Oleh:
Murdiono Prasetio A. Mokoginta
Dahulu kala penduduk asli pesisir Bolaang sebenarnya tinggal di atas gunung Lombagin. Nama Lombagin yang kemudian dijadikan sebagai nama dari komunitas masyarakat ini masa itu. Setelah beberapa waktu, penduduk Boentalo dan Tondoga menyusul ikut berimigrasi dan juga tinggal di atas gunung Lombagin sehingga lokasi di sana menjadi padat, sempit dan tidak memadai.
Boentalo adalah penduduk yang berasal dari teluk Oeki di sekitaran Lolak. Sedangkan Tondoga dalam catatan Wilken dan Schwarz ini, tidak dijelaskan terperinci. Hanya dikatakan bahwa penduduk Tondoga banyak melakukan perbuatan yang tidak terpuji dan jahat sehingga tanah asal mereka tengelam di dasar lautan.
Berkisar awal abad ke-17 tepatnya di masa Punu’ Tadohe, penduduk yang berada di atas gunung Lombagin berimigrasi ke lokasi tempat tinggal baru di Batu Ijan, sebuah dataran luas yang disisi lain wilayahnya tersapu oleh aliran sungai Panag.
Sayangnya sekitar tahun 1680-an terjadi gempa bumi dan badai yang dahasyat sehingga sungai di sana membuat jalur yang baru (bercabang). Beberapa waktu setelah bencana besar itu, aliran sungai kembali ke aliran lamanya sehingga di Batu Ijan terdapat dua aliran sungai. Aliran sungai baru diberi nama sungai Lombagin dan aliran sungai lama diberi nama sungai Panag (atau sungai mati) sesuai dengan daerah yang dilaluinya.
Di lokasi Batu Ijan ini, penduduk Lombagin tinggal tidak begitu lama karena anak Punu’ Tadohe yang bernama Loloda Mokoagow dimasa pemerintahannya memidahkan penduduk ke tempat tinggal baru di kaki gunung Kaiya. Dalam catatan kakinya, Wilken dan Schwarz menulis bahwa Loloda Mokoagow disebut-sebut sebagai Raja Pertama Bolaang Mongondow dan memerintah sampai 1689.
Loloda Memberi Nama ‘Bolaang’
Loloda Mokoagow memberi nama kawasan tempat tinggal baru penduduk Lombagin di kaki gunung Kaiya ‘Bolaang’ yang memiliki arti ‘negeri para penduduk pantai’. Sayangnya tempat tinggal baru ini justru lebih ekstrim dan tidak aman bagi para penduduk karena buaya dari sungai Lombagin seringkali sangat banyak yang naik ke darat dan menerkam para penduduk di sana.
Kondisi yang tidak aman memaksa penduduk mengeser tempat tinggal mereka sedikit ke Timur tepatnya di anak sungai Inobonto, sebelah utara gunung Lombagin. Di sana mereka juga tidak menemukan kedamaian yang diinginkan karena rumah-rumah mereka selalu dirusak oleh angin kencang dari selatan dan membuat mereka menyingkir untuk mencari tempat tinggal yang lebih cocok. Tahun 1819 – 1820 saat Raja Cornelis Manoppo berkuasa, beliau memindahkan lokasi itu ke tempat yang sekarang (di negeri Soemojit?) agar lebih aman dan lebih layak untuk ditempati.
Negeri Bolaang Abad-19
Secara astronomis negeri Bolaang (masa Wilken dan Schwarz) terletak pada titik 1200 20’ O. L. Greenw dan 10 N. B. Wilayah ini berada pada dataran subur yang membentang sekitar 6 palen di sepanjang pantai dan mencapai 2 palen pada titik terlebarnya. Negeri ini juga dikelilingi oleh pegunungan dengan ketinggian sedang dan membentengi negeri seakan setengah lingkaran.
Mulai dari Tanjung Sungai-Besar (Sungai Lombagin), beberapa wilayah di negeri ini memiliki nama antara lain; Lombagin, Kaiya, Toedoeau, Kajoebatoe, Ambang, Tadoi, Kajoemojondi, Soemojit, gunung dari Alifoeren, dan diujungnya Tandjoeng Kakoemi.
Ada beberapa kawasan lain yang juga tidak disebutkan lagi oleh Wilken dan Schwarz dalam catatan mereka. Hal ini karena ketika mewawancarai penduduk asli, penduduk juga tidak mengetahui nama-nama tempat itu. Mereka berdua telah berupaya keras mencari data mengenai nama-nama kawasan sekitar bahkan kepada para pemburu yang mereka temui namun hanya memberikan nama yang berbeda-beda.
Saat angin muson timur berhembus sangat kencang, para penduduk di negeri Bolaang meninggalkan tempat tinggal mereka yang kebanyakan hanya gubuk yang buruk dan reot hampir roboh. Tidak jarang rumah-rumah di sini banyak yang runtuh akibat hembusan angin yang sangat kencang dan memporak-porandakan tempat tinggal mereka. Bahkan ada juga salah satu mesjid di wilayah Bolaang ikut roboh karena tertiup angin kencang pada tahun 1865. Mesjid ini terlihat menyedihkan karena hanya dibangun dari bambu dan pohon nibong.
Perumahan Penduduk
Di kawasan pusat kerajaan, terdapat 34 rumah. Biasanya terdapat empat atau lima keluarga dalam serumah sehingga jumlah seluruh keluarga yang tinggal di sana hampir sekitar 150 kepala keluarga. Keluarga-keluarga ini kebanyakan adalah para budak (palayan) kerajaan yang berada di sekitaran istana untuk melayani raja.
