TADOHE RAJA BOLAANG-MANADO (BAGIAN 1)

Oleh: Patra Mokoginta

JASMERAH ! Jangan sekali kali melupakan sejarah. Demikian kata Bung karno. Memang benar kita sebagai manusia yang beradab dan berbudaya jangan pernah melupakan sejarah kita sendiri dan sekaligus berikhtiar agar tidak terjerumus kedalam romantisme sejarah yang membuat kita megap megap dan susah bernafas, dengan kehidupan yang sementara kita jalani saat ini.

Dalam tulisan ini, saya membagi periodeisasi kekuasaan Kerajaan Bolaang Mongondow menjadi beberapa bagian yang muncul dalam bentuk nama kerajaan yakni :

a. Zaman Kerajaan Mongondow dengan system pemerintahan terbagi dari 2 sistem yakni :

  • Pemerintahan Doduata. Raja kharismatik yang berlabel “Kuasa Langit”. Raja disebut / bergelar Ompu Duata yang artinya keturunan/ cucu duata. Yang maknanya kepemimpinan berdasarkan wangsit langit. Pemimpin terakhir di era ini adalah Gumalangit.
  • Pemerintahan Modeong / Dow. Di era ini Raja di sebut Modeong atau Dow. Pemerintahan secara berjenjang, Modeong tidak memimpin langsung rakyatnya, tiap kelompok masyarakat / kaum dipimpin oleh Bogani. Dow lah yang mengeluarkan titah kepada para Bogani.

b. Zaman Kerajaan Bolaang.

Dimulai dari zaman Punu’ Mokodoludud dan berakhir pada pertengahan pemerintahan Punu’ Damopolii. Jabatan Raja disebut Punu’.

c. Zaman Kerajaan Bolaang-Manado.

Dimulai pada zaman pemerintahan Punu’ Damopolii dan berakhir seiring berakhirnya masa pemerintahan Datoe Loloda Mokoagow. Tepatnya Tahun 1694 sejak Manoppo di Lantik sebagai Raja. Pada era ini awalnya jabatan Raja di sebut Punu’, namun beberapa decade kemudian raja disebut Datoe. Sebutan Kerajaan Bolaang-Manado merupakan interpretase saya sendiri, karena dibeberapa dokumen orang yang sama sering dicatat sebagai Raja Manado, kadang juga disebut Raja Bolaang. Jika Raja di tulis Raja Bolaang maka Manado tidak muncul atau sebaliknya. Kebanyakan para Pangeran disebut sebagai Raja Bolaang (walau belum di lantik sebagai raja) dan Manado sebagai Raja. Misalnya kalimat: Raja Bolaang adalah Putra dari Raja Manado. Untuk lebih muda terhadap interpretasi dari dokumen dokumen yang ada, saya melihat dari sudut pandang adat dan tradisi kerajaan Bolaang yakni yang di maksud dengan Raja adalah setelah di ‘dui’ atau di lantik secara adat. Sehingga tidak salah dalam interpretasi ayah dan anak menjadi raja sekaligus maka periode ini di namakan kerajaan Bolaang-Manado. Ini dimulai sejak Damopolii berhasil menaklukan suku (kerajaan?) Bobentehu di Pulau Manado tua.

d. Zaman Kerajaan Bolaang.

Penyematan Raja Bolaang sebagai Raja Manado yang berlaku sejak zaman Punu’ Damopolii berakhir ketika Raja Manoppo (nama Baptis Jacobus) naik Tahta dan menandatangani Kontrak dengan Pihak VOC. Sejak saat itu penyebutan Raja Manado untuk Raja Bolaang hilang. Trah Manoppo disebut sebagai Raja Bolaang.

e. Zaman Kerajaan Bolaang Mongondow.

Dimulai pada Tahun 1764 saat pemerintahan kedua kalinya Datoe Salmon Manoppo. Penyematan ini bermula dari aksi huru hara oleh warga pedalaman Mogutalong saat penangkapan Datoe Salmon Manoppo. Rakyat Mogutalong diketahui merupakan bangsa Mongondow. Penyebutan Mongondow dalam nama Kerajaan Bolaang pada dasarnya untuk mengkerdilkan kebesaran kerajaan Bolaang. Kekusaan Kerajaan Bolaang atas berbagai suku secara administrative colonial dibatasi ke etnis asli Bolaang, yakni bangsa Mongondow. Sehingga tidak heran jika tidak ada bahasa bolaang yang ada adalah Bahasa Mongondow. Penggabungan nama seperti ini tidak terjadi di kerajaan kerajaan lain, misalnya kerajaan Pajajaran tidak di gabung dengan kata sunda, kerajaan Bone tidak di gabung dengan kata bugis, Kerajaan Majapahit tidak digabung dengan kata jawa. Kerajaan Bolaang Mongondow berakhir pada tanggal 1 Juli Tahun 1950 di tandai dengan pengunduran diri Paduka Raja Henry Yusuf Manoppo.

