Sepenggal Sejarah Media Cetak Pertama di Bolaang Mongondow

Hari Pers Nasional (HPN) yang diperingati tiap tanggal 9 Februari tak lepas dari sejarah PWI (Persatuan Wartawan Indonesia), sebuah organisasi wartawan pertama di Indonesia yang berdiri pada tanggal 9 Februari 1946 di Surakarta.

Organisasi ini lahir di tengah desing peluru dan upaya dalam mempertahankan proklamasi kemerdekaan yang telah dikumandangkan Bung Karno dan Bung Hatta pada 17 Agustus 1945.

Di masa itu, wartawan memiliki peran ganda yakni sebagai aktivis pers yang bertugas menyebarkan informasi dan sebagai aktivis politik yang terlibat dalam gerakan perlawanan terhadap penjajahan.

Segala sesuatu tentu memiliki permualaan. Demikian juga dengan dunia Pers di Bolaang Mongondow. Ada permulaan yang menjadi penanda sebuah kelahiran.

Lantas bagaimana kemunculan dunia Pers di daerah bekas Negara kerajaan ini untuk pertama kalinya? Berikut serpihan informasi yang dapat saya himpun kepada para pembaca, selamat menikmati.

Pers atau dikenal pula sebagai aktivitas jurnalistik yang umum kita kenal sebagai media cetak adalah aktivitas yang berhubungan dengan pemberitaan kepada publik. Kita juga mengenalnya sebagai media massa berisi pemberitaan yang disampaikan lewat apa yang mula-mula kita sebut dengan Surat Kabar atau Koran (Courant).

Sebelum munculnya aktivitas pers seiring lahirnya perusahaan media cetak yang dikelola langsung oleh orang Mongondow, bukan berarti tak ada sama sekali media cetak yang sampai di daerah ini setidaknya di awal abad ke-20.

Meski tentu harus diakui bahwa akses terhadap media cetak ini baru dapat dinikmati oleh kalangan tertentu saja yang bisa dihitung dengan jari.

Sarekat Islam misalnya, mosi-mosi yang mereka keluarkan dalam rapat-rapat akbar dapat dibaca melalui surat kabar Fikiran maupun Medan Moeslimin, media yang sudah eksis kala itu dan beredar di sejumlah wilayah.

 Sejumlah peristiwa yang terjadi di wilayah kerajaan Bolaang Mongondow juga tak luput dari liputan media cetak pada masa itu, baik yang berbahasa Belanda, Melayu, maupun berbahasa Cina.

Ini menandakan bahwa pada masa itu orang Mongondow memang sudah berhubungan dengan pers, meski setidak-tidaknya (sebagaimana penelusuran penulis hingga artikel ini dibuat) sebelum tahun 1932, belum ada media cetak yang lahir atau diterbitkan dan dikelola langsung oleh orang Mongondow sendiri.

Berbeda dengan tetangganya di Minahasa yang pada tahun 1869 lahir sebuah surat kabar bernama Tjahaja Siang (Cahaya Siang) meski memang pencetusnya bukanlah orang Minahasa melainkan Nicolaas Graafland (1827-1898) seorang Pendeta dari negeri Belanda.

Keberdaaan Graafland di tanah Minahasa adalah permintaan dari Zending (NZG) sebuah organisasi pengkabaran Injil Kerajaan Belanda. Ia diminta datang untuk mengatasi kekurangan guru sekolah Zending di pelosok Minahasa.

Graafland berangkat dari negeri Belanda pada tanggal 23 Juli 1849 dan tiba di Sonder-Minahasa pada tanggal 16 Maret 1851 untuk bekerja pada pos penginjilan Sonder. Graafland selanjutnya membuka Sekolah Pendidikan Guru Pribumi Zending tanggal 12 Juni 1851.

Wabah penyakit Campak yang menyerang di wilayah Sonder dan mengakibatkan banyaknya korban jiwa, membuat Graafland pindah ke Tanawangko pada tahun 1854.

Disinilah muncul ide dari Graafland untuk mengadakan sebuah percetakan di Minahasa karena kebutuhan akan pencetakan dalam membantu tugas-tugasnya selaku pengkabar Injil.

Maka lahirlah surat kabar Tjahaja Siang berbahasa Melayu untuk pertama kalinya di Tanawangko pada tahun 1869. Inilah yang kemudian menjadikan orang Minahasa lebih dulu bersentuhan dengan dunia pers dibanding orang Mongondow.

