan syarat mengikat (syurut al-luzim).

Adanya syarat-syarat ini dimaksudkan untuk menjamin bahwa ijarah yang dilakukan akan membawa kebaikan bagi para pihak yang melakukannya.

Pertama, syarat terjadinya akad (syurut al-in’iqād). Syarat ini berkaitan dengan pihak yang melaksanakan akad.

Kedua, syarat pelaksanaan ijarah (syturit al-al-nafadz). Akad ijarah dapat terlaksana bila ada kepemilikan dan penguasaan, karena tidak sah akad ijarah terhadap barang milik atau sedang dalam penguasaan orang lain.

Tanpa adanya kepemilikan dan atau penguasaan, maka ijarah tidak sah. Ketiga, syarat sah (syurut al-sihhah). Syarat ini ada terkait dengan para pihak yang berakad, objek akad dan upah.Keempat, syarat-syarat yang mengikat dalam ijarah (syurut al-luzum).

Syarat yang mengikat ini ada dua syarat, yaitu:

  1. Barang atau orang yang disewakan harus terhindar dari cacat yang dapat menghilangkan fungsinya. Apabila sesudah transaksi terjadi cacat pada barang, sehingga fungsinya tidak maksimal, atau bahkan tidak berfungsi, maka penyewa berhak memilih untuk melanjutkan atau menghentikan akad sewa. Bila suatu ketika barang yang disewakan mengalami kerusakan maka akad ijarah fasakh atau rusak dan tidak mengikat kedua belah pihak.
  2. Terhindarnya akad dari udzur yang dapat merusak akad ijarah. Udzur ini bisa terjadi pada orang atau pihak yang berakad atau pada objek akad ijarah.

b. Implementasi ljärah Dalam Perbankan Syariah

Ijarah dalam teknis perbankan dapat dijelaskan sebagai berikut:

  1. Transaksi ijarah ditandai adanya pemindahan manfaat. Jadi dasarnya prinsip ijarah sama saja dengan prinsip jual-beli. Namun perbedaan terletak pada objek transaksinya. Bila pada mentas jual-beli objek transaksinya adalah barang, maka pada ijarah objek transaksinya adalah jasa.
  2. Pada akhir masa sewa, bank dapat saja menjual barang yang disewakan kepada nasabah. Karena itu dalam perbankan syariah dikenai al-ijarah al-muntahiyah bittamlik (sewa yang diikuti dengan perpindahan kepemilikan).
  3. Harga sewa dan harga jual disepakati pada awal perjanjian antara bank dengan nasabah.21

Fatwa DSN MUI No: 09/DSN-MUI/IV/2000 menetapkan mengenai ketentuan ijarah dalam LKS sebagai berikut:

  1. Kewajiban LKS sebagai pemberi manfaat barang atau jasa:
  • Menyediakan barang yang disewakan atau jasa yang diberikan;
  • Menanggung biaya pemeliharaan barang.
  • Menjamin bila terdapat cacat pada barang yang disewakan.

2. Kewajiban nasabah sebagai penerima manfaat barang atau jasa:

  • membayar sewa atau upah dan bertanggung jawab untuk menjaga keutuhan barang serta menggunakannya sesuai akad (kontrak).
  • menanggung biaya pemeliharaan barang yang sifatnya ringan (tidak materiil).
  • jika barang yang disewa rusak, bukan karena pelanggaran dari penggunaan yang dibolehkan, juga bukan karena kelalaian pihak penerima manfaat dalam menjaganya, ia tidak bertanggung jawab atas kerusakan tersebut.

Implementasi ijarah dalam dunia perbankan syariah dapat dijelaskan sebagai berikut :