Untuk kali ini saya menulis khusus Raja Tadohe Putra Raja Mokodompit yang masuk pada periode / zaman Kerajaan Bolaang-Manado. Kisah Tentang Datoe Tadohe baik hikayat maupun yang telah dibukukan banyak memuat kisah tentang Tadohe sebelum menjadi Datoe ( Masih berstatus Abo’) dibandingkan Tadohe saat berstatus Datoe. Kali ini saya coba menampilkan sisi lain dari sang Datoe yang belum banyak dibahas.

TADOHE NAMA PENUH MAKNA

Tadohe adalah salah satu dari putra Punu’ Mokodompit. Punu’ atau De Rey menurut Bahasa Spanyol merupakan ahli waris atas Negeri Manado dari leluhurnya Punu’ Damopolii yang berhasil menganeksasi Bobentehu. Sehingga sejak Bobentehu runtuh maka raja-raja Bolaang disebut juga sebagai Raja Manado. Maka Punu Mokodompit juga adalah Raja Manado sekaligus Raja Bolaang.

Ibunda Tadohe bernama Gugunde adalah bangsawan purba Bolaang garis keturunan Mokodoludut. Namun tidak masuk klasifikasi bangsawan Bolaang, karena orang tua maupun kakek buyut Gugunde, tidak pernah menduduki tahta Bolaang, selain Moyang bersama yakni Punu Mokodoludut. Namun Gugunde adalah bangsawan Siau, cucu dari Raja Siau yang bermoyangkan Mokodoludut. Karna bukan bergeglar Bua’  isteri-isteri Punu Mokodompit sering menyindir status social Gugunde. Selain itu, terkait dengan nama Gugunde yang artinya Dayang Istana, pada dasarnya Ibunda Tadohe bukan seorang dayang ( Gugunde) tapi Namanya memang Gugunde.

Saat Tadohe Lahir sang Punu’ memberi nama Tadohe. Nama yang tidak lazim di telinga orang Mongondow, maka sindiran pun makin menjadi jadi dari kalangan istri-istri Punu apalagi ketika Punu tidak berada di Istana.

Tadohe memang bukan nama yang lazim. Ia dilahirkan disaat interaksi Raja Manado dengan bangsa luar makin intens. Raja Mokodompit sering mengunjungi negeri negeri seberang dari Sulawesi tengah sampai kepulauan Utara Sulawesi. Dimasa pemerintahannya akhir abad 16, sudah terjalin hubungan dengan Bangsa Spanyol. Bahkan petunjuk arah sekaligus juru bahasa armada spanyol yang bernama Uzman asal Tidore yang sering berkunjung ke Manado sering bertemu dengan Raja Manado ini. Di Negeri Siau yang sering dikunjungi Mokodompit. Salah satu daerah kekuasaan raja Siau yang bernama Taruna ( tahuna) terdapat pemukiman pemukiman ulama dan pedagang pedagang Tidore.

Siau yang bermusuhan dengan Ternate lebih membuka diri dengan saingan Ternate yakni Tidore. Oleh lisan Siau ( dan juga Bolaang) Tidore di  eja Tadore, Tadore sendiri menurut Sejarahwan Tidore berasal dari kata antara Thadore dialek Irak yang berarti kamu datang. Ada kebiasaan menyebut huruf “R’’ menjadi “H’’ misalnya Taruna menjadi Tahuna. Tadore = Tadohe, bahkan Huruf ‘T’ di eja menjadi ‘S’ misalnya Mokodompit jadi Mokodompis, Paputungan Menjadi papusungan, Bataan menjadi Basaan dan Tadohe menjadi Sadohe. Nama Tadohe berasal dari nama Tadore ( Tidore) yang kelak nama ini yang mengandung harapan orangtuanya akan terwujud kelak sebagaimana asal usul Nama Tidore, berasal dari kata “anta Thadore’’ yang artinya ‘Kamu datang ‘ (Kembali ke Bolaang).

