KOTAMOBAGU—Pagelaran teater ‘Pingkan Matindas’ Cahaya Bidadari Minahasa, karya Achi Breyvu Talanggai yang digelar di gedung ex DPRD Sulawesi Utara (Sulut) Koni Sario, Manado, Sabtu (30/10) kemarin, menuai kecaman dari masyarakat Bolaang Mongondow Raya (BMR).
Pentas seni yang disiarkan live streaming melalui akun facebook Kawanua TV Manado itu, dinilai telah melecehkan harga diri dan kehormatan etnis BMR.
Pasalnya, teatrikal yang berdurasi kurang lebih lima jam itu, turut menampilkan sosok raja yang disebut sebagai Raja Bolaang Mongondow. Leluhur Bolaang Mongondow itu, dalam cerita yang ditayangkan ingin merebut Pingkan dari Matindas. Tapi raja Bolaang Mongondow itu diperintahkan oleh Pingkan untuk dibunuh oleh prajuritnya sendiri. Bahkan kepalanya dipenggal dan dipertontonkan.
Tak hanya itu, dalam pentas tersebut juga sosok raja Bolaang Mongondow ditampilkan layaknya orang yang memiliki “nafsu seks” yang berlebihan.
“Ini sangat menyinggung perasaan kami sebagai orang Bolaang Mongondow. Leluhur kami dilecehkan dan dihina. Ini tidak bisa kami biarkan karena sudah mencoreng kehormatan dan harga diri kami orang Bolaang Mongondow. Ini rasis. Kami akan melaporkan masalah ini secepatnya ke pihak penegak hukum,” kata ketua umum Laskar Bogani Indonesia (LBI), Syamsuri Manoppo, Minggu (1/11).
Produksi dari Institut Seni Budaya Independen Manado (ISBIMA) yang dipimpin oleh Achi Breyvi Talanggai, dinilai juga tak hanya menyinggung perasaan masyarakat Bolaang Mongondow Raya. Akan tetapi sudah mengandung unsur perlakuan tidak baik pada satu kelompok masyarakat tertentu.
“Dari seni mungkin menurut mereka itu wajar. Akan tetapi, bila sudah bersinggungan dengan adat dan budaya, lalu kemudian dibuat seperti melecehkan kebudayaan yang lainnya, pasti dampaknya sangat besar. Dan pasti akan ke rana hukum,” tegas salah satu tokoh masyarakat Bolaang Mongondow Raya Drs Hi Jainuddin Damopolii yang juga mantan Wakil Wali Kota Kotamobagu itu.
Tokoh pemuda BMR, Patra Mokoginta juga menyebut drama teatrikal ‘Pingkan Matindas’ cahaya Minahasa sebagai panggung rasis.
“Ini penghinaan etnis berbalut seni. Rasis dalam teatrikal ini dapat dilihat dalam adegan prajurit Bogani memenggal kepala seseorang yang dinamai Loloda Mokoagow. Kebebasan berekspresi tidak boleh mencederai dan menghinakan identitas suatu suku,” kata Mokoginta.
Lanjutnya, semua yang terlibat dalam pentas tersebut harus bertanggungjawab. “Panitia, sutradara dan sponsor pentas rasis ini harus bertanggungjawab secara hukum. Selain itu saya juga meminta pemerintah provinsi agar tidak memfasilitasi segala hal yang berbau rasis di tanah Sulawesi Utara,” tegasnya.
Sementara itu melalui akun Facebook Achi Breyvi Talanggai mengatakan, meminta maaf jika ada yang merasa terlukai dengan adanya pentas seni yang ditampilkan tersebut.
“Jika sekiranya tujuan berkesenian untuk menghidupkan gairah positif anak muda dalam berkarya di tengah badai C19 telah dianggap “melukai hati saudara saya” yang barangkali tidak melihat dekat maksud pementasan yang kami tampilkan, lalu mulai menimbang dan mengklaim peristiwa kesenian yang kami jalankan sebagai sebuah tindakan “Rasis” saya rasa saudara saudara melihat dari perspektif berbeda. Saya hormati pandangan tersebut, dengan kerendahan hati, bolehlah kita bersua, berjumpa dan berdiskusi soal pementasan kami. Terlepas dari riak yang muncul, sebagai sutradara anak kemarin sore dan kelas “teri” ini, apalah daya saya selain meMINTA MAAF bila ada yang merasa terlukai, sabagai saudara, tidak terfikirkan sedikitpun bagi saya ini akan mendapat respon demikian. Tak ada niat sekecilpun melukai saudara saudara, selain murni membuat karya. Ketimbang bias di media sosial, saudara saudaraku bolehlah kita duduk minum kopi membahas ini sebagai saudara. Karena yang kami tampilkan adalah sebuah karya alih wahana, tak ubahnya karya tersebut bila difilmkan, dll. Jadi ketimbang diburu dan diarahkan ke rana politik sara, mumpung ini tahun politik, saya nanti mengundang saudara untuk duduk bersama. Maafkan bila ada yg keberatan yah. Salam,”.
(Red)
Komentar