  1. Nasabah mengajukan pembiayaan ijarah ke bank syariah.
  2. Bank kemudian memberi/menyewa barang yang diinginkan oleh nasabah, sebagai objek ijarah, tarif ijarah, dari supplier/ penjual/pemilik.
  3. Setelah dicapai kesepakatan antara nasabah dengan bank mengenai barang objek ijarah, tarif ijarah, periode ijarah, dan biaya pemeliharaannya, maka akad ijarah ditandatangani. Nasabah diwajibkan menyerahkan jaminan yang dimiliki.
  4. Bank menyerahkan objek ijarah kepada nasabah sesuai akad yang disepakati. Setelah periode ijarah berakhir, nasabah mengembalikan objek ijarah tersebut kepada bank.
  5. Bila bank membeli objek ijarah tersebut (al-bai’u walijarah) setelah periode ijarah berakhir, objek ijarah tersebut disimpan oleh bank sebagai aset yang dapat disewakan kembali.
  6. Bila bank menyewa objek ijarah tersebut (al-ijarah wal ijarah, atau ijarah paralel) setelah periode ijarah berakhir, objek ijarah tersebut dikembalikan oleh bank kepada supplier/penjual/ pemilik.

Jenis barang/jasa yang dapat disewakan adalah sebagai berikut:

  1. Barang modal; aset tetap, seperti bangunan, gedung, kantor, dan ruko.
  2. Barang produksi; mesin, alat-alat berat, dan lain-lain.
  3. Barang kendaraan transportasi; darat, laut, dan udara.
  4. Jasa untuk membayar ongkos; uang sekolah/kuliah, tenaga kerja, hotel, angkutan/transportasi, dan sebagainya
  • Definisi Wadiah

Al-Syarwani mendefinisikan wadi’ah secara etimologi sebagai berikut:

مَا وُضِعَ عِنْدَ غَيْرِ مَالِكِهِ لِحِفْظِهِ مِنْ وَدُعَ يَدَعُ إِذَا سَكَنَ ؛ لِأَنَّهَا سَاكِنَةٌ عِنْدَ الْوَدِيعِ وَقِيلَ مِنْ الدَّعَةِ أَيْ الرَّاحَةِ ؛ لِأَنَّهَا تَحْتَ رَاحَتِهِ وَمُرَاعَاتِهِ

“Wadi’ah secara bahasa adalah barang yang diletakkan atau diserahkan kepada orang lain untuk dijaga, wadi’ah berasal dari kata ‘wadu’a, yada’u, yang berarti ketika berada di suatu tempat, karena barang yang berada di tempat orang yang dititipi, ada yang mengatakan wadi’ah berasal dari kata ‘al-da’ah’ yang berarti istirahat, karena barang tersebut berada di tempat penyimpanan atau tempat peristirahatan milik orang yang menerima titipan.”

Pasal 20 ayat 17 Kompilasi Hukum Ekonomi Syari’ah (KHES) mendefinisikan wadi’ah:

“Wadi’ah adalah penitipan dana antara pihak pemilik dana dengan pihak penerima titipan yang dipercaya untuk menjaga dana tersebut.”

Berdasarkan paparan di atas, dapat disimpulkan bahwa wadi’ah adalah barang titipan yang dititipkan seseorang kepada pihak lain untuk dijaga dan dirawat sebagaimana mestinya. Dalam konteks sekarang, pihak yang menerima titipan dapat mendayagunakan barang tersebut untuk kepentingan bisnis sebagaimana akan dijelaskan

  1. Rukun dan Syarat Wadi’ah

Kalangan Hanafiyah berpendapat bahwa rukun wadi’ah ada dua, yaitu ijab dan kabul. Ijab ini dapat berupa pernyataan untuk menitipkan, seperti pernyataan “Aku titipkan barang ini kepadamu” atau pernyataan lain yang menunjukkan ada maksud untuk menitipkan barang kepada orang lain. Kemudian kabul berupa pernyataan yang menunjukkan penerimaan untuk menerima amanah titipan.”

Mayoritas ulama berpendapat sebagaimana kalangan Syafi’iyah, bahwa rukun wadi’ah ada empat, yaitu dua pihak yang berakad, barang yang dititipkan, ijab dan kabul. Pihak yang menitipkan dan yang menerima titipan harus orang yang cakap hukum. Berkaitan dengan syarat sighah, penerimaan atau kabul dapat berupa jawaban atau isyarat dengan diam.

Kompilasi Hukum Ekonomi Syari’ah Pasal 370 menyebutkan rukun wadi’ah adalah 1) muwaddi’/penitip; 2) mustauda’/ penerima titipan; 3) wadi’ah bih/harta titipan; dan 4) akad.