Kembali ke Tadohe kecil dan ibundanya yang sering di bully oleh para istri dan pelayan istana, syahdan suatu waktu Tadohe yang masih kanak kanak menderita sakit, Gugunde memanfaatkan kesempatan ini untuk kembali ke Siau dengan alasan mengobati Tadohe di Siau. Di Siau masa anak anak hingga remaja Tadohe dalam berbagai catatan maupun hikayat tidak di temukan, kemana saja Tadohe saat Remaja? Apa hanya berdiam diri saja di Siau sebagai kerajaan Maritim ini? Tidak ada yang tahu selain kodefikasi yang muncul dalam pembaharuan system pemerintahan kerajaan Bolaang-Manado kelak yang di terapkan oleh Tadohe.

KONDISI DAN SITUASI BOLAANG-MANADO MASA TADOHE.

A. Punu’ Mokodompit

Sebelum membahas Raja Manado yang bernama Mokodompit ada baiknya kita menengok ke belakang terkait eksistensi Bobentehu. Data atau dokumen tentang Kerajaan Bobentehu sampai saat ini belum saya temukan. Terkait kerajaan ini, yang ada hanya catatan catatan orang orang belanda yang mencatat cerita rakyat disaat kedatangan mereka di Manado perihal kerajaan Bobentehu. Bobentehu sampai diruntuh di aneksasi oleh Raja Damopolii tidak pernah di sebut sebagai Manado, tapi Bobentehu atau wawo kehu. Damopolii lah yang mula mula menyebut dirinya sebagai raja Manado, dan berturut turut keturunannya disebut juga sebagai raja Manado hingga berakhir disaat berakhirnya kekuasaan Raja Loloda Mokoagow.

Untuk Punu’ Mokodompit dalam tulisan kali ini akan di sebut sebagai Raja Bolaang-Manado. Jika merunut periodeisasi yang disusun oleh H.J.A. Damopolii dalam bukunya yang berjudul ‘Dondandian, kinotanoban dan Kisahku’ maka Mokodompit adalah Putra Raja Manado yang di Baptis di Bolaang oleh Peter Diego De Magelaes. Mokodompit berakhir tahtanya pada tahun 1600.

Dalam berbagai literatur pengganti Raja Mokodompit adalah Tadohe. Namun Tahun ini ada keganjilan dalam tahta Bolaang-Manado. Kenapa? Karna tidak ada yang bertahta di tahun ini. Ini dapat di konfirmasi dari Surat surat diplomasi yang di kirim oleh Mastre de Campo (Panglima perang Spanyol) dari Manila. Setelah penyerbuan De Acuna ke Istana Ternate dan menawan Sultan Ternate. Paramitha Rahman Dalam Bukunya yang berjudul “Bunga angin Portugis di Nusantara’ mencatat bahwa Surat dari Mastre de Campo di Tujukan ke Raja Manado, Raja Bolaang, Raja Bool, Raja Totoli dan Kepala Suku Kaidipang (seorang Perempuan). Yang merespon / Menjawab surat ini adalah Reyna Kaidipang (Dongue), Raja Totoli dan Raja Bool. Tidak ada berita atau jawaban apapun dari Raja Bolaang maupun Raja Manado. Bahkan Kunjungan Cristian Suarez di jazirah utara Sulawesi disambut oleh Dongue dari kaidipang (dow), tidak diperoleh informasi dari Raja Bolaang Maupun Manado secara bersamaan. Ini mengindikasikan beberapa hal :

  • Raja Bolaang yang dimaksud adalah juga Raja Manado
  • Terjadi kekosongan kekuasan Bolaang-Manado di masa itu.
  • Tadohe belum dianggap sebagai Raja.
  • Atau jika merunut dari Antonio C. Campo Lopez dalam artikelnya yang berjudul La presencia española en el norte de Sulawesi durante el siglo Bool adalah sebutan lain dari Kerajaan Bolaang, artinya balasan dari Raja Bool berarti balasan juga dari Raja Bolaang-Manado. Jika versi Antonio Lopez di kesampingkan maka yang terjadi adalah Tahun ini setidaknya sejak tahun 1600 sampai tahun 1607 terjadi kekosongan kekuasaan Raja atas Bolaang-Manado. Hikayat Bolaang Mongondow menyebutkan sebelum kedatangan Tadohe ke Bolaang, kekuasaan Bolaang-Manado di bawah kendali seorang Perempuan yang di kenal sebagai Inde’ Dow ( Nenek/ Ibu Besar).

