Undang-undang di Masa Kerajaan Bolaang Mongondow

BolmongNews.com, Sejarah— Bolaang Mongondow pada masa kerajaan sudah memiliki Undang- undang (wetboek) yang berlaku sejak 14 September 1849.

Menurut pemerhati Budaya Mongondow Sumitro Tegela, dari hasil penelusuran (literasi) yang dikumpulkan, setidaknya Kerajaan Bolmong memiliki Undang-undang yang terdiri dari 63 pasal.
Undang-undang tersebut mengatur tentang:

–  Perkawinan pasal 1-6
–  Mengatur tentang kewajiban,pekerjaan,urusan rakyat pasal 7
–  Denda- denda, kasus penculikan dan anak di luar nikah.pasal 8-14
– Mengatur tentang hak waris keluarga pasal 15
–  Kewenangan kerajaan pasal 16 – 22
–  Sangsi dan denda tentang perbuatan asusila. pasal 23 – 40
–  Mengatur tentang Pinjaman meminjam,dan pencurian, pasal 41 – 43
– Pengaturan tentang pakaian, pasal 44 – 45
– Pengaturan tentang pekerja, pasal 46
– Pengaturan tentang gadai , pasal 47
– Sangsi dan fitnah, pasal 48
– Aturan tentang hak dan kewajiban pegawai kerajaan, pasal 49
– Ketaatan dan sangsi untuk menjalankan undang undang, pasal 50
– Kewenangan kerajaan, pasal 51
– Pengaturan tentang kebun pertanian dan ternak pasal, 52
– Pasal 53 tentang perkawinan
– Pasal 54 tentang anak
– Pasal 55 ancaman dan hukuman bagi yang tidak menjalankan undang undang
– Pasal 56 – 58 tentang zinah dan prostitusi
– Pasal 59 – 60 tentang fitnah, mencampur racun dan perdukunan
– Pasal 61 mengatur tentang pesta dan kedukaan
– Pasal 62 tentang perceraian
– Pasal 63 mengatur tentang denda dan larangan bagi pernikahan bagi pasangan yang masih keluarga.

Undang- undang ini di tutup dan ditanda tangani di Bolaang 02 Oktober 1856 oleh Paduka Raja Toea Jacobus manoppo. Kemudian Undang-undang ini di lanjutkan oleh Raja Adrianus Cornelis Manoppo dan Raja Johanes Manuel Manoppo.

Posisi kerajaan Belanda sebagai penasehat di dalam kerajaan dengan dengan posisi penasehat Raja di sebut Kontrolir mulai di gunakan nanti tahun 1905 saat dilantiknya Raja D.C Manoppo.

Saat itu, Struktur Kerajaan di masa Datoe Cornelis Manoppo 03 Oktober 1905 terdiri dari: Raja, Djogugu, President, Kapiten Laut,
Penghulu, Major, Kadatoe , Sangadi dan Porobis.

Wilayah Pasi, Lolayan, Bolaang dan Kotabunan di atur oleh satu penghulu (kepala 1), Satu major Kadatoe (kepala 2), Sangadi – sangadi (kepala desa 2).

Di jaman Datoe Loloda Mokoagow abad ke 17 struktur jabatan di setiap wilayah masih mengenal istilah Bogani. Namun setelah di gantikan oleh Raja Jacobus Manoppo di abad ke 18, struktur jabatan Bogani dihilangkan dan di rubah menjadi Djogugu, President Raja dan Kapiten laut. Ketigannya menjadi pembantu pembantu terdekat dari Raja. Major Cadato adalah setingkat Panglima angkatan perang.

Setiap wilayah di isi oleh Djogugu, Kapiten laut, Hoekoem Major
(Jika hari ini statusnya setingkat Gubernur,Wakil dan Sekprov memberi laporan langsung kepada Raja setingkat presiden.)

Hoekoem Major jabatan setingkat Bupati, Hoekoem jabatan setingkat Camat, Sangadi dan Kimalaha setingkat kepala desa kecil. Seorang Kapita Raja yang memimpin desa desa yang di tunjuk langsung oleh pihak kerajaan (kohongian) (hari ini seperti jabatan lurah yang ditunjuk langsung oleh walikota).

Seorang Sangadi atau kimalaha dipilih oleh para pengemuka rakyat (simpal) di dalam desa. Sistem kepangkatan di dalam struktur Kerajaan Bolaang Mongondow dimuat dalam Buku Belanda Tijdschr.Vor.T.L. dan V.DI LXXI 1931 Vol.613.

Maka sebenarnya dalam sejarah kadatuan Bolaang mongondow yang dikenal : Mododatu, Kohongian, Yobuat, Simpal, Nonow dan Tahig adalah golongan pegawai yang di persiapkan dalam mengisi jabatan jabatan struktural kerajaan (hari ini ibarat PNS Gol.1.2 dan 3).

Sistem ini di zaman Hindia Belanda akhirnya berubah dan di pahami menjadi tingkatan Kasta yang mengikis nilai nilai perjanjian Paloko bo Kinalang yang sangat demokratis. Berganti rezim yang di pengaruhi kekuatan kolonial yang sangat feodalis.

Maka wajar Kerajaan Bolaang yang pernah tersohor di abad ke 16 dan 17 kehilangan hegemoninya akibat dari tergerusnya nilai nilai persatuan dan kesatuan (motobatu bo molintak kon Totabuan).

Sumber: Sumitro Tegela (Pemerhati Sejarah dan Budaya Bolmong)

Komentar