Oleh: Novel Damopolii
Bab 1
Disebuah rumah pinggiran kota.
Suara tembakan menggema, memecahkan keheningan malam, diantara cahaya lampu sorot, seseorang berpakaian hitam mengenakan kupluk nampak berlari.
Taufan berlari terengah-engah, berusaha memacu kedua kakinya berlari secepat mungkin keluar dari rumah tempat ia melakukan penyelidikan.
Makian dan teriakan silih berganti, sahut menyahut dari penjaga rumah yang terus berteriak menyuruhnya berhenti.
Suara tembakan terdengar, desingan peluru yang hampir menyempret bahunya membuat Taufan gemetar, dengan wajah pucat pasi ia berlari zig zag berusaha membuat pengejar kehilangan target, suasana rumah yang dipenuhi pohon-pohon rindang membuatnya bisa melindungi diri sementara.
Sebuah pisau tiba-tiba terbang menancap di pohon pinus, sambil mengeluarkan keringat dingin Taufan bergumam “hampir saja”, sambil terus berlari tak henti-henti mulutnya komat kamit membaca doa.
Setelah berlari kurang lebih 50 meter, didepannya ada tembok setinggi 5 meter, seolah ada kekuatan tersembunyi, Taufan melompat pagar tembok itu dan kemudian lari menghilang di kegelapan malam.
Para penjaga rumah yang sedang mengejarnya terbengong-bengong melihat Taufan mampu melompat tembok setinggi itu, “ilmu apa yang dia pakai ya ?” gumam mereka, melihat targetnya mampu meloloskan diri, dengan lesu mereka berbalik Kembali ke posnya masing-masing.
Sesudah lolos dari kejaran penjaga rumah, Taufan bergegas menuju motornya yang disembunyikan di sela-sela semak-semak, dengan tergesa-gesa ia menyalakan motor dan segera memacu motornya menuju tempat tinggalnya.
“Kurang ajar si lengkebong kasih info yang tidak akurat”, maki Taufan, setelah sampai di rumah kontrakan.
“Waduh, malam-malam gini ngamuk-ngamuk, ada apa kakak ?,” sambut Adi, teman kontrakan Taufan. “Kerjaan kamu selalu saja menyempret bahaya “
“Hehhehe inilah yang bikin hidup lebih hidup, semakin berbahaya semakin tertantang untuk menjalaninya,” kata Taufan.
“Tolong bikin kopi segelas, yang kental yaa” pinta Taufan.
“Sialan kamu kak, selalu nyuruh adikmu yang super jenius ini, mulutku asam neh, pengen ngerokok, kalu nda dikasih rokok, saya nda mau bikin,” gerutu Adi.
Sambil terkekeh Taufan mengeluarkan 2 bungkus rokok u mild, dan melemparkan sebungkus ke arah Adi.
“ini sedeqah buatmu, semoga asapnya bisa membuat otakmu mampu mengurai rumus Einstein,”.
“”Alhamdulillah, rumus eksperimenku bakalan jadi neeh,” senyum Adi, sambil menyalakan sebatang rokok.
“Apa seh yang kamu bikin, kerjaan kamu selalu ngumpulin besi tua dan tembaga, kupikir kuliahmu gak bakalan selesai, apa kamu nda berfikir betapa susahnya ibu dan bapakmu ngirim uang tiap bulan untuk biaya kuliahmu,” kata Taufan.
“Ahh tenang aja kakakku yang ganteng, kalau jadi rumusku, akulah sang Einstein dari Timur,” kata Adi tersenyum misterius.
“terserahlah, senantiasa ingat tetesan keringat orang tuamu di setiap langkahmu, saya mau lanjutkan buat laporan,” kata Taufan sembari menghidupkan laptopnya.
Mendengar jawaban dari Taufan, Adipun bergumam tidak jelas dan segera menuju kamarnya.
Taufan adalah seorang wartawan di salah satu media nasional, dia di tugaskan pimpinan redaksinya untuk membuat berita mendalam tentang tambang emas illegal yang melibatkan pengusaha, aparat dan pejabat daerah.
Sedangkan teman kontrakannya Adi, lulusan SMK Cokroaminoto Kotamobagu, jurusan listrik yang melanjutkan kuliahnya di Perguruan Tinggi Negeri jurusan Fisika terapan.
Mereka patungan membayar kontrakan yang dibayar per tahun. Penghuni kamar lainnya, Aruman, sang jenius Komputer, setiap tri wulan ketika kelapa berbuah, pulang ke kampungnya untuk memanen dan mengolahnya untuk dibuat kopra.
Mereka bertiga mengontrak rumah yang cukup besar, ada 5 kamar, dengan luas rumah mencapai 350 meter persegi.
