Indonesia Maju? Pendidikan di Bolmong Belum

Oleh: Viko Karinda.

PELUH membasahi kameja batik milik Rentje Winokan. Wajahnya letih. Gurat – gurat ketuaan memenuhi bagian pipi dekat mulutnya.  Kepala Sekolah SMP Satap Negeri Pomoman ini baru saja keliling kampung untuk berkunjung ke rumah siswanya. Tujuan kunjungan itu adalah untuk membujuk orang tua agar tetap menyekolahkan anak mereka.

Anak putus sekolah adalah problem utama desa tersebut. Keadaan terpencil membuat tingkat putus sekolah tinggi. Letak desa Pomoman, Kecamatan Poigar, Kabupaten Bolmong memang terpencil. Jaraknya 13 meter dari jalan Trans Sulawesi di Poigar.

Mencapainya harus melalui sembilan sungai. Jalan rusak parah. Banyak tanjakan dan turunan. Jurang di kiri kanan.

Angkutan biasa tak bisa lewat. Harus menggunakan mobil jeep atau sering disebut mobil rambo. “Saya pun keluar masuk rumah, minta agar anak – anak kembali sekolah, bahkan saya jemput ke sekolah, saya harus jalani meskipun menguras fisik dan emosi, yang penting mereka bisa sekolah” kata Rentje beberapa waktu lalu.

Rentje mengaku tak semua orang tua mudah dikasih mengerti. Mereka beralasan lebih baik anak mereka turun ke sawah daripada sekolah. Tapi ia tak mudah menyerah. “Setiap hari saya kunjungi sampai mereka bosan melihat saya dan mengizinkan sekolah,” kata dia.

Saat ada orang tua yang mau dibujuk, ia akan merasa senang luar biasa. “Kepuasannya lebih dari uang,” ujar dia.

Itu merupakan potret sebagian kecil yang terjadi di dunia pendidikan Bolmong. Jelas berbanding terbalik dengan tema ‘Indonesia Maju’ pada peringatan Hari Ulang Tahun (HUT) Kemerdekaan Republik Indonesia (RI) ke – 75. Kekurangan guru, fasilitas sekolah yang tidak lengkap, serta anak putus sekolah masih terjadi di wilayah pelosok Bolmong.

Selain di Desa Pomoman kondisi yang sama pula terjadi di Desa Kolingangaan, Kecamatan Bilalang. Kesana harus melalui jalan “empat musim” yakni, berbatu, becek, licin dan berlumpur dengan tanjakan di mana-mana. Medan untuk menempuh salah satu sekolah disana cukup menakutkan. Tanjakan yang ada benar-benar ekstrem.

Disana ada sebuah sekolah dasar (SD). Pemandangan yang muncul membuat dada sesak dan rasa mendadak melankolis.

Sekolah tersebut berdinding kayu. Kelasnya hanya tiga. Penghuninya 28 siswa. Dindingnya yang kusam seakan bercerita tentang kisah sedih para siswa di sana. Mereka yang lulus terpaksa putus sekolah.

Tak ada SMP di sana. Untuk bisa bersekolah di SMP, harus menempuh jalan tadi. Berarti ke-28 siswa tersebut tengah berjudi dengan nasib. Setamat SD apakah lanjut atau putus. Jika lanjut susah, putus berarti mudah.

Di Kecamatan Dumoga Timur. Di Desa Kanaan dusun Gunung Sari, terdapat satu SD yang hanya memiliki 3 kelas tanpa ruang guru dan hanya memiliki 13 murid.  Sekolah tersebut merupakan sekolah persiapan setelah gedung sebelumnya rusak akibat longsor. “Ini hibah dari warga, kemudian Pemda Bolmong bangun kembali di lahan baru ini untuk sementara,” ujar Kepala Sekolah (Kepsek) SD Gunung Sari, Lusje Nontje Sondakh.

Lusje mengatakan, rata-rata murid di SD tersebut setelah lulus tindak melanjutkan jenjang pendidikan selanjutnya. “Mereka setelah lulus SD, tidak lanjut sekolah lagi, malah justru bertani membantu orang tua,” kata dia.

SDN Satu Desa Ikarad masih di kecamatan yang sama memiliki persoalan lain. Di sekolah yang memiliki 15 siswa itu memiliki kekurangan, yakni plafon atap yang mulai rusak, serta toilet yang tidak bisa digunakan. Kepsek SDN Satu Ikarad , Marni Longdong mengatakan, biaya bantuan operasional sekolah (BOS) yang diterima tidak mencukupi untuk perbaikan sekolah. “Tahun ini dana BOS kita hanya Rp.12 juta, sementara yang akan kita bangun lebih dari itu,” ujar dia.

