Memoar H. D. Manoppo, Menjadi Gubernur dan Dilupakan

Oleh : Murdiono P. A. Mokoginta

Kita sudah kenyang dengan janji pemerintah pusat untuk membantu kita dengan uang dan bahan bagi pembangunan daerah ini…

Kalimat itu adalah petikan pidato Hasan Datu Manoppo (H. D. Manoppo) sesaat setelah ditunjuk menjadi ‘Gubernur Sulawesi Utara’ dalam konprensi kerja Permesta di Gorontalo pada 20 Juni 1957 sebagaimana yang ditulis oleh Barbara Sillars Harvey dalam karyanya Permesta: Pemberontakan Setengah Hati (1989: 95).

Gubernur Sulawesi Utara?, Memang demikian, dan ini adalah fakta sejarah yang banar adanya meski dalam sejarah umum yang mengulas tentang Sulawesi Utara, hal itu tak pernah diangkat. Mugkin saja ini dimaksudkan untuk menutup rapat bab sejarah Permesta di masa silam yang penuh dengan kemelut dan duka.

Permesta dan Provinsi Sulawesi Utara/Tengah

Mengulas sejarah umum Sulawesi Utara, khususnya diperiodesasi awal berdirinya provinsi ini, selama ini kita hanya dibelajarkan tentang pembagian dua provinsi administratif Sulawesi Selatan/Tengara dengan ibu kota di Makasar dan Sulawesi Utara/Tengah dengan ibu kota di Manado tahun 1960.

Sejarah umum yang telah kita pelajari di atas ternyata adalah sejarah lahirnya Sulawesi Utara pasca pergolakan Permesta sebagai jalan tengah yang dipilih oleh pemerintah pusat untuk memulihkan keamanan dan perdamaian di daerah ini yang hancur lebur akibat perang saudara yang berlangsung hampir tiga tahun lamanya.

Sebelum pemerintah membuat keputusan membagi provinsi berdasarkan UU No. 47 Tahun 1960 dan setelahnya UU No. 13 Tahun 1964 Tanggal 23 September 1964 di mana tanggal ini dijadikan sebagai HUT Provinsi Sulawesi Utara, maka, pada 20 Juni 1957 secara sepihak Permesta telah lebih dahulu mendirikan Provinsi Sulawesi Utara/Tengah pada saat konfrensi kerja di Gorontalo dan langsung mengangkat H.D. Manoppo sebagai gubernurnya.

Pembentukan provinsi secara sepihak ini lahir sebagai ekspresi kekecewaan tokoh-tokoh Permesta akan sikap acuh pemerintah pusat untuk melaksanakan beberapa tuntutan-tuntutan dalam piagam Permesta 2 Maret 1957, di antaranya; perjuangan desentralisasi, dan pemisahan provinsi Sulawesi menjadi dua bagian yaitu Sulawesi Selatan dan Utara.

Sayangnya, karena provinsi ini dibentuk tanpa restu tulus dari pemerintah pusat, otomatis Provinsi Sulawesi Utara/Tengah bentukan Permesta ini tidak diberikan porsi anggaran oleh Jakarta. Bahkan hingga awal tahun 1958, subsidi pemerintah pusat untuk Provinsi Sulawesi tetap dikirim melalui Makasar.

Gubernur Manoppo dalam Koran Belanda

Surat kabar Nederland, Algemeen Indisch dagblad  de Preangerbode, tanggal 26 Juli 1957 memuat berita yang berjudul “De regeringsmissie in Noord Sulawesi, Minister Maenkom: „Wijzijn optimistisch gestemd”. Diterjemahkan dalam Bahasa Indonesia menjadi “Misi pemerintah di Sulawesi Utara Menteri Maenkom: “Kami optimis”, Kelanjutan diskusi tentang keadaan normalisasi.

Berita di dalam media ini mengulas tentang sikap optimis tokoh-tokoh Permesta akan kemajuan ekonomi pasca pembentukan Sulawesi Utara pada 20 juni 1957. Berita juga memuat tentang kepulangan Gubernur H.D. Manoppo dengan pesawat Garuda Indonesia (GIA) dari Jakarta ke Manado setelah melakukan pertemuan dengan Menteri Dalam Negeri Mohamad Sanusi Hardjadinata.

Di berita ini kita melihat bahwa kapasitas Manoppo sebagai Gubernur tidak hanya diakui oleh tokoh-tokoh Permesta di Indonesia Timur keseluruhan, tapi memaksa pemerintah pusat untuk melibatkan beliau agar bersama mencari solusi yang bijaksana dalam pembangunan ekonomi di Sulawesi Utara/Tengah dan stabilitas politik di wilayah itu yang mulai mencekam.

Pada koran Algemeen Dagblad terbit 04 Juli 1957, mereka memuat pernyataan H.D Manoppo dengan judul berita “Noord-Celebes is Wachten Moe”. Judul berita ini diartikan dalam Bahasa Indonesia “Sulawesi Utara Lelah Menunggu”.

