Oleh: Murdiono Prasetio A. Mokoginta
Empat tahun silam, saat masih menjadi mahasiswa Jurusan Sejarah di Universitas Negeri Gorontalo (UNG), saya menulis dalam salah satu kolom opini media catak terbesar di Bolaang Mongondow Raya dengan judul artikel ‘Interpretasi Sejarah, 105 Tahun Kotamobagu’ untuk membuka pemahaman kita semua tentang arti penting sejarah dan perlunya mengubah HUT Kota Kotamobagu saat ini dengan menggunakan peristiwa-peristiwa historis sebagai landasannya.
Selama ini kita mengaku konsisten menjadikan sejarah dan kebudayaan sebagai kearifan lokal juga pondasi pembangunan daerah ini. Namun apalah daya jika hanya dalam wacana saja, sementara HUT atau milad tanah tempat kita berpijak saat ini kita tak tahu kapan rimbanya, tanpa landasan sejarah.
Mentalitas yang terbangun tanpa nilai sejarah akan rapuh. Kehilangan jati diri adalah keniscayaan bagi suatu komunitas yang maju kedepan tanpa pijakan sejarah yang kuat. Saat terombang-ambing dalam badai masalah yang menghantam, kita tak tahu jalan pulang. Karena itu sejarah penting untuk memperkuat mentalitas dan membangun kepercayaan diri.
Kita memperingati HUT Kota Kotamobagu sejak tanggal 23 Mei 2007 bertepatan dengan pelantikan Bapak Ir. Hi. Siswa R. Mokodongan sebagai Pejabat Sementara Walikota Kotamobagu yang kemudian tanggal inilah dijadikan sebagai HUT Kotamobagu hingga kini.
Tanggal 23 Mei yang diperingati hampir 13 tahun ini tidak memiliki pijakan kuat dalam sejarah panjang Kotamobagu. Kita kehilangan ruh dan jiwa pembangunan, yaitu sejarah yang membentuk kebudayaan manusia.
Kini kita harus membangun spirit daerah dengan menetapkan HUT Kota Kotamobagu kedepan dengan spirit masa lalu yang berpedoman pada nilai-nilai sejarah sebagai implementasi kearifan lokal Kota Kotamobagu sebagai pusat kebudayaan di kawasan Bolaang Mongondow Raya.
Tulisan ini saya buat untuk membuka kesadaran kita semua tentang arti penting mencintai Kotamobagu dengan membaca sejarahnya. Dengan membaca sejarah Kotamobagu, cinta akan tumbuh dengan tulus dan spirit untuk membangun daerah akan semakin bergelora. Dengan mengetahui sejarah Kotamobagu, kita semakin sadar bahwa percepatan pembangunan dalam semua aspek adalah keniscayaan.
Kotamobagu Tahun 1911
Mengutip catatan Van Der Endt dalam bukunya ‘De Zending In Bolaang Mongondow” yang terbit tahun 1921 Oleh Uitgave Van Het Zendingsbureau Te Oegstgeest (Bij Leiden), yaitu kantor misi di Oegstgeest Kota Leiden Belanda, Kotamobagu pertama kali didirikan pada tahun 1911 bertepatan dengan pemindahan kantor Controleur di sini.
Nama Kotamobagu sengaja digunakan, karena pemerintah Kolonial memang ingin membuat sebuah tempat yang akan dijadikan sebagai pusat pos kolonial di Kerajaan Bolaang Mongondow, Kaidipang, Bintauna, dan Bolang Uki.
Bahasa Bolaang Mongondow adalah bahasa wajib yang digunakan di Kerajaan Bolaang Mongondow, dan setelahnya bahasa Belanda. Karena itu saat Dunnebier, dan beberapa guru misi datang ke sini, mereka diwajibkan harus menguasai bahasa Bolaang Mongondow untuk pembelajaran di sekolah di samping bahasa Belanda.
Saat pendiriannya, tak di kenal sama sekali istilah ‘Kota Baru’ yang merupakan arti Kotamobagu. Nama Kotamobagu memang adalah nama yang ditetapkan langsung pada tahun 1911 sebagai gabungan dari perencanaan wilayah ini yang akan dijadikan sebagai suatu Kota pos kolonial dan Mobagu sebagai bahasa Kerajaan untuk menyebut arti ‘Baru’ yang kita kenal dalam bahasa Indonesia kini. Penamaan ini disepakati oleh Controleur F. Junius dan Raja Datu Cornelis Manoppo.
