Oleh:
Murdiono Mokoginta
(Ketua Pusat Studi Sejarah Bolaang Mongondow Raya)
Sulawesi Utara berduka atas konflik yang baru saja terjadi di Kota Bitung antara kelompok masa aksi bela Palestina dengan Ormas Adat Pasukan Manguni Makasiouw pada (25/11/2023).
Konflik yang menyebabkan jatuhnya korban jiwa antara dua belah pihak tidak dapat dibenarkan.
Terlebih akar masalah ini hanya karena arus geopolitik global yang berimbas pada tatanan lokal. Ini makin menunjukan betapa rapuhnya ikatan “torang samua basudara” yang sejak dahulu telah menyatukan berbagai kelompok dan golongan di Sulawesi Utara.
Slogan ini pada milenium 2000-an memang mampu menahan terpaan arus konflik SARA (Suku, Agama, Ras) di Maluku dan Posso. Torang samua basudara bertahan seiring menguatnya istilah-istilah profokatif yang mewarnai dinamika sosial-politik masyarakat Sulawesi Utara.
Istilah cebong-kadrung yang muncul sejak Pemilu 2014 dan 2019 turut menjadi momok bagi keutuhan tolerasi beragama di Sulawesi Utara.
Selain istilah yang baru muncul tersebut, istilah “Sebla Aer” yang telah lama lahir di Manado kian membuat kelompok-kelompok inferior di sana makin termariginalkan.
Istilah Sebla Aer sendiri pertama kali digunakan Sekretaris Residen Manado Ph. E. L. Sigar tahun 1923 untuk menyebut penduduk Sangir di Manado Utara sekaligus memuji kesungguhan dan semangat kerja mereka.
Kini, Sebla Aer tidak hanya menjadi sebuah penunjuk teritori semata. Bagi warga, istilah itu secara konotatif merujuk golongan masyarakat kelas dua yang berpretensi sekaligus berpereferensi pada agama tertentu yang saling rekat dengan etnis tertentu, seperti Islam-pendatang (Gorontalo, Jawa, Bugis) ataupun Kristen-pendatang (Sangihe).
Jelas bahwa, Sebla Aer merupakan identitas di dalam identitas menyangkut relasi antaragama maupun etnis di Manado yang selama ini ter(di)bentuk dan menjalar dalam banyak ruang sosial masyarakat (Sumampow, 2018: 5).
Torang samua basudara menjadi penangkal bagi berbagai perbedaan kelompok dan golongan di Sulawesi Utara. Slogan ini memiliki rentang sejarah yang panjang dan memiliki arti toleransi tinggi untuk menjunjung nilai-nilai kemanusiaan.
Memahami toleransi di Sulawesi Utara hal ini tidak dapat dipisahkan dari Bolaang dan Manado sejak tahun 1563. Pada masa inilah Islam dan Katolik bersamaan masuk pada Bulan Mei 1563 yang dibawa oleh Fr. Diogo de Magelhaes dari Portugis dan Kaicili Guzarate dari Kesultanan Ternate.
Sebagaimana dalam Valdu La Paskah: Tongak Sejarah Perjalanan Suatu Jemaat (Buku II), Sem Narande (1980: 333-334) menulis bahwa tahun 1563 Diogo de Magelahes datang dari Ternate.
Ia dijemput oleh Raja Manado waktu itu, bernama Kinalang Damopolii dan seorang raja dari Siau yaitu Raja Pasuma bersama 1500 orang di ‘Baptis’ menjadi penganut agama Katolik. Beberapa pekan kemudian, Magelhaes menuju Bolaang untuk membaptis Busisi anak Kinalang Damopolii agar mau menjadi penganut Katolik, tetapi dengan ramah Busisi menolak ajakan tersebut karena ia telah memeluk Islam atas ajakan Kaicili Guzarate, saudara Sultan Hairun (Jacobs, 1974: 414).
Sejarah membuktikan bahwa sejak masuknya agama di Sulawesi Utara, toleransi juga lahir untuk meredam perbedaan. Hal ini dapat dilihat dari perbedaan agama antara Raja Kinalang Damopolii dan anaknya Busisi yang menunjukan bahwa masa itu perbedaan keyakinan dalam keluargapun menjadi hal yang lumrah.
Bolaang Mongondow membawa ikatan persaudaraan tersebut kepada berbagai kelompok yang ada di Utara Celebes melalui politik pernikahan. Hal itulah yang menyebabkan mengapa Raja Bolaang Mongondow banyak menikah dengan orang-orang Minahasa, Gorontalo, Bwol dan dari Kerajaan Siau.
Semua itu dilakukan dalam rangka mempererat politik persaudaraan dan kebersamaan hingga kemudian datangnya Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC) pada abad ke-17 yang meruntuhkan tatanan nilai-nilai “torang samua basudara” di Sulawesi Utara.
