Oleh:
Murdiono P. A. Mokoginta
Perjanjian Bongaya (1667) membawa dampak besar terhadap peta politik di kawasan Utara Celebes. Di Manado Vereenigde Oost-Indische Compagnie (VOC) mulai mengerogoti pengaruh dan kekuasaan Raja Loloda Mokoagow melalui perjanjian Verbond 10 Januari 1679 antara Gubernur Maluku Robertus Padtbruge dengan para ukung di Manado dan sekitarnya.
Para ukung dari wilayah-wilayah yang ada di Manado, Aris, Clabat, Tonsea, Tondano, Tonsawang, dan lain-lain mendeklarasikan bahwa mereka tidak lagi berada di bawah Raja Bolaang Datu Binangkang. Wilayah-wilayah ini lebih memilih VOC sebagai sekutu untuk saling menjamin kepentingan antara pihak-pihak yang tergabung dalam kontrak tersebut.
Hal yang sama juga terjadi di Gorontalo di mana VOC mengunjungi kerajaan-kerajaan yang tergabung dalam persekutuan Limo Lo Pohalaa seperti Gorontalo, Limboto, Bolango, Bone-Suwawa-Bintauna, dan Atinggola untuk masuk ke dalam vasal Ternate di bawah VOC. Sejak tahun 1677 kerajaan-kerajaan Limo Lo Pohalaa diwajibkan memberi upeti emas kepada VOC dan setiap penguasa akan diangkat dan diberhentikan di Ternate, serta semua tatacara dan adat kerajaan akan diatur secara besama-sama (Hasanuddin, 2016: 100).
Kondisi politik ini membuat situasi di kawasan Gorontalo dan sekitarnya menjadi tidak kondusif hingga membuat masyarakat makin tertekan dengan beban pajak.
Kerajaan Bolango juga tidak lepas dari tekanan VOC pada masa itu. Bahkan menjelang akhir abad ke-18 di masa Raja Polingala setoran emas yang harus diberikan oleh Kerajaan Bolango kepada VOC menjadi 1200 setiap tahunnya (Hasanuddin, 2016: 102).
Tekanan tersebut oleh Polingala dirasa sangat membebani rakyatnya. Ilmu agama Islam yang kuat dalam pemahaman sang raja membuat ia tidak tega dengan perbudakan sehingga membuatnya ingin lepas dari jerat dan pengaruh dari VOC pada masa itu. Di masa ini ada rencana pemindahan kerajaan Bolango ke arah utara Gorontalo (Van Gobel, 2019: 46).
Tekanan yang makin kuat terkait pajak emas dan banyaknya masyarakat Bolango yang melarikan diri dari tuntutan bajak membuat kondisi Kerajaan Bolango makin tertekan dalam lingkup gabungan Limo Lo Pohalaa.
Di sisi lain pada akhir-akhir abad ke-18 terjadi perselisihan antara Raja Bolango dan Raja Limboto terkait persoalan tanah yang membuat Bolango memilih untuk menyingkir ke wilayah Bolaang Mongondow yang lebih aman dan kondusif. Di tengah gejolak politik pada abad ke-18, Bolaang Mongondow memang lebih relatif aman karena tekanan VOC terhadap raja-raja tidak terlalu kuat.
Tanggal 14 Juli 1795 Raja Manuel Manoppo menjabat sebagai Raja Bolaang Mongondow. Sosok ini merupakan raja yang cakap dan berpengalaman karena pernah tinggal di Ternate dan belajar militer dan pemerintahan di sana.
Ketika terjadi perselisihan antara Bolaang Mongondow dan Bintauna terkait status tanah di Sungai Sangkub dan tambang emas di Gambuta, Regent Bintauna memilih untuk menyerahkan tambang emas Gambuta, melarang penduduknya mengambil sagu, membuat kebun, atau mengumpulkan atau mengambil buah atau produk lain dari tanah atau pantai di sungai Sangkub, di hilir, di daratan yang masuk wilayah Bolaang Mongondow maupun pulau-pulau disekitarnya dan pulau tiga kecuali mendapat izin dari kepala negeri yang diangkat oleh Raja Bolaang Mongondow untuk menjaga pantainya, tanahnya, hutan sagu, telur burung maleo dan sebagainya.
Kemenangan Bolaang Mongondow dalam diplomasi itu membuat pengaruh Raja Manuel dalam internal kerajaan makin kuat. Di sisi lain, Kerajaan Bolaang Mongondow adalah wilayah yang tidak diperintah langsung oleh Residen Manado sebagaimana wilayah Minahasa dan Limo Lo Pohalaa yang berada dalam pengawasan Ternate.
Fakta-fakta ini membuat Raja Bolango Mattoka yang tertekan akibat konflik dengan Raja Limboto memutuskan untuk datang ke Bangka antara tahun 1802-1803 agar lebih aman dan tentram. Sejak perpindahan ke Bangka inilah nama Kerajaan Bolango mulai disebut Kerajaan Bolango Bangka.