Sebelumnya sejumlah surat kabar berbahasa Melayu pada masa itu sudah ada di sejumlah kota seperti di Batavia, Surabaya, Semarang, dan Sumatera. Hingga tahun 1875 surat kabar berbahasa Melayu di Hindia Belanda paling tidak sudah ada enam dan satu berbahasa Jawa (lihat Sumatra-Courant : Nieuws- en Advertentieblad, 20-09-1876).

Surat kabar berbahasa Melayu tersebut adalah tiga buah di Batavia yakni Bintang BaratBintang Djohar dan Hindia Nederland, surat kabar Bintang Timoer di Soerabaja, surat kabar Selompret Melajoe di Semarang dan surat kabar Tjahaja Siang di Minahasa.

Bagaimana dengan Bolaang Mongondow? Pada tahun 1932 di daerah ini lahir media cetak diberi nama Ra’jat Bolaang Mongondow yang dikelola langsung oleh orang Mongondow sendiri.

Media ini didirikan oleh Anton Cornelius Manoppo dimana ia juga berdiri sebagai Pemimpin Redaksi dibantu oleh M.A. Sugeha dan C. Manoppo sebagai Dewan Redaksi.

Media ini terbit di Kotamobagu dan memiliki korenspondensi di Batavia yang dipegang oleh Johan Manoppo, seorang yang sudah lebih dulu dikenal dalam dunia pers karena keterlibatannya di surat kabar Bintang Timoer yang terbit di Surabaya dan surat kabar Matahari IndonesiaRa’jat  (Rakyat) Bolaang Mongondow, terbit  dua kali seminggu dan dicetak oleh Lie Boen Yat & Co sebuah perusahaan di Manado.

Menurut pemberitaan kantor biro pers yang bertugas untuk Pemerintah Kolonial Hindia Belanda dalam mereview pemberitaan sejumlah media cetak berbahasa Melayu dan Cina yang ada kala itu, surat kabar Ra’jat Bolaang Mongondow mengangkat kepentingan daerah dan rakyatnya.

Disebutkan juga bahwa media ini sekaligus berfungsi menggantikan tugas Jogugu (jabatan di kerajaan Bolaang Mongondow setingkat Perdana Menteri) yang telah dihapuskan pemerintah Hindia Belanda. Di mana sebelumnya Jogugu berdiri sebagai penyambung suara rakyat dalam pemerintahan termasuk dalam menerjemahkan pemberitaan media masa kala itu.

Kini suara itu, tulis biro review, suara rakyat itu akan terdengar lebih jauh lagi karena media ini (Ra’jat Bolaang Mongondow) akan dibaca di Pulau Jawa, Dewan Rakyat, dan sejumlah daerah di Hindia Belanda. Bahkan bila perlu, tulis kantor biro review pers, media ini juga akan berfungsi sebagai sarana kritik terhadap tindakan otoritas pemerintah sebagaimana yang terbaca dalam pengantar redaksinya.

Kehadiran Ra’jat Bolaang Mongondow sebagai sebuah media membuat kantor biro review media Hindia Belanda menuliskan laporannya yang mengutip artikel dalam surat kabar Bintang Timoer : bahwa seorang wartawan ibarat seorang pejabat kejaksaan, dan di depan Pengadilan Negeri, ia dapat bertindak sebagai seorang jaksa dan dapat memengaruhi opini publik serta menjalankan tugasnya tanpa pandang bulu.

Disebutkan juga bahwa Bintang Timoer bahkan menulis tanggapannya dalam edisi 24 September 1932 terkait terbitnya Ra’jat Bolaang Mongondow. 

Dicatatkan Bintang Timoer bahwa dewan redaksi media yang baru terbit ini, ada trio Manoppo sehingga dapat disebutkan bahwa media ini adalah milik Manoppo (yang diketahui juga sebagai klan negara kerajaan) dan itulah pemerintahan sejati, tulis Bintang Timoer, perpaduan antara tata kelola pemerintahan (kerajaan) dan jurnalisme dalam satu keluarga.

Hal ini, tulis Bintang Timoer adalah sebuah tanda kemajuan bagi negara (Kerajaan Bolaang Mongondow).

Namun demikian belum banyak data ditemukan penulis soal kapan tepatnya Ra’jat Bolaang Mongondow sebagai sebuah media terbit untuk pertama kali. Kecuali itu maka jika merujuk pada pemberitaan Bintang Timoer edisi 24 September 1932 yang memberi tanggapan terkait lahirnya Ra’jat Bolaang Mongondow, maka kemungkinan media ini terbit pada bulan Agustus 1932.

Rekam Jejak Johan Manoppo dan Sengketa Pers

Anton Cornelius Manoppo selaku pendiri sekaligus pimpinan redaksi Ra’jat Bolaang Mongondow tentu memiliki tujuan serius lewat media yang didirikan dan dikelolanya langsung. Olehnya kita tak heran ketika ia menggandeng Johan Manoppo saudaranya yang ia beri amanat sebagai korenspondensi di Batavia.

