Kota Tanpa Memori

Oleh: Murdiono Prasetio A. Mokoginta

Hari itu saya kedatangan sahabat lama dari provinsi tetangga. Ia datang untuk belajar sejarah dan melihat apa yang tersisa dari peradaban yang kita punya.

Mungkin saja ia sering membaca catatan yang kita tulis di berbagai media tentang kejayaan Bolaang Mongondow Raya (BMR) pada abad-abad yang lampau, kemunduran akibat perpecahan dan kedatangan bangsa Barat yang menandai kolonialisme, juga perjuangan untuk bangkit dari kehancuran pasca peristiwa pergolakan Permesta (1957-1961).

Pada percakapan itu kami sepakat bahwa sejarah pada tiap kondisi selalu relevan dalam ruang dan waktu. Ia menjadi kompas untuk menuntun langkah manusia agar bertindak bijaksana.

Pada saat tertentu, sejarah juga memberi visi untuk perubahan sehingga amat penting untuk dijadikan landasan pembangunan oleh masyarakat yang sedang berada pada fase berkembang menggapai kemajuan.

Sejarah berhubungan dengan tindakan manusia di masa lampau. Manusia menciptakan sejarah, menulisnya, dan menghancurkan peradaban dengan tangannya sendiri. Manusia lalu meninggalkan jejak yang kita sebut sebagai ‘penanda’.

Penanda ini pada suatu kelak akan menjadi saksi bisu untuk generasi masa mendatang. Ia bertahan dari ganasnya alam, melewati lorong panjang perjalanan masa lampau ke masa kini.

Penanda di atas dalam ilmu sejarah berkaitan dengan sumber kebendaan atau material (material sources), yaitu sumber sejarah berupa benda yang dapat dilihat secara fisik. Sumber ini dapat dibedakan menjadi sumber tertulis (record), seperti dokumen, arsip, surat, catatan harian, foto, dan file. Sumber fisik berikutnya adalah berupa benda (remains) berupa artefak seperti keramik, alat rumah tangga, senjata, alat pertanian atau berburu, lukisan, dan perhiasan (M. Dien Madjid & Johan Wahyudhi, 2014: 219-220).

Menyadari akan arti penting penanda sejarah, sahabat saya ingin sekali menuju suatu tempat di Kotamobagu atau wilayah lain di sekitarnya yang mengoleksi tentang sumber kebendaan atau material dari jejak-jejak sejarah kita. Ia ingin sekali menuju museum di kota ini.

Sayangnya hal itu saya katakan, Tak mungkin. Kita tidak akan menemukan museum itu di sudut manapun dalam kota karena tempat itu memang tidak ada!”

Kota Kotamobagu nampaknya memang hidup dan berkembang. Namun tidak ada yang menyadari bahwa peradabannya berjalan lambat. Kota ini sedang sakit karena masyarakatnya perlahan mulai mengalami amnesia sejarah.

Mereka lahir dan hidup tanpa pernah melihat di mana jejak-jejak peradabannya. Kota ini telah lama ‘hidup tanpa memori’ dan perlu ada kesadaran kita semua untuk menyadarkan dan mengembalikan lagi ingatan itu.

Tanpa museum kita tidak memiliki jejak masa lampau. Bambang Sumadio (1997: 21) dalam Bunga Rampai Permuseuman yang menulis bahwa diantara fungsi museum adalah pengawal warisan budaya. Dalam arti pengawalan terkandung makna bahwa warisan budaya itu juga ditampilkan kepada masyarakat.

Dalam hubungan ini tidak berlebihan jika museum juga disebut sebagai cagar budaya jika ia melestarikan warisan budaya dan menampilkannya kepada masyarakat.

Museum sangat penting untuk menyimpan semua benda-benada peradaban kita. Tempat ini sangat penting untuk mengoleksi jejak aktivitas masa lalu manusia sebagaimana sebuah memori penyimpanan data.

Di sisi lain, museum adalah lembaga permanen yang tidak mencari keuntungan, murni diabdikan untuk kepentingan masyarakat dan perkembangannya, terbuka untuk umum, yang mengumpulkan, melestarikan, meneliti, mengkomunikasikan dan memamerkan bukti-bukti bendawi manusia dan lingkungannya untuk tujuan studi, penelitian dan kesenangan (International Council of Museums, 2006).

Di wilayah BMR, saat ini peran museum sangat dibutuhkan untuk kepentingan hal-hal yang telah dijelaskan di atas. Tiap tahun makin banyak para pengunjung dari luar baik nasional hingga mancanegara yang datang berkunjung ke wilayah kita.

Harusnya dari merekalah, kebudayaan dan peradaban yang kita punya akan diceritakan hingga mereka pulang ke tempat asal mereka. Bila kita memiliki museum untuk mengoleksi benda-benda yang bernilai sejarah dan kebudayaan maka akan lebih memudahkan untuk mensosialisasikan jejak-jejak peradaban kita kepada mereka.

Dengan makin antusiasnya penelitian dan pengkajian sejarah di BMR dewasa ini, yang didukung juga dengan berbagai penemuan benda-benda purbakala dan bernilai sejarah, kebutuhan akan perlu adanya museum terasa kian mendesak. Semua penemuan-penemuan ini bila tidak dijaga dengan baik maka akan mudah hancur atau rusak. Berbeda bila dikoleksi dan disimpan langsung oleh museum, itu tentu dirasa lebih terjamin dan aman.

Di antara tempat yang harusnya wajib memiliki museum adalah Kota Kotamobagu. Sebagai pusat sosial dan kebudayaan di kawasan BMR, kota ini harusnya wajib memiliki atau menyimpanan semua koleksi-koleksi berharga dari peninggalan-peninggalan masa lampau.

Dengan adanya museum pula, visi Kota Kotamobagu sebagai pusat kebudayaan di BMR akan terwujud dibuktikan dengan tindakan nyata bukan hanya menjadi wacana.

Para pegiat sejarah dan kebudayaan hingga kini terus mendorong pemerintah agar bisa mewujudkan harapan itu yakni mengadakan museum di Kotamobagu untuk menjadi tempat dipusatkanya berbagai macam kegiatan yang bertema sejarah dan kebudayaan.

Keberadaan museum di Kotamobagu juga kelak akan menjadi sarana edukasi untuk para pelajar di sana agar lebih dekat dengan kebudayaan dan membuat mereka lebih sadar akan sejarah peradabannya.

Beberapa waktu lalu pemerintah sempat mengeluarkan wacana pembangunan museum BMR di Kotamobagu. Namun terwujudnya wacana itu perlu terus didorong oleh semua pihak agar bisa secepatnya terlaksana. Kerja-kerja peradaban adalah gerakan kolektif karena lahir dari buah kesadaran akan pentingnya mempelajari masa lampau untuk membawa perubahan yang baik bagi kita semua di masa mendatang.

Pada akhirnya saya menyampaikan permohonan maaf kepada sahabat saya karena belum bisa membawanya melihat bekas-bekas ‘penanda’ eksistensi masa lalu masyarakat BMR karena ketiadaan museum untuk mengoleksinya. Semoga bila sehat dan panjang umur, di waktu mendatang harapan itu akan segera terwujud. Karena bila tidak ada museum maka selamanya kota ini akan terus hidup tanpa ‘ingatan’.

*Penulis Adalah Ketua Lembaga Riset dan Kajian Pusat Studi Sejarah Bolaang Mogondow Raya (PS2BMR).

Komentar