Pembebasan Permesta di Kotamobagu (Bagian Pertama)

Oleh: Sumitro Tegela

PERJUANGAN Rakyat Semesta (Permesta) pecah tanggal 17 Februari 1958 setelah lahirnya Piagam Permesta di Makassar pada tanggal 2 Maret 1957. Saat itu daerah Bolaang Mongondow sangat terdampak dan terpukul atas peristiwa ini.

Permesta dan Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) adalah operasi intelijen “klandestein”, politik adu domba yang dimainkan oleh kekuatan barat terutama Belanda dan Amerika Serikat (AS) yang tidak menginginkan dibubarkannya Republik Indonesia Serikat (RIS) pada tanggal 1 Agustus 1950.

Situasi politik antara pro negara kesatuan dan pro negara federal Indonesia mampu disusupi kekuatan asing dengan mengadu domba sesama anak bangsa (devide et impera).

Suplai persenjataan oleh AS dan Belanda sukses menyulut perang saudara. Bimbang tak tahu mana kawan dan mana lawan antara sesama pribumi. Pada tanggal 17 Februari 1958, Kolonel D.Y Somba, di bawah kendali A. E. Kawilarang menyatakan memutus hubungan dengan pemerintah pusat, menyokong berdirinya Permesta dan membentuk Dewan Manguni.

Rayuan Kolonel D.Y Somba kepada para pejabat daerah Bolaang Mongondow atas alasan “menuntut pemerataan pembangunan kepada pemerintah pusat” berhasil dimainkan dengan menggandeng tokoh-tokoh dari pemerintah daerah Bolaang Mongondow.

H.D. Manoppo sebagai Gubernur Sulawesi Utara dan Tengah (Sulutteng) pertama mendukung Permesta atas gerakan politik dengan mengkritik pemerintah pusat agar adil dan merata dalam pembangunan karena dalam bunyi piagam Permesta pertama di Makassar adalah “Menuntut pemerataan dan keadilan pembangunan dengan tidak memisahkan diri dari NKRI”

Ternyata piagam ini hanyalah bentuk upaya pengalihan isu untuk menggandeng dan menambah kekuatan dukungan bagi kepentingan makar Permesta dari daerah Bolmong dan Gorontalo.

Maka, di dua wilayah ini munculah dualisme dukungan. Saat upaya politik Permesta yang sebelumnya bergerak melalui politik etis ditolak ketika diketahui Permesta membentuk angkatan perang melalui sokongan AS dan Belanda dengan mulai memasok persenjataan melalui Thailand dan Singapura.

Pemerintahan daerah Bolmong saat itu sebetulnya baru memulai penataan administrasi daerah melalui UU Nomor 24 Tahun 1954 tentang Pembentukan Daerah Bolaang Mongondow. Kepala daerah-nya adalah Anthon Cornelis Manoppo. Sedang Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) adalah Abdulah Piet Manoppo.

Sebelum dibubarkanya RIS pada tanggal 1 Agustus 1950 daerah Bolmong masih dalam bentuk pemerintahan kerajaan di 1 Juli 1950 setelah rapat selama tiga hari di Pohohiburan Kotamobagu. Raja Henny Cornelis Manoppo menyatakan dan membacakan keputusan bahwa daerah Bolmong sebagai pemerintahan kerajaan berubah menjadi sistem pemerintahan baru dalam pemerintahan Indonesia yang secara utuh bergabung pada 1 Juli 1950.

Posisi daerah Bolmong periode 1948-1950 saat terbentuknya RIS merupakan negara Bagian dari NIT (Negara Indonesia Timur) karena wilayah ini merupakan kerajaan mandiri (zelfbestuur) swapraja yang tidak diatur sepenuhnya oleh Hindia Belanda.

Periode 1950 sampai 1956 daerah Bolmong aman tentram, tertib dan lancar. Saat mulai menata pemerintahan yang mandiri, Anthon Cornelis Manoppo ditarik ke Jakarta menjadi anggota DPR RI pertama tahun 1954 utusan Bolmong dari partai Demokrat dan Henny Yusuf Manoppo menjadi anggota konstituante di Jakarta utusan Partai Masyumi di tahun 1956.

Politik Permesta mulai masuk ke Bolmong dengan membangun kantor-kantor perwakilan dan jaringan, meski Permesta tidak disukai dalam mayoritas publik Bolmong. Namun ketika suplai pasukan persenjataan dan back up alusista modern oleh AS, Permesta mulai semena-mena di Bolmong.

Partai Sarikat Islam, Muhammadiyah, Partai Nasionalis Indonesia, Partai Masyumi, Partai Demokrat, Gapribom (Gerakan Pemuda Republik Indonesia mulai dikontrol dan diawasi militer Permesta. Pembantaian para pemuda pro NKRI tak terelakan.

Masyarakat diadu dengan pemerintah Bolmong. Para pejabat pemerintah daerah Bolmong yang berasal dari keluarga bangsawan difitnah dengan isu feodalisme. Daerah Bolmong akhirnya terjebak di dalam kepentingan operasi pecah belah NKRI.

Tahun 1958 pecahlah perang Permesta. Banyak pemuda dan mahasiswa mulai melawan gerakan politik ini di Bolmong. Salah satunya adalah Husen H Damopolii, Ketua KPMI Bolmong berhasil melarikan diri dari ancaman tahanan sepihak Permesta karena mayoritas mahasiswa Bolmong menolak gerakan Permesta di Bolmong. Husen H Damopolii menuju Bolaang (Inobonto) bertemu dengan tim Kodam Merdeka dan memetakan seluruh pos dan unit Permesta di Kotamobagu.

Laporan ini akhirnya menjadi bahan Divisi Siliwangi untuk membebaskan Kotamobagu dan Bolmong dalam menumpas Permesta dengan sandi operasi “Insyaf dan Merdeka”. Kolonel Ahmad Yunus Mokoginta juga membantu Husen H Damopolii dalam memetakan seluruh kekuatan Permesta di Bolmong (BUKU DIVISI SILIWANGI DARI MASA KE MASA). —Bersambung.

*Penulis adalah anggota Polri, peneliti dan pemerhati sejarah budaya BMR.

Komentar