Sosok Johan Manoppo memang sudah dikenal sebagai sosok wartawan yang memiliki ketajaman dan keberanian dalam menulis. Ia adalah sosok yang cukup diperhitungkan dalam dunia pers kala itu.

Maka tak mengherankan Iwa Koesoema Soemantri seorang sarjana hukum lulusan Belanda dan mantan pengurus Perhimpunan Indonesia, selaku Direktur Matahari Indonesia yang terbit pertama kali pada bulan Juli 1928, pernah memberi kepercayaan kepada Johan Manoppo sebagai Pimpinan Redaksi.

Melalui Matahari Indonesia Johan Manoppo pernah menurunkan berita tentang “Dairisch Schandaal”, yakni tentang tanah rakyat yang dikonsesikan oleh penguasa Belanda kepada Handelsvereeniging H.V. Amsterdam tanpa persetujuan rakyat.

Disebutkan bahwa perusahaan itu sudah lama tak membayar ganti rugi kepada rakyat yang tanahnya diambil. Bahkan Matahari Indonesia juga memuat protes Hatopan Kristen Batak Sidikalang terhadap pengambilan tanah rakyat tersebut.

Matahari Indonesia juga mengingatkan agar rakyat waspada karena pengalaman di Deli sudah memberikan pelajaran bahwa investasi swasta Barat dalam usaha perkebunan hasilnya adalah “koelie kontrak”, penyakit kelamin, rakyat kekurangan tanah perladangan, dan kehidupan yang bertambah mahal.

Rekam jejak Johan Manoppo dalam dunia pers terutama saat ia berada di Bintang Timoer dan Matahari Indonesia, membuatnya tak luput dari kecaman pemerintah Hindia Belanda. Ia juga dituduh sebagai sosok berpaham ekstrim kiri yang kerap memberi hasutan termasuk kepada para pemuda Minahasa untuk menentang Belanda.

Ini sebagaimana diberitakan Nieuwe Rotterdamsche Courant media cetak berbahasa Belanda edisi 24 Februari 1929 yang menurunkan tajuk serius; Naklanken van het Minahasa-Jubileum; Pogingen van extremistische elementen om den geest te bederven (Buntut Kemeriaan Ulang Tahun Minahasa; Upaya elemen-elemen ekstrim dalam merusak semangat).

 Dilaporkan bahwa gema kemeriahan acara ulang tahun Perserikatan Minahasa terganggu oleh adanya protes yang dilakukan Wilson Mononutu dan sekelompok pemuda.

Hal ini, tulis media, terjadi karena adanya hasutan elemen berhaluan ekstrim kiri yang telah merusak pemikiran para pemuda sehingga menodai kemeriahan dan semangat ulang tahun Perserikatan Minahasa.

Tokoh penghasut ini oleh media dicatat sebagai Johan Manoppo orang Mongondow yang bekerja sebagai jurnalis di Matahari Indonesia dan Parada Harahap orang Batak yang bekerja di Bintang Timoer. Mereka ini, tulis Nieuwe Rotterdamsche Courant, adalah ekstrimis-ekstrimis kiri yang meracuni pola pikir pemuda Minahasa. 

Tindakan tersebut, tulis Nieuwe Rotterdamsche Courant yang turut mengutip pemberitaan Algemeen Handelsblad voor Nederlandsch-Indie, disebabkan oleh sikap Pengurus Pusat Persatoean Minahasa yang meremehkan keikutsertaannya dalam PPPKI (Pemufakatan Perhimpunan – Perhimpunan Politik Kebangsaan Indonesia), yang pada akhirnya berubah menjadi penghinaan terhadap pribadi para anggota Pengurus Pusat dan seluruh rakyat Minahasa.

Belakangan, tulis media, diketahui bahwa ada sebagian rakyat Minahasa yang terorganisir maupun yang tak terorganisir menganggap bahwa rapat-rapat politik seolah sekadar hiburan semata di hari Minggu pagi.

Selanjutnya media mencatat, orang-orang muda ini, memiliki hubungan yang intim dengan para kaum kiri di Batavia. Namun media tak merinci siapa nama-nama mereka.

Sebuah media berbahasa Belanda yakni Deli Courant edisi 5 September 1929 juga pernah menurunkan berita tentang Johan Manoppo yang disebut bekerja sebagai editor di Bintang Timoer. Melalui tajuk berjudul; De verdwijning van een Regeerings-stuk (Hilangnya Arsip Pemerintah) disebutkan soal peristiwa arsip milik pemerintah yang hilang hingga berbuntut pada laporan. Johan Manoppo dituding sebagai dalangnya.