Di dalam surat kabar ini Manoppo menjelaskan alasan mengapa Permesta membentuk Provinsi Sulawesi Utara secara sepihak, antara lain karena banyak janji-janji pemerintah pusat yang tidak terealisasi untuk melakukan pembangunan di bagian utara pulau Sulawesi seperti pembangunan jaringan listrik di wilayah itu.

“Kami telah menunggu sebelas tahun, tapi hingga sekarang tidak ada bantuan yang datang. karena itu kami menutup mulut untuk masalah kami sendiri”, yang dimaksud adalah mereka memilih tidak mengharapkan apa-apa lagi dengan pemerintah pusat karena sudah terlanjur putus asa dengan sikap acuh tak acuh Jakarta terhadap aspirasi tokoh-tokoh di Sulawesi Utara.

Koran Java Bode, 20 November 1957 juga pernah memuat berita mengenai kebijakan beliau saat menjabat menjadi Gubernur Sulawesi Utara. “Canadese credieten voor N.-Sulawesi”, artinya; Kredit Kanada untuk Sulawesi Utara, tulis mereka.

De gouverneur van Noord-Sulawesi, H. D. Manoppo, verklaarde, dat de Canadase regering een crediet van $ 600.000 aan Noord-Sulawesi heeft verstrekt, waarvan het grootste deel aan de aanleg van wegen bested zal worden.

“Gubernur Sulut H. D. Manoppo menyatakan Pemerintah Kanada telah memberikan kredit sebesar $ 600.000 kepada Sulut yang sebagian besar akan digunakan untuk pembangunan jalan.”

Bantuan ini sengaja diberikan kepada Sulawesi Utara untuk pembangunan infrastruktur-infrastruktur publik yang rusak akibat Perang Dunia II (1939-1945).  Dalam berita ini ia juga menegaskan akan kepercayaannya kepada pemerintah pusat yang mendukung penuh pembentukan Provinsi Sulawesi Utara hasil konprensi kerja Permesta di Gorontalo pada 20 Juni 1957.

Politik Identitas

Bila kita melihat sejarah Sulawesi Utara di laman Wikipedia, di sana tercatat nama Arnold Achmad Baramuli sebagai Gubernur Sulawesi Utara pertama yang menjabat dari 23 Maret 1960 – 15 Juli 1962 berdasarkan Surat Keputusan Presiden No. 122/M tanggal 31 Maret 1961 sebagai Gubernur Sulawesi Utara/Tengah.

H.D. Manoppo tidak pernah diakui sebagai gubernur karena dianggap hanya boneka Permesta sebagai kompromi ‘politik identitas’ demi menarik dukungan kekuatan Islam Nasional dan masyarakat Bolaang Mongondow yang memiliki pengaruh cukup kuat untuk keberlangsungan eksistensi Permesta di kawasan utara Sulawesi.

Di masa Permesta politik identitas memang sangat kental. Aktor penting  (Permesta) seperti Sumual, O.E. Engelen, D. J. Somba, Dolf Runturambi, dll, menyadari hal ini dan ingin mengubah opini nasional agar Permesta tidak digiring pada isu egosentrisme Minahasa. Saat Konprensi Kerja Permesta di Gorontalo tanggal 20 Juni 1957, tokoh-tokoh penting ini sepakat bulat menunjuk H.D. Manoppo, seorang putra Bolaang Mongondow, untuk menjadi Gubernur Sulawesi Utara yang dibentuk sepihak pada saat itu juga.

Manoppo menyadari bahwa Bolaang Mongondow memiliki peran penting bagi Sulawesi Utara bukan hanya dari sisi ekonomi bahkan juga politik. Karenanya ia rela memikul tanggung jawab sebagai Gubernur Sulawesi Utara pada masa krisis itu. Bukan karena ‘kalah perhitungan atau kecerobohan’. Tapi ia sadar, bahwa tanah kelahirannya bukan bidak yang dipermainkan di atas papan catur perpolitikan di kawasan Indonesia timur, dan khususnya di Sulawesi Utara.

Ini terungkap saat wawancarai Barbara Sillars Harvey bersama H.D.Manoppo di Jakarta Tahun 1972, sebagaimana dalam buku Permesta: Half a Rebellion. Manoppo menjelaskan bahwa terpilihnya Gorontalo sebagai tempat konprensi, dan ia sendiri sebagai gubernur Sulawesi Utara menunjukan keinginan untuk menghindari anggapan bahwa Minahasa mendominasi Permesta. Manoppo memegang harga diri tinggi atas nama Bolaang Mongondow walau ia akhirnya dilupakan dan tenggelam dalam samudra sejarah.

*Penulis adalah Ketua Lembaga Riset dan Kajian Pusat Studi Sejarah Bolaang Mongondow Raya (PS2BMR)

Komentar