Dow dikisahkan selain bertempat di wilayah Kotabunan sering juga berdiam diri di Kaidipang. Desa Boroko di Negeri Kaidipang dalam Bahasa local di sebut Dow yang juga tempatnya Dounge ( menurut lisan spanyol), saat menerima delegasi spanyol di bawah komando Cristian Suarez. Kuat Dugaan Dounge inilah yang di sebut Dow, penguasa Bolaang-Manado sebelum kedatangan Tadohe.

b. Tadohe

Dalam Hikayat Mongondow, Tadohe saat berusia remaja datang ke Daratan utara Sulawesi tidak langsung menuju Bolaang maupun Manado tapi menuju Kotabunan di wilayah selatan Bolaang guna menemui Dow. Dalam perjalanan ke Mogutalong pewaris Raja ini belum di anggap Punu’ karena Punu’ masih di sematkan oleh warga Mogutalong kepada Mokodompit. Wilayah Mogutalong sendiri kemudian hari oleh Belanda di label sebagai daerah pedalaman Mongondow. Singkat cerita Tadohe pun di kukuhkan oleh Dow dan Paloko sebagai Punu’ Bolaang- Manado. Saat itulah Tadohe mereformasi system pemerintahan tradisional ini ke lebih modern di zamanya. Dia menolak (atau merubah) sebutan Punu’ dengan Datu. Membuat strata social baru yang terdiri dari Mododatu, Kohongian/korongian/kojongian/olongia, Simpal, nonow, Tahid dan Yobuat. Ada juga versi lain sumber http://triwardanamokoagow.blogspot.com yang menyebutkan (interpretase pribadi) Tadohe tidak berniat membagi strata social tapi tugas social berdasarkan komunitas di rata Mogutalong yakni: Nonow ( kayu keras), Simpal (pendamping Raja), Tahid (Pembersih lampu / obor) dan Yobuat (Pembawa Makanan Raja).

Zaman Raja Tadohe terjadi perubahan social yang besar di berbagai wilayah Nusantara terutama wilayah Maluku. Tidak bisa di pungkiri Maluku sebagai pusat perdagangan rempah rempah dunia berpengaruh luas di nusantara, apa yang terjadi di Maluku berdampak di Sulawesi bahkan sampai ke Philipina. Supremasi kerajaan kerajaan di Maluku terutama Ternate atas  Nusantara Timur terguncang dengan kehadiran Spanyol. Jaminan Keamanan dari pihak Ternate ke kerajaan kerajaan lain di Nusantara Timur yang di balas upeti tanda Takluk berangsur angsur berubah jadi perlawanan. Di Sulawesi Utara praktis yang indenpend di masa ini hanya Siau dan Bolaang. Berbeda sikap dengan Siau yang dengan nyata memilih Spanyol dibanding Ternate, Bolaang lebih cenderung menjalin kerjasama dengan Ternate sebagai penyuplay senjata bagi kerajaan Bolaang yang saat itu sudah mampu membuat mesiu sendiri. Penyerbuan armada De Acuna (Spanyol) ke Ternate yang berhasil secara gemilang bahkan menawan dan membawa Sultan beserta keluarganya ke Manila di tahun 1606 sangat berpengaruh meredupkan Pamor Kesultanan Ternate apalagi Cristian Suarez bertindak bak Juru syiar atas kejadian takluknya Ternate ini. Cristian Suarez mengunjungi raja raja lokal di semanjung Utara Sulawesi mensosialisasikan takluknya Ternate kepada Spanyol dan menawarkan jaminan keamanan Spanyol terhadap kerajaan kerajaan lokal disambut antusias oleh raja raja lokal. Tak terkecuali Dounge/ Dow yang secara terang terangan menyatakan kesetiaan kepada Spanyol dan sikap memusuhi Ternate. Sikap memusuhi Ternate ini yang belum pernah di ambil oleh Raja Raja Bolaang, baik sebelum Dongue maupun sesudahnya. DS Montanus menyindir hubungan Ternate dan Bolaang bagaikan Guru (Ternate) dan Murid ( Bolaang). (BERSAMBUNG)…

*Penulis adalah warga Kotamobagu dan penggiat sejarah

Komentar