Catatan Perjalanan Wilken dan Schwarz di Bolaang Mongondow (Bag. 6)

Oleh.

Murdiono Prasetio A. Mokoginta

 Saat bagian ke lima ‘Catatan perjalanan Wilken dan Schwarz di Bolaang Mongondow’ terbit, banyak pembaca yang menghubungi saya lewat pesan whatsapp (WA) untuk menanggapi bagian itu sekaligus merasa penasaran dengan bagian paragraf berikut:

Seorang pangeran bertanya kepada Wilken, “Apakah tuan melihat pulau kecil di sisi selatan teluk sana?.” Yang ia maksud adalah Pulau Nanasi dan gunung di sekitar sana yang menjulang tinggi di mana puncaknya berbentuk mahkota yang terbakar. “Gunung itu adalah Gunung Boentalo” sambung pangeran itu kepada dua orang ini. Sekarang pangeran ini akan menceritakan cerita rakyat tentang tempat yang baru saja ia tunjuk. (Bag. 5)

Lanjutan catatan itu sebenarnya sudah pernah ditulis oleh kawan Wahyu Pratama Andu (Pegiat Sejarah dari PS2BMR) pada Desember 2020 lalu dan sudah terbit dibeberapa media lokal Bolaang Mongondow Raya dengan judul tulisannya “Putri Silagondo, Maindoka, dan Negeri Buntalo”. Pada Madedeelingen Van Wage Het Nederlandsche Zendelinggenootschap Th. 1867, bagian ini oleh Wilken dan Schwarz diberi judul “De Prinses Silagondo” dari hlm. 30 – 32.

Meski begitu saya merasa perlu kembali memaparkan bagian ini untuk tetap melengkapi keutuhan tulisan “Verhaal Eener Reis Naar Bolaang-Mongondou (hlm. 1-41)”. Ini agar kesinambungan tulisan tidak terpotong dan dapat tetap ditampilkan utuh. Untuk catatan bagian enam ini saya memberi sub-bab dengan judul ‘Cerita Putri Silagondo’ yang mungkin juga ada perbedaan bacaan, atau juga kesamaan dengan tulisan Wahyu Pratama Andu sebelumnya.

Cerita Putri Silagondo

Silagondo adalah nama seorang putri cantik dari Boentalo. Putri ini menikah dengan Jajubangkai putra dari keluarga Kerajaan Dumoga dan mereka pun memilih untuk tinggal di negeri Boentalo. Silagondo memelihara seekor anjing yang bernama Maindoka yang memiliki fisik yang besar dan gesit.

Anjing ini senang berburu sapi dan babi hutan untuk menyenangkan dan melayani tuannya. Bila sang putri ingin memakan sapi atau babi hutan, anjing ini akan masuk ke belantara untuk menangkap mangsanya. Maindoka pantang kembali, kecuali bila sudah menangkap hasil buruan untuk sang Putri Silagondo.

Semua orang akhirnya begitu tertarik dengan kehebatan dan kesetiaan anjing ini. Tiap orang bahkan menginginkannya tak terkecuali orang Spanyol yang datang ke negeri Boentalo untuk berdagang. Berbagai cara dan bujuk-rayu mereka lakukan pada putri Silagondo agar beliau rela menyerahkan saja anjing itu kepada orang kulit putih ini. Mereka menawarkan putri berbagai barang dagangan yang langsung mereka bawa padanya.

Karena terus dibujuk dengan berbagai cara, Silagondo akhirnya rela menjual anjing itu pada orang-orang ini. Alasannya karena faktor keamanan di mana orang-orang ini sudah mulai terkesan memaksa untuk mendapatkan Maindoka, anjing kesayangan sang putri Boentalo.

