Catatan Dunnebier tentang ‘Monibi’ (Bag. I)

Oleh.
Algifari Yulio Sugeha

Monibi merupakan ritual ‘upacara adat’ di Bolaang Mongondow yang dibudayakan sejak dahulu kala. Dalam tradisi lisan kita, ritual ini mulai diselenggarakan sejak abad ke-17, tepatnya di masa pemerintahan punu Tadohe atau Sadohe. Pemimpin ini dalam memori kolektifitas masyarakat Bolaang Mongondow dikenang sebagai pemimpin yang mengawali penataan aspek-aspek penyelenggaraan pemerintah berdasarkat ‘adat’ serta bentuk-bentuk kearifan Bolaang Mongondow.

Punu’ Tadohe adalah pemimpin yang pertama kali mendorong dilaksanakannya ritual praktik pengobatan tradisional diberbagai Sigi (tempat pelaksanaan ritus pengobatan), di antaranya adalah melaksanakan monibi yaitu upacara yang berupa pemberian kurban, diikuti dengan penyembahan serta pengukapan permohonan pada roh nenek moyang.

Lembaran-lembaran kolonial (Belanda) juga mencatat upacara ini, yakni dalam catatan laporan perjalanan Wilken dan Schwartz di Bolaang Mongondow dalam De Communiceelingen om het Nederlandsche Zendelinggenootschap, deel XI (1867), P. 271 V. V). Selain mereka berdua, William Dunnebier juga menulis dalam catatannya saat ia tinggal di negeri Bolaang Mongondow sebagaimana ulasan dalam tulisan ini.

W. Dunnebier menulis dengan judul “Het Bemedicineeren Van Een Dorp In Het Landschap Bolaang Mongondow (Noord Celebes) Door W.Dunnebier”. Terjemahkan kurang lebih “Pengobatan Desa di dalam Wilayah Bolaang Mongondow (Sulawesi Utara) melalui W.Dunnebier”. Harapan penulis. catatan ini kiranya bisa menambah khazanah pengetahuan kita akan warisan sejarah dan budaya utamanya mengenai proses tradisi upacara pengobatan monibi di Bolaang Mongondow.

Berdirinya Desa.

Dunnebier menulis, saat itu masih di zaman yang sangat lampau, semua orang yang tinggal di dataran tinggi Bolaang Mongondow belum benar-benar mengetahui keberadaanya (eksistensi). Di masa itu orang-orang belum mengenal tata desa bahkan sebuah rumah untuk menetap. Rakyat belum memiliki penguasa, bahkan kepala desa untuk didengarkan, diikuti juga ditaati. Pun demikian, ada seseorang yang memiliki pengalaman yang cukup besar. Seorang pengawal juga kepercayaan yang mengatarkan Sadohe untuk mengatur rumah dan berbagai persembahan untuk pengobatan desa.

Saat Sadohe masih muda, ada seorang dari kasta simpal yang bernama Paloko pria yang bijak dan berani. Ia lalu diangkat menjadi tetua desa atau (guhangga lipu). Sesaat setelah dilantik, Paloko berpikir sembari bergumam “Bagaimana saya bisa mengumpulkan semua orang yang terpencar-pencar”?. Setelah itu dia berdiri dan berteriak memanggil semua orang yang terpencar-pencar di sana dan berkata “Kita semua harus bersatu karena ada sesuatu yang harus dikumpulkan”. Saat mereka datang, pertemuan dilakukan dan ia mulai berpidato “Kalian semua diundang kemari karena kami berniat untuk membentuk desa dan menata tata letak rumah.” Semua hadiri kembali dan melaksanakan titah itu.

Ketika desa didirikan, Paloko pergi dan menyeruh semua orang yang ditemui (mungkin masih terpencar-pencar) berkumpul lagi karena sekarang desa sudah siap. Kita semua harus berkumpul lagi karena akan mengundang dan menerima perjamuan kurban roh-roh yang sudah tua karena sudah sewajarnya kita ingin meminta mereka untuk memberikan berkah bagi desa yang baru dibangun. Seruannya diikuti dan masyarakat mulai tinggal berkelompok di desa yang dipertahankan oleh keturunan mereka yang dirawat secara teratur. Mereka meminta berkah untuk mantan Pangeran dan mantan Ratu sehingga ternak-ternak akan menjadi sehat dan orang-orang serta bumi ini dapat menghasilkan rezeki sehingga mata pencarian akan tumbuh. Sejak itu upacara monibi diadakan sekali dalam setahun.

