Di tengah kelangkaan literatur sejarah yang mengangkat narasi lokal secara mendalam dan bernas, kehadiran buku Mukadimah Celebes Utara karya Patra Mokoginta menjadi tonggak penting dalam upaya merekonstruksi historiografi Indonesia yang selama ini terlalu Jawa-sentris.
Buku setebal 653 halaman ini, yang mulai digarap sejak tahun 2020, adalah jawaban intelektual atas banyaknya pertanyaan sejarah lokal yang selama ini dibiarkan menggantung tanpa kejelasan.
Patra tidak hanya menuliskan sejarah, ia menegaskan kembali posisi strategis Sulawesi Utara dan Maluku Utara dalam peta politik dan kebudayaan nusantara.
Dengan membentangkan narasi antara abad ke-14 hingga abad ke-17, buku ini menjelaskan secara meyakinkan bahwa sejarah kerajaan Bolaang, Manado, dan Suwawa tidaklah terisolasi. Mereka justru merupakan simpul penting yang berelasi erat dengan Kesultanan Ternate, Bacan-Makeang, bahkan dengan Makassar.
Laut yang memisahkan Celebes Utara dan Maluku Utara dalam buku ini tidak digambarkan sebagai penghalang, melainkan jembatan maritim yang menghubungkan ekonomi, kebudayaan, dan kekuasaan.
“Kita terlalu lama memahami laut sebagai pemisah antar pulau, padahal justru lautlah yang menyatukan Indonesia menjadi satu bangsa,” ujar sejarawan maritim Indonesia, Prof. Dr. Adrian B. Lapian. Pandangan ini bergema kuat dalam narasi Mukadimah Celebes Utara.
Patra memulai kisahnya dari titik temu kekuatan politik Maluku Kuno—seperti Bacan, Makeang, dan Loloda—dengan kerajaan-kerajaan di pesisir utara Sulawesi, terutama Bolango, Manado, dan Bolaang.
Di sinilah sejarah menjadi hidup: bukan sekadar kumpulan tanggal dan nama, melainkan kisah migrasi, akulturasi, dan transformasi sosial yang menjadikan Bolango sebagai Bacan-Makeang yang diperbarui di tanah rantau.
Salah satu bagian paling menarik dari buku ini adalah deskripsi tentang interaksi awal antara Portugis dan para penguasa Celebes Utara. Pembaptisan Raja Manado oleh Antonio Galvao pada tahun 1538, disusul oleh pewarisnya pada tahun 1563 oleh Diogo Magalhaes, menjadi penanda awal kristenisasi di wilayah tersebut.
Namun, sejarah tidak pernah berjalan lurus. Di sela dua pembaptisan itu, cucu raja justru di-Islamkan oleh Kaicil Guzarate, utusan Kesultanan Ternate.
Fakta ini menunjukkan bahwa kerajaan-kerajaan lokal tidak sekadar menjadi objek kekuasaan luar, melainkan memiliki agensinya sendiri dalam menentukan jalan spiritual dan politik mereka.
Keputusan Raja Bolaang untuk menerima Islam dari Ternate bukan hanya langkah keagamaan, tetapi juga manuver diplomatik yang menyelamatkan wilayahnya dari ekspedisi militer Sultan Baabullah. Ini menunjukkan bahwa kekuasaan lokal memainkan strategi bertahan yang kompleks dalam menghadapi tekanan dari dua kekuatan besar: Portugis-Katolik dan Islam-Ternate.
Sejarawan Anthony Reid pernah menulis, “History of the outer islands of Indonesia has to be written in maritime terms, for that is how they have always lived.” (Southeast Asia in the Age of Commerce)/Sejarah pulau-pulau terluar Indonesia harus ditulis dalam konteks maritim, karena memang begitulah kehidupan mereka selama ini.” (Asia Tenggara di Era Perdagangan).
Mukadimah Celebes Utara adalah perwujudan dari seruan ini: sejarah Celebes Utara dibaca dari perspektif maritim, bukan terestrial.
Buku ini tidak hanya menjelaskan sejarah lokal, tetapi juga memberi kerangka untuk membaca ulang sejarah Indonesia sebagai sejarah pelabuhan, kapal, dan laut.
Seharusnya kita menolak dikotomi pusat dan pinggiran dalam penulisan sejarah nasional. Buku ini menyatakan dengan tegas bahwa sejarah Bolaang bukanlah sejarah lokal dalam arti sempit, tetapi bagian integral dari narasi Indonesia.
Hal ini sangat penting di tengah dominasi narasi sejarah yang berpusat pada Majapahit, Mataram, dan kerajaan-kerajaan besar lainnya di Jawa.
Tulisan ini mengajak pembaca untuk melihat kembali cara kita memahami sejarah nasional. Mengapa kerajaan seperti Bolaang yang pernah memainkan peran penting dalam hubungan diplomatik dengan Ternate dan Makassar tidak mendapatkan tempat dalam kurikulum sejarah nasional? Mengapa kisah tentang interaksi antar kekuasaan di utara nusantara jarang terdengar, padahal justru di sanalah kita bisa melihat jejak awal persilangan ideologi, agama, dan strategi geopolitik yang rumit dan canggih?
Dengan pendekatan yang komprehensif dan didukung riset arsip yang telaten, Patra Mokoginta telah menghadirkan sebuah karya yang bukan saja penting secara akademik, tetapi juga politis dalam pengertian membongkar hegemoni narasi sejarah nasional.
Mukadimah Celebes Utara adalah pintu masuk untuk membaca ulang sejarah bangsa ini dari tepi lautnya—dari tempat di mana gelombang budaya, kekuasaan, dan perlawanan bertemu dan saling membentuk.
Sejarah Indonesia tidak dibentuk hanya dari satu pusat, tetapi dari ribuan pelabuhan, pesisir, dan kerajaan yang pernah berdiri megah. Dan Patra Mokoginta, melalui bukunya ini, telah menegaskan bahwa Celebes Utara adalah salah satu simpul penting dalam jalinan sejarah besar itu.***
Penulis: Nevri Setiawan
Komentar