Kesepakatan jual beli terjadi dan Maidoka langsung diangkut ke kapal untuk dibawa oleh mereka. Tak berapa lama, kapal perlahan berlayar menjauh dari pantai Boentalo. Sayangnya saat kapal berada di tengah di lautan, tiba-tiba Maindoka melompat ke laut sambil menangis dan kembali pada sang putri Silagondo. Dalam pelayarannya orang-orang Spanyol tidak berhasil membawa Maindoka bersama mereka.

Setahun berlalu tiba-tiba orang Spanyol yang telah membeli Maindoka kembali lagi ke negeri Boentalo dengan misi membawa anjing ini kembali. Mereka lalu mengancam akan melancarkan perang bila Silagondo tidak menyerahkan anjing itu pada mereka.

Sang putri tidak menyerahkannya. Ia kini engan memberi anjing itu lagi pada orang-orang kulit putih. Dalam kondisi terdesak sang putri memikirkan cara dan solusi agar bisa mengatasi masalah kritis yang tengah ia hadapi. Akhirnya Silagondo mendapat ide. Ia ingin membunuh orang-orang ini dengan mengundang mereka untuk makan makanan enak yang sudah diberi racun.

Orang Spanyol datang dan mulai berpesta sambil menikmati hidangan perjamuan sang putri Boentalo. Dengan lahap orang-orang ini makan tanpa menaruh curiga bahwa apa yang di isi diperut telah dicampur racun dan siap mengambil nyawa mereka. Tak beberapa lama, pesta makan itu berubah menjadi bencana. Orang-orang yang telah memakan hidangan itu mati seketika. Mayat mereka bergelimpangan di atas tanah dan sebagian lainnya mengalami sakit parah meski tidak langsung tewas.

Beberapa orang Spanyol yang belum sempat makan mulai merasa panik dan sibuk mengurus teman-teman mereka yang sakit parah untuk diobati di kapal. Adapun yang mati mereka biarkan tewas mengenaskan begitu saja. Mereka hanya fokus pada kawan mereka yang dirasa masih memiliki peluang untuk hidup.

Sembari berlayar pulang, di atas kapal mereka mulai menembak meriam ke arah Boentalo dengan cara yang mengerikan. Negeri Boentalo dihancurkan dan Putri Silagondo dan Jajubangkai tiba-tiba menghilang dengan cara yang misterius. Tersisa di negeri itu lima keluarga yang langsung lari mengungsi ke Lombagin demi menyelamatkan diri. Di Lombagin mereka akhirnya memilih untuk tinggal menetap di sana. Adapun orang Spanyol, setelah kejadian itu tidak pernah datang berdagang lagi di negeri Boentalo.

Bekas-bekas agresi hebat di negeri Boentalo masih nampak. Wilken dan Schwarz dalam tulisannya mencatat bahwa saat mereka tiba di sana, mereka masih sempat melihat retakan batu dan bintik coklat di puncak gunung Boentalo yang oleh para pangeran dikatakan sebagai bekas peluru meriam yang ditembakan oleh orang-orang Spanyol pada masa putri Silagondo.

Di pulau Nanasi yang mengapung di bawah gunung Boentalo dipercaya bahwa setiap malam Silagondo selalu datang ke sana untuk memintal benang. Setelah mendapat cukup benang dia mendayung perahu menuju pulau kecil Pogogabola yang berada dekat pulau Tiga untuk menenun sarung.

Bolango Oeki

Negeri Oeki dibangun di dataran rendah berawa di ujung teluk Oeki. Rombongan pangeran yang turut serta bersama Wilken dan Schwarz disambut oleh sepasang kepala suku negeri itu. Mereka langsung di antar ke rumah raja di mana telah terlebih dahulu berada di sana Djogugu dan beberapa pangeran yang telah siap menyambut kedatangan mereka.

Melalui perantara Djogugu yang bisa berbahasa Belanda, Raja menyampaikan kepada Wilken dan Schwarz agar kiranya menyampaikan kepada pemerintah (residen Manado?) agar dapat membebaskan tempat tinggalnya karena raja menganggap wilayah ini masih sepenuhnya milik pemerintah.