Masing-masing rukun di atas mempunyai syarat. Menurut kalangan Hanafiyah, para pihak yang berakad harus berakal, oleh karena itu, akad wadi’ah yang dilakukan oleh orang yang tidak berakal tidak sah. Hanya saja dalam akad wadi’ah tidak disyaratkan balig bagi pihak yang berakad.” Berkaitan dengan ijab dan kabul, syarat yang harus dipenuhi adalah ijab dan kabul harus dengan ucapan atau tindakan, baik eksplisit maupun implisit.

Sementara menurut kalangan Hanbaliyah, syarat dalam akad wadi’ah sama dengan syarat dalam wakälah, yaitu pihak yang melakukan akad harus berakal, baig dan cakap hukum (rusyd). Sementara barang yang dititipkan adalah barang yang secara syar’i tidak dilarang, barang harus dapat diserahterimakan.” Pendapat mayoritas ulama mengenai syarat wadi’ah senada dengan pendapat Hanbaliyah ini.

Veithzal Rivai dan Arviyan Arifin dua orang teoretisi dan sekaligus praktisi dalam bidang lembaga keuangan syariah memaparkan syarat-syarat wadi’ah sebagai berikut:

  1. Syarat punya barang dan orang yang menyimpan:
  • Pemilik barang dan orang yang menyimpan hendaklah:
  • a). Sempurna akal pikiran.
  • b). Pintar yakni mempunyai sifat rusyd.
  • c). Tetapi tidak disyaratkan cukup umur atau baligh. Orang yang belum baligh hendaklah terlebih dahulu mendapat izin dari penjaganya untuk mengendalikan al-wadi’ah.
  • Pemilik barang dan orang yang menyimpan tidak tunduk pada perorangan saja. Ia juga boleh dari sebuah badan korporasi seperti yayasan, perusahaan, bank, dan lain sebagainya.
  • Syarat barang.
  • a). Barang yang disimpan hendaklah boleh dikendalikan oleh orang yang menyimpan.
  • b). Barang yang disimpan hendaklah tahan lama.
  • c). Jika barang yang disimpan itu tidak boleh tahan lama orang menyimpan boleh menjual setelah mendapat izin dari pengadilan dan uang hasil penjualan disimpan hingga sampai waktu penyerahan balik kepada yang punya.

KHES Pasal 371 menyebutkan syarat bagi para pihak yang melaksanakan wadi’ah harus cakap hukum. Sementara terkait dengan barang yang dititipkan disebutkan pada pasal berikutnya, Pasal 372, yaitu barang harus dapat dikuasai dan diserahterimakan.

  1. Wadi’ah dalam Praktik Lembaga Keuangan Syariah (LKS)

Wadi’ah yang dipraktikkan dalam LKS ada dua macam, yaitu wadi’ah amanah dan jaminan (damanah). Biasanya LKS mengenakan biaya adminsitrasi terkait pendaftaran barang titipan di LKS. Selain itu, ada biaya penjagaan terhadap barang wadi’ah barang berharga, surat berharga, dokumen-dokumen penting dan barang lain yang bernilai dan membutuhkan penjagaan dan perawatan khusus. Berdasarkan biaya-biaya ini, maka apabila terjadi kehilangan, kerusakan atau kemusnahan walaupun tanpa sengaja. Apabila LKS menggunakan barang titipan seperti uang untuk perniagaan atau untuk usaha lain, maka LKS wajib mengembalikan sepenuhnya uang wadi’ah yang telah digunakan itu kepada pemilik.

Ada dua bentuk Wadi’ah dalam praktik perbankan Islam, yaitu:

1) Rekening sementara

2) Rekening simpanan

Bank Islam tidak mempunyai banyak peluang untuk menggunakan uang dalam rekening sementara karena pemegang rekening boleh mengeluarkan uangnya. Kapan saja dengan menggunakan cek. Karena itu, bank Islam boleh mengenakan bayaran atas rekening sementara sebagai upah simpanan.

Ada dua jenis pendanaan dengan prinsip wadi’ah, yaitu giro wadah dan tabungan wadi’ah.

  1. Giro Wadi’ah

Giro Wadiah adalah produk pendanaan bank syariah berupa simpanan dari nasabah dalam bentuk rekening giro (current account) untuk keamanan dan kemudahan pemakaiannya.

