BNews, KOTAMOBAGU — Buku sejarah perlawanan rakyat pedalaman Mongondow diluncurkan pada peringatan Hari Pahlawan, Minggu, 10 November 2024.
Sebuah karya yang di tulis sejarawan muda Kota Kotamobagu, Murdiono Prasetio A. Mokoginta ini, mengungkap tentang sejarah perlawanan masyarakat pedalaman Mongondow yang kini menjadi wilayah Kota Kotamobagu dan sekitarnya terhadap Pemerintah Kolonial Belanda, antara tahun 1901 sampai 1902.
Buku ini juga mengungkap awal mula penyatuan kerajaan Bolaang Mongondow, Bolaang Uki, Bolaang Itang, Kaidipang, dan Bintauna ke dalam Afdeeling Bolaang Mongondow, dengan pusat pemerintahan di Kota Baru yang menjadi cikal bakal lahirnya Kota Kotamobagu.
Dalam buku ini dituliskan juga segala kebijakan pemerintah kolonial. Di mana kebijakan itu mendapat tantangan dari masyarakat Mongondow yang berujung pada perlawanan, dengan mengangkat senjata melawan pemerintah Belanda.
“Buku ini mengungkap kisah heroisme, kepahlawanan, dan perjuangan orang-orang yang ada di Kota Kotamobagu saat ini untuk melawan penjajahan dan penindasan,” ungkap Murdiono kepada bolmong.news.
Murdiono mengatakan, melalui buku ini tergambar kisah perjuangan orang Bolaang Mongondow yang menjunjung tinggi semangat mototompiaan, mototabiaan, bo mototanoban.
Tetapi, di sisi lain anti terhadap penjajahan dan penindasan terhadap hak-hak asasi manusia bahkan jauh sebelum Indonesia merdeka pada tahun 1945.
Dia juga mengucapkan terimakasih kepada Pemerintah Kota Kotamobagu.
“Khususnya kepada bapak Pj Wali Kota, Abdullah Mokoginta dan bapak Sekretaris Kota Kotamobagu, Sofyan Mokoginta, yang memberikan ruang untuk melaunching karya ini bertepatan dengan momentum Upacara Hari Pahlawan di Kota Kotamobagu,” ucapnya.
Konteks dan latar dalam peristiwa di buku ini, terangnya, memang di wilayah Kota Kotamobagu dan sekitarnya (dahulu disebut Pedalaman Mongondow).
“Karena itu momen launching tadi bagi saya sangat monumental,” kata Murdiono.
Dia berharap, semoga tahun depan Pemkot bisa menganggarkan penelitian sejarah dan kebudayaan lokal Bolaang Mongondow.
“Serta membeli karya-karya anak daerah (buku) untuk disebarkan di sekolah-sekolah dan mengisi ketersediaan koleksi buku lokal di perpustakaan daerah,” pungkasnya.
Penulis: Erwin Ch Makalunsenge
Komentar