Rumah raja didekorasi dengan berbagai jenis kain. Di tangga berdiri seorang kakek kepala dalam balutan pelaut sutra abad ke-17 dan sudah usang. Ia menggunakan helm kuningan penyok tua dan tombak berkarat di tangan. Dengan dandanan seperti ini pria ini seperti gaya tentara pembernai Jan Colonie.

Kerajaan Bolango memiliki jalan-jalan kecil di pusat pemukiman penduduknya. Di pinggiran jalan kampung ditumbuhi oleh rumput-rumput liar. Rumah-rumah mereka sangat memprihatinkan dan kumuh. “Tidak ada ketertiban dan keindahan pada pemukiman penduduk di Kerajaan ini,” kata Wilken dan Schwarz.

Populasi penduduk di pusat Kerajaan Bolango Uki di tahun 1866 diperkirakan berkisar 250 – 300 jiwa di dalam 50 hingga 60 rumah tangga. Beberapa dari mereka saat itu telah menetap di Molibagu, kota pesisir yang berada di antara Gorontalo dan Kotabunan. Penduduk mereka telah lama memeluk agama Islam. Adapun Kristen adalah agama asing bagi mereka karena dahulu mereka tinggal di pantai timur. Di sana penduduk membayar setiap tahun kepada Pemerintah ƒ250; yang mana raja dan para pembesarnya menerima sepersepuluh.

Kerajaan ini sangat miskin. Industri dan perdagangan hampir tidak ada di sana. Pabrik tenun milik penduduk tidak berkembang karena masuknya kain linen dari Eropa yang harganya jauh lebih murah. Dalam bidang pertanian ada kesamaan antara Bolaang dan Bolango. Mereka biasanya hanya mengolah sawah kecil dan tidak berdampingan. Mereka tidak memproduksi garam dalam skala besar kecuali hanya untuk kebutuhan sendiri. Di masa Residen Jansen, penduduk sempat menanam kakao hanya saja penyakit telah merusak tanaman-tanaman ini. Makanan pokok penduduk Bolango adalah sagu dari pohon aren.

Asal Keturunan Bolango

Wilken dan Schwarz mencatat bahwa selama beberapa abad nenek moyang penduduk Bolango tinggal di tepi sungai kecil di kaki gunung Klabat. Di tahun 1866 saat mereka berdua menulis catatan ini, sungai kecil di Klabat masih disebut oleh penduduk di sekitar sana sebagai Aer-Bolango (Air Bolango). Dari sana mereka lalu pindah ke pulau Lembeh namun karena suatu peristiwa yang mengerikan, mereka pun meninggalkan pulau itu juga.

Dua anak Raja Bolango melakukan hubungan yang terlarang. Mereka berdua harus dihukum berat menurut aturan yang berlaku. Karena status mereka sebagai keluarga kerajaan hukuman berat yang seharusnya dapat tidak pernah dijalankan. Dua bersaudara ini di tengah rakyat tetap dihormati dan perbuatan mereka seakan dibiarkan karena rakyat tidak ada yang berani menegur.

Saat tidak ada satu pun penduduk yang berani menuntut agar hukuman diberlakukan pada kedua anak raja ini, maka roh menghukum mereka semua. Serangga yang begitu banyak, udang mahluk di air saja naik ke daratan menghancurkan tanaman dan pepohonan, menyiksa ternak dan manusia, dan mengotori udara yang ada. Maka merebaklah segala wabah dan penyakit di Pulau Lembeh yang menjadi tempat para penduduk Bolango tinggal.