Kedatangan mereka diterima dengan baik oleh Raja Manuel Manoppo. Bolango dan Bolaang hidup berdampingan tanpa hambatan dan masalah kecuali terkait dengan keselamatan penduduk yang sering diganggu oleh buaya dari Sungai Lombagin. Buaya Lombagin memang terkenal ganas dan berbahaya.
Di masa Raja Loloda Mokoagow pusat pemerintahan Bolaang pernah berada di kaki Gunung Kaiya namun kemudian dipindahkan karena sering diganggu oleh Buaya yang menerkam penduduk dengan ganas.
Kondisi yang tidak aman memaksa penduduk menggeser tempat tinggal mereka sedikit ke Timur tepatnya di anak Sungai Inobonto sebelah utara Gunung Lombagin. (Mokoginta, 2024: 20).
Akibat kondisi alam yang ganas dan berbahaya di sekitar Sungai Lombagin, raja dan masyarakat Bolango Bangka memilih untuk melakukan hijrah ke wilayah yang dianggap lebih aman dan kondusif.
Antara tahun 1849-1850 Raja Bolango Aliyudin Iskandar Goebal Badiman (1837 – 1867) memindahkan pusat Kerajaan Bolango Bangka ke Negeri Uki yang berada antara Negeri Buntalo dan Lolak dan menetapkan nama kerajaan tersebut sebagai Kerajaan Bolaang Uki.
Sejak saat itu hingga kini nama Bolaang Uki masih tetap digunakan oleh entitas Bolango yang menjadi cikal bakal penamaan Kecamatan Bolaang Uki. Meski demikian, pada masa ini sebagian masyarakat Bolaang Uki mulai berangsur-angsur pindah ke wilayah Molibagu dan sekitarnya.
Pada tahun 1901 Kerajaan Bolaang Uki menjadi bagian dari Afdeeling Bolaang Mongondow bersama dengan Kerajaan Bolaang Mongondow, Kerajaan Bintauna, Kerajaan Kaidipang dan Bolaang Itang. Tanggal 27 Oktober 1903 Raja Mohammad Kaharuddin Hasan Iskandar Van Gobol di tetapkan sebagai Raja Bolaang Uki sekaligus memindahkan pusat Kerajaan Bolaang Uki yang semula di Negeri Uki kemudian dipindah ke wilayah Molibagu.
Pemindahan ini karena berlandaskan pada sejarah karena negeri impian Molibagu diyakini sebagai tempat selama-lamanya yang damai dan sentosa bagi orang-orang Bolango.
Sekitar tahun 1917-1918 Bolaang Uki bersama Kerajaan Bolaang Mongondow, Kerajaan Bintauna, dan Kerajaan Kaidipang Besar membentuk Onderafdeeling Bolaang Mongondow dengan pusat pemerintahan di Kotamobagu.
Hingga menjelang Indonesia merdeka pada tahun 1945 Bolaang Uki masih tetap sebuah kerajaan yang mandiri hingga akhir masa pemerintahan Raja Alibanser Raja Alibanser Hasan Van Gobol (1942 – 1950).
Pada tanggal 4 Juli 1959 berdasarkan UU No. 29 Tahun 1959 dibentuk Daerah Tingkat (DATI) II Kabupaten Bolaang Mongondow sekaligus menjadikan Kecamatan Bolaang Uki sebagai bagian dari Kabupaten Bolaang Mongondow. Pusat Kecamatan Bolaang Uki ditetapkan di Molibagu.
Tahun 2008 Kecamatan Bolaang Uki menjadi wilayah Kabupaten Bolaang Mongondow Selatan dan ditetapkan sebagai ibu kota kabupaten hingga saat ini. Bila menghitung tahun-tahun awal lahirnya Bolaang Uki dari tahun 1849 sampai 2024 saat ini, maka usia negeri itu harusnya sudah mencapai 175 tahun. Sebuah angka yang penuh dengan romantika, kemelut, dan peristiwa dalam panggung sejarah.
Berturut-turut raja-raja yang memerintah di Era Bolaang Uki (1849-1950) sebagaimana dalam dokumen laporan kolonial Regeerings Almanak Nederlandsch Indie adalah: Raja Aliyudin Iskandar Goebal Badiman (1837 – 1867), Raja Mohammad Aliyudin Iskandar Ali Van Goebal (1867 – 1875), Willem Abadie Van Goebal (1875 – 1903), Raja Mohammad Kaharuddin Hasan Iskandar Van Gobol (1903 – 1942), Raja Alibanser Hasan Van Gobol (1942 – 1950).
*) Penulis adalah Ketua Pusat Studi Sejarah Bolaang Mongondow Raya (PS2BMR). Menulis Buku “Abad Transisi: Bolaang Mongondow dalam Catatan Kolonial Abad XIX
Komentar