Fakta kemudian membuktikan bahwa Bolaang Mongondow sejak dahulu kala menjadi tempat yang ‘paling aman’ di Sulawesi Utara bagi semua kelompok, etnis, dan berbagai agama. VOC-lah yang kemudian menciptakan batas pemisah antara Malesung dan Bolaang Mongondow di Poigar, Pontak, dan Buyat pada 31 Desember 1731 melalui kontrak antara VOC dengan Raja Fransiscus Manoppo.
Sejak itu melalui politik Devide et Impera (politik pecah belah), Belanda melarang orang-orang dari Negeri Malesung dan Manado untuk mengunjungi Bolaang Mongondow dan sebaliknya yang menjadi cikal bakal lahirnya perbedaan di kalangan orang-orang Sulawesi Utara.
Meskipun begitu, sebagian orang-orang Minahasa merasa lebih aman untuk tinggal di bawah perlindungan Raja-Raja Bolaang Mongondow dibanding dengan tinggal di Malesung yang berada dalam tekanan dan penindasan VOC.
Bisa dibayangkan bahwa sejak masa VOC (1602-1799) hingga Pemerintahan Hindia Belanda (Abad Ke- 19 – 20) yang berlangsung selama 300 tahun, bangsa akhirnya Eropa berhasil memecah belah berbagai kelompok di Utara Celebes berdasarkan etnis dan agama yang efeknya bisa kita rasakan hingga saat ini di mana antara satu kelompok dan lainnya seakan berbeda satu sama lain hanya karena soal agama dan suku yang berbeda.
Sesungguhnya dalam sejarah masa lampau, Bolaang Mongondow, Minahasa, dan Sangihe Talaud, adalah saudara yang hidup dalam satu semangat dan satu persaudaraan melalui ikatan pernikahan antar berbagai kelompok dan keluarga.
Bersamaan dengan itu Islam dan Kristen menjadi agama yang turut mewarnai ‘peradaban’ kelompok-kelompok tersebut yang tidak pernah menjadi sekat hingga politik devide et impera VOC berhasil memecah belah.
Meskipun akhir-akhir ini “torang samua basudara” seakan mulai terkikis hanya karena perbedaan suku, agama, dan ras di Sulawesi Utara, namun nilai dalam slogan tersebut lantas tidak hilang dalam memori kolektifitas masyarakat Bolaang Mongondow hingga saat ini.
Dalam beberapa kasus perseturuan di wilayah Manado, Bitung, dan sekitarnya hanya kerana perbedaan agama dan kelompok, Bolaang Mongondow tetap menjadi rumah yang ‘aman dan ramah’ untuk semua perbedaan.
Seperti contoh di dataran Dumoga yang terdapat semua agama seperti Islam, Kristen-Katolik, Hindu, Budha. Juga terdapat etnik Bolaang Mongondow, Minahasa, Jawa, Makassar, Bali, dan sebagainya.
Dalam kondisi di mana masyarakat yang heterogen itu, konflik antar kampung (tarkam) seringkali juga terjadi di sana. Meski demikian, mereka tidak pernah menyinggung isu SARA dalam berbagai latar konflik yang terjadi.
Kebanyakan kerusuhan di sana hanya karena disebabkan oleh permasalahan anak muda, suara bising kendaraan yang mengganggu orang lain, dan sebagainya. Mereka tidak perna mengaitkan konflik masyarakat dengan soal-soal SARA.
Begitu pula wilayah-wilayah lainnya di Bolaang Mongondow. Sejak dahulu masyarakat Minahasa hidup aman berdampingan dengan komunitas Islam-Bolaang Mongondow.
Sebagian desa-desa Minahasa yang ada di Bolaang Mongondow seperti Mariri, Poopo, dan sebagainya bahkan telah hidup ratusan tahun sejak kedatangan mereka pada masa Raja Salomon Manoppo pertengahan abad-18, Raja Johanes Manuel Manoppo di tahun 1860-an, hingga awal-awal abad ke-20, dan mereka tetap menjaga eksistensi budaya dan agama tanpa gangguan dari orang-orang Bolaang Mongondow.
“Torang samua basudara” adalah istilah yang lahir, hidup, dan berkembang melalui denyut nadi sejarah persaudaraan dan toleransi di Sulawesi Utara. Masyarakat Manado, Bitung, dan sekitarnya perlu belajar dari Bolaang Mongondow yang berhasil merawatnya sehingga masih memiliki nafas untuk terus hidup demi merawat perbedaan dan kerukunan di saat wilayah lainnya mulai melemah hanya karena tidak bisa menghargai perbedaan.
Mototompiaan, Mototabian, bo Mototanoban (tolong-menolong, saling menyayangi, saling menasehati) sebagai moto Bolaang Mongondow berhasil menjaga dan merawat “torang samua basudara” agar terus menurus hidup dalam sanubari dan jiwa orang Sulawesi Utara dari Minahasa, Sangihe, dan Bolaang Mongondow yang kita cintai dan kita jaga bersama. Mari belajar dari Bolaang Mongondow untuk merawat dan mencintai toleransi. ***
Komentar