Hal itu turut dijelaskan kepada Johan Manoppo terkait asal-usul tulisan yang dimaksud–yang hilang dari arsip pemerintah–namun yang bersangkutan menyebut bahwa ia telah menyerahkannya dengan itikad baik kepada Kantor Berita Aneta. Jika hal itu menurut Johan Manoppo dinilai sebagai kasus pencurian dokumen arsip, maka melalui pemberitaan di media, Johan Manoppo mengatakan bahwa ia tidak bersalah atas tindakan tercela apapun.

Perkara surat yang konon dicuri itu rupanya adalah sebuah telegram dari Kotamobagu (Bolaang Mongondow) yang kemudian jadi pemberitaan Johan Manoppo melalui surat kabar Bintang Timoer. Dikatakan bahwa surat dari Dolidi Kobandaha kepada pemimpin redaksi Fikiran di Manado diduga telah disita dan dibuka oleh Controleur.

Atas pemberitaan itu, Dolidi Kobandaha lantas telah mengajukan protes tertulis. Selanjutnya Dr. Sam Ratulangie, Soeangkoepon, Mochtar dan Soeroso menseriusi laporan tersebut dan menanyakan apakah pemerintah bersedia menyelidiki kebenaran laporan tersebut dan menyampaikan hasilnya kepada Dewan Rakyat atau tidak.

Johan Manoppo juga pernah berseteru dengan Dr. Sam Ratulangie. Hal ini sebagaimana ditulis Algemeen Handelsblad voor Nederlandsch-Indie edisi 14 Maret 1929 yang turut mengutip koran Java Bode dengan tajuk; Dr. Ratulangie Contra Manoppo. Dalam pemberitaan tersebut dilaporan media bahwa Jaksa Penuntut Umum telah menginterogasi seorang jurnalis bernama Johan Manoppo sehubungan dengan laporan yang dilayangkan anggota Dewan Rakyat yakni Dr. Ratulangi ke pemerintah mengadukan Johan Manoppo atas tuduhan pencemaran nama baik.

Pencemaran nama baik yang dilaporkan Samratulangi rupanya dipicu oleh tulisan Johan Manoppo lewat surat terbukanya yang dimuat Bintang Timoer pada tanggal 22 Februari dimana Johan Manoppo menyebut Dr. Sam Ratulangi tak dapat dipercaya dan menyalahkan atas ketidakmampuannya.

Menurut Ratulangi, sebagaimana laporan yang turut diturunkan media Batavia Handesblad, apa yang ditulis Johan Manoppo atas dirinya amat bias dan tendensius.

Beberapa waktu selanjutnya, diperoleh kabar melalui pemberitaan surat kabar De Indische Courant edisi 4 September 1929 yang memberitakan bahwa Johan Manoppo telah diberhentikan sebagai redaktur di Bintang Timoer.

Dalam pemberitaan De Locomotief edisi 25 Februari 1928, selain sebagai Pemimpin Redaksi Bintang Timoer, Johan Manoppo juga diketahui terpilih sebagai Ketua Partai Sosial Demokrat Hindia cabang Batavia sedangkan Wakil Ketua dan Sekretarisnya adalah Tuan Hagen dan Baretta.

Menarik memang disimak bagaimana seorang Johan Manoppo di masa itu telah berkiprah dalam dunia jurnalistik di Surabaya dan Batavia (Jakarta saat ini) dan pernah menduduki jabatan sebagai Pimpinan Redaksi Matahari Indonesia, Redaktur di Bintang Timoer dan turut menjadi Korenspondensi di Batavia sebuah surat kabar terbitan Kotamobagu bernama Ra’jat Bolaang Mongondow pimpinan Anton Cornelius Manoppo yang tak lain adalah seorang pangeran kerajaan tersebab dia adalah putra Raja Bolaang Mongondow, Datu Cornelius Manoppo.

Sayang penelusuran yang dilakukan penulis belum menemukan seperti apa tampilan koran Ra’jat Bolaang Mongondow yang dapat menjadi inspirasi bagi insan pers di Bolaang Mongondow.

Di tahun 1954 ketika Kerajaan Bolaang Mongondow bergabung dengan NKRI, Anton Cornelius Manoppo menjabat sebagai Bupati Kepala Daerah Tingkat II Kabupaten Bolaang Mongondow. Tak diketahui lagi kapan edisi terakhir Ra’jat Bolaang Mongondow terbit. Adakah pembaca punya copian atau dokumennya?  

Penulis: Uwin Mokodongan (Monibi Institute)
 

 

Komentar