PEMILU sudah di depan mata, pemilihan demi pemilihan dan pengangkatan pejabatan yang mengusung dan mensukseskan pemilu 2024 ini. Seleksi demi seleksi terus dilakukan guna mencari yang terbaik dan berkualitas serta berkompetensi terhadap suatu kedudukan itu.
Masyarakat sekarang ini disibukkan dengan berbagai aktivitas menghadapi pemilu yang akan datang ini semua berkompetisi dalam wadah dan tempat yang diinginkannya. Namun berkaca dari pemilu sebelumnya yaitu pemilu tahun 2017.
Pemerintah harus lebih memperhatikan pemilu 2019 yang kegiatan kepemiluan ini dilakukan sampai malam hari, dan ada yang sampai tengah malam, maka setelah di Refleksi Pemilu 2019 oleh Ketua Komisi Pemilhan Umum (KPU) Arief Budiman, bahwa sebanyak 894 Petugas KPPS dari 5.175 petugas yang mengalamai sakit. Dan terjadi banyak kematian oleh pelaksana kegiatan pemilu di PPS. Namun dilihat itu takdir, namun setelah disimpulkan kebnyakan anggota penyelenggara pemilu meninggal dunia.
Mahar politik juga dikenal dengan istilah ‘uang perahu’, yaitu seseorang membayar uang agar mendapatkan kendaraan di partai politik agar lolos.
Mahar politik adalah salah satu aspek yang membuat ongkos politik di Indonesia menjadi mahal, selain untuk jual beli suara. Nilai transaksi di bawah tangan ini sangat fantastis, mencapai miliaran rupiah.
Semakin besar uang yang dikeluarkan, maka semakin besar peluang kandidat itu untuk diusung partai.
“Para kontestan mengeluarkan antara Rp 5-15 miliar per orang untuk membiayai mahar politik,” kata Amir.
“Mahar politik juga dikenal dengan istilah ‘uang perahu’, yaitu seseorang membayar uang agar mendapatkan kendaraan di partai politik agar dicalonkan. Mahar diberikan untuk mendapat ‘stempel’ dan restu dari parpol. Mereka berargumen, ini perlu untuk menggerakkan mesin politik,” kata Amir Arief, Direktur Sosialisasi dan Kampanye Antikorupsi KPK.
Sudah kita pahami bersama bahwa politik uang adalah induk dari korupsi di sebuah negeri. Salah satu bentuk politik uang yang banyak terjadi adalah pemberian mahar politik kepada partai. Praktik ini akan merusak demokrasi, sekaligus menghasilkan pemimpin dan wakil rakyat yang tidak kompeten dan korup.
Termasuk perilaku sebagian masyarakat yang cenderung pragmatis setiap suksesi Pemilu Legislatif berlangsung, karena kurangnya pendidikan politik. Uang masih menjadi alasan memilih calon legislatif (Caleg) daripada program kerja dan gagasan perubahan ditawarkan, tidak peduli rekam jejak, kapasitas dan pengalaman Caleg bersangkutan.
Tidak selamanya uang memenangkan suatu urusan masih banyak orang-orang muda yang berkaya dan beraktifitas yang tidak mengandalkan uang. Beberapa diantaranya merupakan politisi muda, mantan aktivis NGO yang kapasitas tidak diragukan lagi, karena telah malang melintang melakukan kerja – kerja pemberdayaan sosial kemasyarakatan. Dengan kerja politik yang sungguh – sungguh, mampu menang dan terpilih sebagai anggota DPRD NTB, tanpa politik uang.
Kemenangan diraih sekaligus meruntuhkan keyakinan banyak politisi yang memandang politik tanpa uang sebagai ‘mitos’. Bahwa memenangkan hati rakyat bisa dilakukan melalui kerja politik, didukung tim pemenangan yang solid, turun langsung, meyakinkan masyarakat melalui program kerja, termasuk pendidikan politik, bagaimana menjadi pemilih cerdas serta melawan politik uang.
Tampilnya sejumlah anak muda NTB progresif dengan latar belakang aktivis NGO sebagai pemenang pada Pemilu legislatif 2019 dan bertumbangannya Caleg petahana membuktikan, bahwa modal uang besar tidak selalu memberikan kemenangan tanpa disertai kerja dan pendidikan politik kepada masyarakat.
Mari kita hilangkan budaya money potilic dan mari kita bangun prestasi dan intelektual serta akhlakul karimah demi memenangkan suatu tumbuhkan kepercayaan masyarakat. Kegiatan itu dengan ilmu dengan kreatifitas dan skil dan memang kita layat untuk disitu dengan perjuangan dan karya.***
Penulis saat ini tengah menyelesaikan studi S3 Jurusan Hukum Islam di UIN Sumatera Utara.
Komentar