Karakteristik giro wadi’ah ini mirip dengan giro pada bank konvensional, ketika kepada nasabah penyimpan diberi garansi untuk menarik dananya sewaktu-waktu dengan menggunakan berbagai fasilitas yang disediakan bank, seperti cek, bilyet giro, kartu ATM (Anjungan Tunai Mandiri) atau dengan menggunakan sarana perintah pembayaran lainnya atau dengan cara pemindahbukuan tanpa biaya.

Dalam aplikasinya ada giro wadi’ah yang memberikan bonus dan ada yang tidak. Pada kasus pertama, giro wadi’ah memberikan bonus karena bank menggunakan dana simpanan giro ini untuk tujuan produktif dan menghasilkan keuntungan, sehingga bank dapat memberikan bonus kepada nasabah deposan.

Pada kasus kedua, giro wadi’ah tidak memberikan bonus karena bank hanya menggunakan dana simpanan giro ini untuk menyeimbangkan kebutuhan likuiditas bank dan untuk transaksi jangka pendek atas tanggung jawab bank yang tidak menghasilkan keuntungan riil.

Apabila si penitip barang, mengizinkan kepada bank untuk memanfaatkan barang titipan. Maka sebagai konsekuensi dari hasil titipan murni tersebut, bila pihak bank (pengelola) memperoleh penghasilan atas pengelolaan dimaksud, keuntungan atau laba  tersebut sepenuhnya adalah milik bank.

Kemudian bank atas kehendaknya sendiri tanpa perjanjian dan understanding di muka, dapat memberikan bonus kepada para nasabahnya.

  1. Tabungan Wadi’ah

Tabungan wadi’ah adalah produk pendanaan bank syariah berupa simpanan dari nasabah dalam bentuk rekening tabungan (saving account) untuk keamanan dan kemudahan pemakaiannya, seperti giro wadi’ah, tetapi fleksibel giro wadi’ah, karena nasabah tidak dapat menarik dananya dengan cek.

Karakteristik tabungan wadi’ah ini juga mirip dengan tabungan pada bank konvensional ketika nasabah penyimpan diberi garansi untuk dapat menarik dananya sewaktu-waktunya dengan menggunakan berbagai fasilitas yang disediakan bank, seperti kartu ATM, dan sebagainya tanpa biaya.

Biasanya bank dapat menggunakan dana ini lebih leluasa dibandingkan dana dari giro wadi’ah, karena sifat penarikannya yang tidak sefleksibel giro wadi’ah, sehingga bank mempunyai kesempatan lebih besar untuk mendapatkan keuntungan.

Oleh karena itu, bonus yang diberikan oleh bank kepada nasabah tabungan wadi’ah biasanya lebih besar daripada bonus yang diberikan oleh bank kepada nasabah giro wadi’ah. Besarnya bonus juga tidak dipersyaratkan dan tidak ditetapkan di muka.

  • Skema wadiah yad al-damanah dapat dijelaskan sebagai berikut:
  1. Nasabah menitipkan sejumlah dana kepada LKS dengan akad wadi’ah dengan menyepakati adanya biaya administrasi;
  2. Setelah dana diterima oleh LKS kemudian diputar untuk kepentingan bisnis atau produk pembiayaan dengan pihak ketiga menggunakan sistem bagi hasil;
  3. Pihak ketiga memberikan bagi hasil kepada pihak LKS;
  4. Pihak LKS memberikan bonus kepada nasabah yang menitipkan dananya
  • Skema Wadi’ah yad al-Amanah dapat dijelaskan sebagai berikut:
  1. Nasabah menitipkan barang, biasanya surat atau barang berharga kepada LKS dengan akad wadi’ah.
  2. Nasabah membayar biaya kepada LKS yang meliputi biaya administrasi, biaya penjagaan dan perawatan yang jumlahnya ditetapkan dan disepakati bersama;

Sumber: Fiqih Mu’amalah Kontemporer, Imam Mustofa, S.H.I., M.SI.

(Penulis adalah Mahasiswi Prodi Perbankan Syariah, Fakultas Ekonomi dan Bisnis Islam, Universitas Islam Negeri Raden Intan Lampung)

 

Komentar