Kotamobagu sebelumnya adalah wilayah Kotabagon yang merupakan pusat Kerajaan Bolaang Mongondow. Di Kotabangon ini adalah letak istana Kerajaan yang pada tahun 1911 merupakan kediaman Raja Datu Cornelis Manoppo. Beliau menyerahkan sebagian wilayah Kotabangon agar Pusat Kerajaan dan Pos Kolonial (Kantor Controleur) berada dalam satu kawasan yang sama. Maka Controluer F. Junius mengubah nama sebagian wilayah Kotabangon menjadi Kotamobagu.
Hal di atas dikuatkan saat kita melihat peta Schets van Bolaang Mongondow 1883, di mana saat itu wilayah Kotamobagu adalah wilayah Kotabangon yang membentang luas dan berbatasan dengan Lakoejoe dan Biga di Utara, Gogagoman di Barat, Mojag di Timur, dan Matali molobe dan Kobo di Selatan.
Kotamobagu memang sejak tahun 1911 telah direncanakan sebagai suatu kawasan Kota yang akan ditata dengan gaya Eropa sebagai kantor controleur, tempat tinggal, dan pusat kerajaan Bolaang Mongondow yang berada di Kotabangon. Karena itu sudah semestinya hitungan awal HUT Kotamobagu harus ditetapkan tahun 1911.
Bulan September – Akhir dan Sebuah Awal Baru
Bulan September menyimpan catatan tragis dan kelam, serta menjadi titik awal Kotamobagu sebagai ujung tombak kedaulatan NKRI di utara Celebes. Karena itu, dalam sub judul tulisan ini saya menamakannya ‘Bulan September – Akhir dan Sebuah Awal Baru’. Saya akan mengulas arti penting bulan ini sebagai peristiwa bersejarah di Kotamobagu.
Saat mengenang Permesta, bulan September 1959 adalah saat yang paling tragis dan menentukan jalannya sejarah bukan hanya Kotamobagu tetapi Bolaang Mongondow Raya, bahkan Indonesia secara luas. Untuk Kotamobagu sendiri, di bulan ini ‘lautan api’ menerangi langit Kota saat pembakaran yang dilakukan oleh tentara Permesta di hampir semua rumah warga, perkantoran pemerintah, dan istana Kerajaan Bolaang Mongondow yang berabad-abad berdiri di kaki Gunung Ambang, bukit Ilongkow.
Untuk Bolaang Mongondow Raya, Bulan September 1959 adalah awal kegelapan karena kita kehilangan catatan-catatan sejarah Bolaang Mongondow sentris yang hangus tak tersisah bersamaan reruntuhan Komalig, istana raja yang menimpan catatan-catatan sejarah Bolaang Mongondow sejak dahulu kala. Imbasnya dirasa hingga kini, saat Bolaang Mongondow Raya merekonstruksi sejarahnya yang menemui kesulitan dan kendala.
Untuk Indonesia secara umum, Bulan September 1959 adalah saat di mana Kotamobagu berhasil direbut dari Permesta sebagai pusat pertahanan terkahir mereka dalam perang yang berlangsung hampir tiga tahun lamanya. Barbara Sillar Harvey dalam karya monumentalnya Permesta: Half a Rebbelion (1989: 159) memberi satu sub-bab khusus dalam bukunya yang ditulis ‘Jatuhnya Kotamobagu’.
Menurut Harvey jatuhnya Kotamobagu merupakan titik balik penting dalam pemberontakan dan menandai dimulainya tahap terakhir perperangan. Pada 14 September ketika pasukan TNI mendekat, Kotamobagu dibakar dan bangunan yang terakhir berdiri di Kota ini adalah Rumah Sakit. Direbutnya Kotamobagu menjadi titik awal bagi Indonesia untuk menumpas pemberontakan Permesta yang di bantu oleh Amerika Serikat. Karena itu, Bulan September ini memiliki arti sejarah sebagai titik awal dan akhir bagi Kotamobagu, Bolaang Mongondow Raya, dan Indonesia di masa lalu dan masa depan.