Dia mengaku, besaran dana BOS yang diterima sekolah hanya mampu menutupi belanja buku murid, serta pengadaan peralatan sekolah lain. “Kita berharap dana BOS naik agar kekurangan fasilitas yang ada bisa kita penuhi,” tutur Marni.

Tak jauh dari sekolah tersebut, terdapat juga SDN Dua Ikarad, jumlah muridnya lumayan banyak, namun keluhan guru-guru hanya soal medan jalan yang mereka tempuh untuk menuju sekolah. Sebagian besar guru-guru di sekolah tersebut berasal dari Desa Kanaan, yang jarak tempuh ke Desa Ikarad mencapai 3 kilometer. “Tidak jauh kalau jalan bagus, tapi kalau hujan kita was-was karena jalan berlumpur,” ucap salah satu guru di sekolah tersebut.

Di Desa Mengkang Kecamatan Lolayan, terdapat sekolah yang tidak difungsikan yaitu sekolah satu atap. Imbasnya, siswa yang telah lulus SD tidak banyak yang melanjutkan ke jenjang SMP. Persoalan lain adalah minimnya fasilitas belajar milik sekolah berupa bangku dan meja belajar di SDN Mengkang.

Kepala Sekolah SDN Mengkang Anua Kandoli mengatakan, saat ini jumlah siswa di sekolahnya berjumlah 30 orang. Ia mengaku selama proses belajar mengajar alami kendala karena kekurangan. “Dana BOS kita kecil jadi tidak mampu memenuhi kebutuhan fasilitas sekolah, sejuh ini menutupi kekurangan dengan bantuan orang tua murid,”ucap Kandoli.

Sementara itu Ketua BPD Desa Mengkang, Satipidin Mokolintad mengatakan, di desanya terdapat sekolah satu atap yang difungsikan untuk siswa lanjut jenjang pendidikan dari SD ke SMP. “Namun sudah delapan tahun terakhir sekolah tersebut sudah tidak aktif lagi karena kurangnya murid. Sehingga sebagian para siswa yang telah lulus berlanjut sekolah ke Kota Kotamobagu,” ungkap dia.

Satipidin mengaku, jika beruntung orang tua murid mampu menyekolahkan anaknya ke Kota Kotamobagu. Sebagian orang yang tidak mampu justru pasrah tidak melanjutkan pendidikan anaknya. “Disini ada beberapa yang hanya lulus SD, karena faktor ekonomi mereka meminta anaknya untuk membantu berkebun memenuhi kebutuhan sehari-hari,” ungkap Satipidin.

Pendidikan di Bolmong memang belum maju seperti daerah lain. Hal itu terbukti dengan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Bolmong yang masih tergolong dibawah. Melansir data Badan Pusat Statistik (BPS) Tahun 2016 Kabupaten Bolaang Mongondow memiliki IPM terendah yang menempati urutan 12 disusul 4 Kabupaten lain yang terendah dari 16 Kabupaten/ Kota lain di Sulut.

Kepala Disdik Bolmong Renty Mokoginta mengaku telah menginventarisir semua persoalan sekolah yang ada di pelosok sejak Juli lalu. “Sudah menjadi catatan kami, ketika kami turun ke sekolah-sekolah pelosok ada yang segera kita selesaikan ada pula kita tunggu proses penganggaran,” kata Renty.

Diakui Renty, wilayah terpencil juga membuat warga pesimis akan hal pendidikan. Padahal dengan pendidikan perubahan akan terjadi. “Mereka putus asah karena terisolir, mereka lebih mementingkan anak-anak mereka membantu berkebun atau menjadi petani dibanding mengemban pendidikan,” tutur dia.

Menurut Renty, anak putus sekolah, sekolah rusak, dan kekurangan guru menjadi persoalan mendasar yang harus diselesaikan di dunia pendidikan Bolmong. “Kami hakul yakin, dalam dua tahun kedepan persoalan yang akan menjadi catatan ini selesai,” tutur Renty.

Di hari Kemerdekaan RI ke 75 tahun, Renty mengaku akan memerdekakan pendidikan di Bolmong agar setara dengan daerah lain. Sesuai visi misi Bupati Bolmong Yasti Soepredjo Mokoagow. “HUT RI ke 75 menjadi tanda bangkitnya dunia pendidikan Bolmong,” ucapnya.(*)

Komentar