Ketika Desa Tidak Aman

Dahulu kala ketika alam masih menakutkan karena banyaknya roh di dalam hutan. Orang Mongondow percaya bahwa mereka disamping sebagai penjaga namun juga sering membuat kerusakan di desa. Banyak binatang ternak seperti domba dan babi besar sering dimakan oleh roh-roh hutan. Dan ketika orang-orang Mongondow bangun dari tidurnya kala itu mereka sering menemukan ternak mereka seperti babi telah digantung oleh roh-roh hutan di pagar atau di bonggol kacang. Ketika hal mengejutkan ini terjadi maka masyarakat Mongondow pun membicarakan untuk melaksanakan upacara monibi agar kerusakan desa bisa diperbaiki.

Ini juga terjadi ketika mata pencarian mereka seperti pohon-pohon dan buah-buahan yang mereka tanam tidak berubah lagi. Serta tanaman-tanaman mereka yang tidak tumbuh subur serta banyak ternak yang tidak sehat maka masyarakat pun melaksanakan upacara monibi. Begitu pun ketika desa mengalami bencana, banyak orang yang sekarat, sakit atau sengsara, maka masyarakat pun akan melaksanakan upacara monibi.

Prosesi Monibi untuk Pengobatan Desa

Jika seseorang berniat mengadakan upacara monibi maka semua orang dewasa dan para tetua desa bertemu dengan kepala desa untuk membahas upacara perayaan monibi sambil mendiskusikan penyembelihan hewan-hewan ternak seperti babi dan kambing. Dalam diskusi juga ditunjuk tetua yang akan menyalakan dupa itu pada malam hari pada upacara monibi.

Orang-orang melaksanakan prosesi upacara monibi akan merasakan hal-hal aneh seperti mendengarkan burung menangis serta mengalami mimpi buruk. Tetua yang ditunjuk akan menyalakan dupa itu dan begitu tetua sampai di ujung desa, tetua lalu memeggang dupa itu dan memberikan jeruk nipis yang sudah kadaluwarsa yang dia cap dengan tumitnya ditanah dan berkata “ompu duata” turunlah sembari berdoa “Semoga direstui dan akan membawa berkah pada roh leluhur dan roh mantan pangeran juga dapat diberikan kesembuhan dan kepada semua orang, diberikan hewan-hewan peliharaan yang sehat, tanaman yang subur, maka kami mengudang kepada para roh leluhur untuk bisa membuat mata pencarian kami berlimpah dan apapun yang kita usahakan akan berhasil.”

Pada hari yang sama, semua orang mengundang roh-roh untuk makan di rumah-rumah yang berbeda. Dengan ditempatkan di sebuah tenda kecil dan di atasnya diletakan kotak sirih dan tembakau yang di mana roh-roh akan didudukan di sebuah panggung dengan persembahan yang kecil serta digantung dengan balok pagar yang sangat panjang. Garis -garis besarnya dilindungi dengan kain antik, dibagian dalamnya dan bagian luarnya dikelilingi daun-daun muda dari pohon cemara, di dalam perancah itu ditempatkan persediaan plum, tembakau, dan gong.

Di sore hari dan pagi-pagi sekali gong itu kemudian dipukul. Para arwah ditawari dengan kebutuhan-kebutuhan sirih dan diundang untuk duduk dengan sungguh-sungguh dan mereka masyarakat pun berkata “Ambil tempatmu di sini, kakek dondo, karena kami telah menyiapkan upacara yang meriah untuk kalian” (masyarakat meminta dengan begitu hormat). Akhirnya melalui ritual seperti itu, orang-orang akan menjadi sehat serta perternakan dan mata pencarian akan semakin berlimpah. Mereka membuat monibi yang begitu meriah karena bagaimanapun roh-roh itu adalah leluhur mereka yang sangat dihormati.

* Penulis adalah pegiat sejarah di Pusat Studi Sejarah Bolaang Mongondow Raya (PS2-BMR)

Komentar