Untuk menghindari bencana dahsyat itu, penduduk di sana terpaksa meninggalkan pulau. Mereka akhirnya terpencar-pencar mencari tempat berlindung dan untuk melanjutkan penghidupan. Penduduk Bolango kemudian menyebar ada yang ke Siauw, ke Kema, dan lainnya lagi berlayar disepanjang pantai Belang, beberapa yang berlayar jauh melewati Kotabunan dan menetap di suatu tempat yang bernama Totokia (tempat antara Gorontalo dan Molibagu). Cerita di atas diyakini oleh penduduk Bolango yang ditemui oleh Wilken dan Schwarz di Kerajaan Bolangoi yang mana tahun 1866 mereka masih menetap di Teluk Oeki.

Selanjutnya perkawinan antara pangeran Limboto dengan seorang putri Totokia menyebabkan terjadinya imigrasi orang Bolango ke Gorontalo dan mendirikan sebuah negeri yang bernama Bolango di sekitar Limboto dan di bawah pemerintahan raja Bolango sendiri sampai permulaan abad ini (sekitar awal-awab tahun 1800an).

Karena selalu terjadi gesekan terus menerus dengan Raja Limboto soal kepemilikan tanah, kerajaan Bolango lalu di pindah ke Bangka di bawah kepemipinan Raja Matokka dengan persetujuan pemerintah Belanda. Bangka berada di pantai Barat dekat sungai Lombagin yang dekat dengan kekuasaan Raja Bolaang Mongondow. Perpindahan itu terjadi sekitar tahun 1802 – 1803.

Di Bangka mereka tinggal hanya beberapa puluh tahun saja karena tempat tersebut tidak layak dijadikan pemukiman penduduk Kerajaan. Banyaknya buaya yang sering kali mengganggu penduduk menyebabkan mereka harus mencari tempat tinggal baru dan meninggalkan Bangka. Mereka akhirnya pindah pada tahun 1849 – 1850 ke Teluk Oeki yang juga sebenarnya masih terletak di wilayah Kerajaan Bolaang Mongondow. Dahulu mereka di Bangka dikenal sebagai penduduk Bolango-Bangka. Dan saat mereka pindah di teluk Oeki mereka dipanggil penduduk Bolango-Oeki.

Sejak keberangkatan dari Gorontalo hingga tahun 1866 (saat Wilken dan Schwarz datang) ke Kerajaan Bolango-Oeki di Teluk Oeki, berturut-turut yang menjadi raja adalah sebagai berikut; Matokka, Bagole, Napoe, Toewako, Oenomongo hingga Badiaman.

Wilken dan Schwarz menyebut bahwa Raja yang menyambut mereka bernama Raja Alijoe Dini Iskander Goebal Badiaman. Ia memerintah Kerajaan Bolango sejak tahun 1837 dan di tahun 1866 ia sudah berumur sekitar 60 tahun. Perawakannya terlihat sudah sangat rentah. Kepada Wilken dan Schwarz ia meminta untuk membuat surat darinya kepada Residen untuk meminta pengunduran diri dari kursi Kerajaannya.

Seperti Bolaang Mongondow, Bolaang Oeki juga mengakui supermasi Belanda. Bentuk pemerintahan kerajaan-kerajaan ini adalah monarki. Raja memiliki kekuasaan tertinggi dan disisinya ada dewan besar. Tanpa mereka raja tidak dapat memutuskan kebijakan-kebijakan yang menyangkut kepentingan Kerajaan. Dewan menteri ini menyandang gelar Djogugu, Kapitein-Laut, Marsaoli, Walaapoeloe, Hoekoem, Kimalaha, Majoor.

Yang memiliki jabatan ini sebagian adalah kaum bangsawan, sebagian lagi orang yang memiliki pengaruh besar (terkemuka) di masyarakat, yang dipilih oleh masyarakat, kepala suku, dan diangkat oleh raja. Adapun Djogugu dan Kapten Laut mereka diangkat langsung oleh Residen Manado atas permintaan raja. (BERSAMBUNG – MENUJU BAGIAN AKHIR)

*Penulis adalah Ketua Lembaga Riset Pusat Studi Sejarah Bolaang Mongondow Raya (PS2BMR)

 

Komentar