Tanggal 2 Januari
Kota Kotamobagu saat ini lahir berdasarkan UU No. IV Tanggal 2 Januari 2007. Perjuangan para tokoh pemerkaran daerah demi mewujudkan lahirnya Kota Kotamobagu menjadi spirit kita semua untuk terus diwariskan demi menggapai cita-cita menuju Provinsi Bolaang Mongondow Raya yang kini masih terkendala kran moratorium pemerintah pusat.
Puncak perjuangan tokoh-tokoh daerah dalam pemekaran Kotamobagu harus ditulis dalam tinta sejarah. Karenanya tanggal 2 Januari menjadi tanggal special untuk diingat oleh anak cucu kita di masa depan. Ia memiliki nilai semangat perjuangan. Tanggal ini memberi kita keyakinan bahwa setelah perjuangan panjang yang melelahkan dalam melahirkan daerah otonomi baru Kota Kotamobagu, 2 Januari 2007 menjadi jawaban dan bayaran atas likunya perjuangan ini.
Angka dua juga mencerminkan watak alamiah alam tempat tinggal manusia. Ada siang dan juga malam. Ada pria dan wanita. Ada panas dan dingin, dan lain sebagainya. Angka dua yang memiliki semangat dan nilai sejarah bagi Kota Kotamobagu merupakan angka yang bisa digunakan sebagai tanggal lahirnya Kota Kotamobagu tercinta.
Filosofi Sejarah Kotamobagu
Berdasarkan kronologis sejarah di atas saya menekankan perlunya mengimpelentasikan nilai-nilai yang terkandung dalam berbagai peristiwa sejarah menjadi satu semangat dan pondasi untuk membangun Kotamobagu berasaskan sejarah dan berlandaskan kearifan lokal.
Tiap peristiwa bersejarah yang memiliki ‘spirit’ perlu digabungkan kemudian ditetapkan sebagai HUT Kotamobagu agar memiliki landasan histroris yang jelas. Filosofi sejarah Kotamobagu ditinjau dari benang merah sejarah terwujud dalam tiga dimensi peristiwa yakni ‘Lahir, Tenggelam, dan Bangkit Kembali’.
Lahir di sini diambil pada ‘tahun 1911’ dalam peresmian Kotamobagu sebagai pusat kota di Kerajaan Bolaang Mongondow dan juga pos kolonial (controleur). Tenggelam di sini yakni pembumi hangusan pada bulan September 1959 karena pembakaran permesta. Tapi jangan salah, di ‘Bulan September’ ini juga merupakan titik awal kebangkitan Kotamobagu seiring dengan Pembebasan Kota ini oleh Siliwangi dari cengkaraman Permesta. Dan Bangkit Kembali diambil pada ‘tanggal 2’ Januari 2007, bersamaan dengan UU. No. IV Tanggal 2 Januari 2007 sebagai momentum pemekaran Kotamobagu.
Maka tanggal 2 September 1911 perlu ditetapkan sebagai HUT Kota Kotamobagu sebagai tanggal, bulan, dan tahun yang memiliki nilai historis dari berbagai latar peristiwa yang terjadi berdasar pada fakta-fakta sejarah, sehingga Kotamobagu kini akan berusia 110 tahun di 2021 nanti.
Sebagaimana menumbuhkan semangat dan spirit pembangunan kampung halaman dengan mengambil nilai-nilai sejarah, Pemerintah dan rakyat Manado telah lebih dahulu menjadikan tiga momentum peristiwa di sana sebagai HUT Kota Manado yang dirayakan hingga saat ini.
HUT Kota Manado 14 Juli 1623 diambil dari ‘tanggal 14’ yang diambil dari peristiwa heroik merah-putih 14 Februari 1946 saat rakyat Manado menentang Belanda. Bulan ‘Juli’ yang diambil dari unsur yuridis yaitu bulan Juli 1919, yaitu munculnya Besluit Gubernur Jenderal tentang penetapan Gewest Manado sebagai Staatgemeente dikeluarkan dan ‘tahun 1623’ yang diambil dari unsur historis yaitu tahun di mana Kota Manado dikenal dan digunakan dalam surat-surat resmi.
*Penulis Adalah Ketua Pusat Studi Sejarah Bolaang Mongondow Raya
Komentar