Tiga kamar terlatak di lantai 1 sedangkan 2 kamar lainnya ada di lantai dua. Pemilik rumah merupakan keluarga dari Taufan, sang wartawan nyentrik namun pemberani.
Rumah itu terletak di Malalayang, pinggiran Kota Manado, ketika membuka pintu rumah, tercium aroma air laut menebarkan pesona keharuman khas, ketika menaikkan pandangan 10 derajat terlihat pulau yang dahulunya adalah tempat persinggahan armada VOC sebelum berperang.
Laut disekitar pulau terkenal dengan terumbu karangnya, hingga menarik wisatawan untuk selalu berkunjung.
“Aneh juga si Adi ini, kok nda melanjutkan kuliahnya di Fakultas Teknik” gumam Taufan.
Tak henti-hentinya ia merenung, bersyukur bertemu dan berkumpul bersama teman-teman kontarakan yang unik, nyeleneh namun pintarnya naudzubillah min dzalik, seolah-olah jalur kepintaran yang sebelumnya di ras Yahudi bergeser 25 derajat, jatuh di daerah Mongondow.
Tiba-tiba terdengar dering telpon, sesudah melirik siapa penelponnya, Taufan mengangkatnya.
“siap boss, perintah?,”
“Bagaimana penyelidikannya?, tanya penelpon, “saya sudah dapat buktinya, kebetulan mereka lagi kumpul semua, ini baru pulang, sudah pake ilmu halimun, masih ketahuan juga, untung saja masih selamat,” kata Taufan sambil terkekeh.
“Cukup basa basinya, bukti bagaimana yang kamu dapat? tanya penelpon, “ada bukti foto dan rekaman video boss, ini baru mau dibikin laporan lengkapnya,” sambung Taufan .
“Oke 3 hari kemudian, segera imel ke saya, lanjutnya sembari menutup telpon.
sementara itu…
Adi tenggelam di dalam kamarnya yang berantakan, kertas dan buku berserakan dimana-mana, gelas-gelas kopi berserakan di sudut, di kamarnya yang berukuran 3 x 3 meter selain kasur, meja dan kursi, ada sebuah foto yang tergantung diatas meja belajarnya, foto Albert Einstenn yang sedang mengeluarkan lidah, sembari menatap foto itu itu, Adi segera menghitung ulang rumus yang sedang dikerjakannya.
“Ah teori relativitas khusus dan umum sudah bisa disingkronkan, tinggal mekanika kuantum, merubah massa padat menjadi partikel, kemudian memanfaatkan kecepatan cahaya untuk mengirimkan partikel ke lubang cacing” gumamnya.
Sambil terus menghitung, ia menggaruk kepalanya yang tidak gatal, kopi yang tadi dibuatnya bersama Taufan tinggal setengah, sembari berbaring menatap keluar jendela kecil, nampak bulan purnama memancarkan cahayanya ke permukaan bumi, ia merasakan kedamaian yang belum pernah dirasakan sebelumnya.
Tanpa ia sadari, ada cahaya kecil diatas kepalanya, membentuk siluet seseorang yang berambut riap-riapan, sambil tersenyum memandang ke bawah, seolah merestui apa yang dilakukan Adi.
sementara itu nun jauh di kaki gunung sia.
Di sebuah desa terpencil, seorang ibu terbangun ditengah malam, dia segera mengambil wudhu, kemudian melaksanakan shalat tahajud, di sujud terakhirnya, gelombang keharuan menyeruak kedalam dadanya, diiringi airmata yang mengalir ibu itu berdoa: “Yaa Allah Pemilik Ilmu, turunkan cahaya Ilmu-Mu kepada anakku yang sedang menuntut ilmu, mudahkan pemahamannya, saya meridhai apa yang anakku lakukan, maka ridhailah dia Wahai Dzat Yang Maha Mengetahui ,”.
Doa itu seperti cahaya, dia naik ke atas langit tembus melewati Arsy ke lautan cahaya.
Adi yang tengah menekuni kertas rumus fisika, tiba-tiba merasakan sebuah ilham yang masuk ke dalam hatinya, naik ke dalam otaknya, memicu sel-sel otaknya bergerak memutar lebih cepat, sistem motorik memutar dan memicu gerak tangannya lincah menulis rumus-rumus kuantum.
“Alhamdulillah, selesai sudah,” sesudahnya Adi langsung melakukan sujud syukur. “Terima kasih yaa Allah, terima kasih ibu dan bapak atas doanya, tetesan air mata membahasi pipi Adi.***
Penulis adalah warga Kota Kotamobagu
Komentar