Selain 34 rumah itu, di wilayah sekitaran pusat kerajaan masih banyak rumah-rumah yang tersebar pada beberapa dusun di kawasan Bolaang antara lain dusun Tadoi, Ambang, Langagon, Lolak, dan Tenga. Penduduk di sana diperkirakan berjumlah 1.200 orang yang sebagian besar berada di kebun dan hutan untuk mencari penghidupan. Mereka kadang datang ke pusat kerajaan kecuali ada acara pernikahan atau kematian.
Rumah yang berdiri megah di sana saat itu hanya rumah Djogugu. Rumah Raja sendiri masih sedang direnovasi menjadi lebih megah dan indah. Bentuk rumah penduduk umumnya panggung. Rumah mereka bertumpu pada tiang setinggi 4-6 kaki, ada yang terbuat dari kayu, bambu atau nibong (sejenis pohon pelem), dan ditutupi daun palem.
Sebelumnya rumah-rumah yang berada di negeri Bolaang tidak memiliki serambi depan. Rumah mereka hanya memiliki satu ruangan besar dan beberapa ceruk yang ditinggikan. Ceruk yang dibuat ini berfungsi sebagai tempat duduk atau juga digunakan untuk tidur yang dibuat dari papan, bambu, dan ditutupi daun pohon sagu. Lantai rumah mereka terbuat dari nibong.
Ceruk di dapur digunakan sebagai tempat memasak. Umumnya hampir semua rumah-rumah di negeri Bolaang kebanyakan memiliki bentuk yang suram. Wilken dan Schwarz saat masih di sana mencatat bahwa telah terbit kebijakan Raja untuk mengubah bentuk-bentuk rumah penduduk ini mengikuti gaya rumah di Minahasa yang langsung berada di bawah pengawasan Djogugu.
Peralatan Rumah Tangga
Hampir semua masyarakat Bolaang tidak memiliki model furniture dapur. Periuk dari tanah, satu atau dua panci, beberapa piring kasar, cangkir, alas duduk, alas tidur, bantal kecil, roda pemintal, alat tenun, dan terkadang juga lampu kuning tua, benda ini hampir semua dimiliki oleh penduduk di sana.
Adapun meja, kursi, tempat tidur, kubah, dan kaca tergolong kategori barang mewah yang hanya boleh dimiliki oleh orang-orang penting kerajaan. Masyarakat biasa tidak bole menggunakan fasilitas seperti itu kecuali dengan izin raja. Yang bole menggunakan hanya keluarga kerajaan, bangswan, dan kepala suku yang memiliki kedududkan utama.
Bagi kepala dan masyarakat yang lebih rendah kadang kala ditemukan satu atau dua bangku. Tak bole bagi masyarakat biasa memutihkan rumahnya dengan kapur. Masyarakat biasa dilarang keras memakai perhiasan emas, sutra atau kain, toloe (mungkin sejeins topi) kuning atau pelindung dari matahari. Bagi yang melanggar aturan itu akan dikenakan denda yang cukup besar dan berkali-kali lipat. Untuk barang yang bukan milik peribadi atau terlarang akan dirampas oleh kerajaan.
Catatan Penulis (Bag. 2)
Pada bagian ke-2 tulisan ini, Wilken dan Schwarz cukup banyak memberikan informasi histroris yang masuk dalam kajian ‘sejarah sosial’. Beliau mencatat kondisi masyarakat bahkan hingga apa saja yang dimiliki mereka di dapur. Kita juga mengetahui sedikit tentang arti Bolaang meski itu dinyatakan entah dari hasil wawancara atau hanya penfsiran oleh keduanya.
Scope dalam tulisan ini memang hanya di wilayah pesisir Bolaang. Karena itu wilayah pedalaman (Kotobangon/dataran Mongondow) tidak diuraikan dalam bagian manapun tulisan ini. Mereka berdua benar-benar fokus mengulas wilayah Bolaang mulai dari asal penduduk asli hingga proses perpindahan-perpindahan demi mencari tempat tinggal yang layak dan aman untuk mereka tempati.
Ada yang menarik dalam catatan Wilken dan Schwarz saat menulis di catatan kaki (hlm. 6) di mana mereka menulis; “Loloda Mokoago was de zoon van Tadohe. Hij wordt als de eerste Radja van Bolaang Mongondou genoemd, en regeerde tot 1689. Zie ook over hem de overlevering omtrent de afkomst der koningen.” Artinya; “Loloda Mokoago adalah anak dari Tadohe. Ia disebut-sebut sebagai Rajah pertama Bolaang Mongondou, dan memerintah hingga 1689. Lihat juga tradisi keturunan raja-raja di sekitarnya.”
Informasi ini menjadi menarik untuk didalami lagi, mungkin akan penulis uraikan pada bagian lain tulisan, bukan pada ulasan ini agar penulis lebih fokus mereview hasil bacaan dari catatan dua orang ini saja.
Menutup bagian ke-2 ini, penulis akan memberikan gambaran umum catatan-catatan bagian ke-3 nanti. Pada bagian berikutnya akan diluas tentang negeri Soemojit dan Bantik, alasan kedatangan imigran Minahasa ke Bolaang-Mongondow, ulasan mengenai Mariri dan Matani juga Mariri Lama dan Waleoere. Bagian ini juga menarik untuk diketahui sebagai tambahan wawasan kesejarahan kita untuk membaca lebih jauh Bolaang Mongondow ‘di atas putih kertas dan hitam tinta sejarahnya’. Semoga bisa terbit secepatnya.. (BERSAMBUNG)
*Penulis adalah Ketua Lembaga Pusat Studi Sejarah Bolaang Mongondow Raya (PS2BMR)
Komentar