A.Y. Mokoginta dalam Arus Revolusi Bangsa (1945-1949)

Oleh: Murdiono P. A. Mokoginta

Hingga kini catatan tentang kiprah Letjen TNI (Purn) Ahmad Yunus Mokoginta semakin hidup. Beberapa media nasional bahkan menulis catatan khusus tentang perjalanan panjang putra Bolaang Mongondow ini dalam panggung percaturan nasional. Rendy Wirayuda (2018) misalnya menulis sebuah artikel di media historia.id tentang beliau yang berjudul “Kritis Hingga Akhir Hayat”.

Masih banyak lagi catatan-catatan positif tentang A.Y. Mokoginta yang bisa dijelajahi saat berselancar di dunia maya yang kiranya bisa menjadi teladan bagi generas-generasi muda Bolaang Mongondow masa kini.

Demikian juga dengan catatan ini. Untuk memperkaya literasi tentang beliau, di selah-selah waktu yang sibuk saya mencoba membaca dokumen-dokumen milik Markas Besar Tentara Nasional Indonesia Angakatan Darat dari Dinas Sejarah ABRI koleksi Lembaga Pusat Studi Sejarah Bolaang Mongondow Raya (PS2BMR) baik dalam bentuk buku,dll.

Ada beberapa ulasan yang saya dapat di dalam dokumen-dokumen itu harus segera mungkin ditulis agar tidak dilupakan seiring banyaknya juga kegiatan dan aktifitas lain yang saya kerjakan, terlebih masalah pekerjaan di sekolah yang tidak bole di kesampingan sama sekali.

Silsilah A. Y. Mokoginta

Beliau bernama Ahmad Yunus Mokoginta (disingkat A. Y. Mokoginta). Oleh keluarga-keluarga di Kotamobagu atau Bolaang Mongondow Raya, beliau dipanggil Abo’ Nus. Panggilan ini merujuk pada garis keturunan beliau dalam silsilah keluarga Manoppo-Mokoginta yang memang berasal dari keluarga terhormat di lingkungan Kerajaan Bolaang Mongondow.

Ahmad Yunus Mokoginta lahir di Kotamobagu, Sulawesi Utara pada 28 April 1921 (Randy Wirayudha: 2018). Kakek Buyut beliau adalah Pangulu Namug Mokoginta yang berasal dari Bilalang dan menjadi Pangulu (Patih) di distrik Passi di masa antara Raja Adrianus Cornelis Manoppo atau Johanes Manuel Manoppo.

Menurut Budayawan Bolaang Mongondow Chairun Mokoginta, Pangulu Namug di masanya mencoba memutus rantai penghalang antara Passi dan Lolayan. Masa itu bahkan ada pantangan orang Passi tidak boleh menikah dengan orang Lolayan, demikian sebaliknya. Maka oleh Pangulu Namug, ia lalu datang ke wilayah Lolayan dan menikah di sana untuk menghapus poton itu dan dengan begitu hubungan antara masyarakat di pedalaman Mongondow bisa terjalin berdasar kekeluargaan.

Merujuk pada Slakbom Robuu Mokoginta yang menarik hubungan antara Mokoginta, Manangin, Mokodongan, dan Damopolii tahun 1979, hingga disalin kembali oleh Abd. Rachman Massi (Moyag, 25 April 2005), tarikan antara Raja Bolaang Mongondow hingga ke A.Y. Mokoginta adalah sebagai berikut:

“Raja Salomon Jacobus Manoppo memiliki anak bernama Bua’ Ampe. Bua’ Ampe menikah dengan Punu Modeong dan memiliki anak bernama Jogugu Bagoa. Jogugu Bagoa memiliki anak bernama Bua Kaeba yang menikah dengan Jogugu Umbola. Bua’ Kaeba dan Umbola memiliki anak bernama Bua’ Sompo. Bua’ Sompo’ menikah dengan Kapita Laut Dondo dan memiliki anak bernama Kakiya Bulamboki.

Kakiya Bulamboki lalu menikah dengan Mokoginta dan memiliki anak bernama Mutu Mokoginta. Mutu Mokoginta menikah dengan Bai Pela melahirkan anak bernama Namug Mokoginta (Pangulu Passi). Namug Mokoginta menikah dengan Bua’ Ondi (Anak Raja Jacobus Manuel Manoppo) dan memiliki anak bernama Mundung Mokoginta (Mayor). Mundung Mokoginta menikah dengan Bua’ Dabo Sugeha (Anak Raja Abraham Sugeha) dan memiliki anak bernama Abraham Patra Mokoginta (Djogugu Bolaang Mongondow).

Abraham Patra Mokoginta lalu menikah dengan Putri Raja D.C. Manoppo yang bernama Bua’ Baay dan memiliki enam anak yang bernama Bua’ Lely Mokoginta, Bua’ Lena Mokoginta, Konstatin Mokoginta, Frans Memeng Mokoginta, Ahmad Yunus Mokoginta, dan Dolly Mokoginta.”

Jejak Sang Ayah

Ayah Ahmad Yunus Mokoginta adalah seorang Djogugu (Perdana Menteri) di Kerajaan Bolaang Mongondow. Meski memiliki kedudukan dan jabatan terhormat di lingkungan kerajaan, namun beliau tetap memiliki prinsip yang kuat untuk tidak menindas dan tidak ingin ditindas oleh pihak Belanda. Tiap keputusan dan arah kebijakan yang beliau ambil tidak pernah ingin dicampuri oleh pihak yang beliau anggap merugikan kepentingan rakyatnya.

Abraham Patra Mokoginta, itulah nama ayah Ahmad Yunus Mokoginta. A.P. Mokoginta lahir di Bolaang pada 15 Mei 1885. Pendidikan awal beliau adalah Sekolah Dasar di Manado. Setelah lulus beliau melanjutkan ke Sekolah Pemerintahan Pertama (Hoofden School) atau Sekolah Raja dan menamatkanya pada tahun 1903 dengan predikat sangat memuaskan. Pasca lulus dari sekolah ini, baru di usia 18 tahun beliau telah diangkat menjadi Pangulu Distrik Kotabunan hingga tahun 1907 (S.A. Sugeha: 1979).

Tahun 1907-1909 A.P. Mokoginta berlayar menuju tanah Jawa untuk mengenyam pendidikannya di Sekolah Pertanian Bogor. Setelah menempuh pendidikan di sana selama dua tahun, ia akhirnya lulus dengan nilai yang sangat memuaskan. Pasca lulus, ia kembali lagi ke negeri Bolaang Mongondow dan langsung diangkat menjadi ‘Menteri Cultures’.

Bulan Juli tahun 1911, A.P. Mokoginta diangkat menjadi Djogugu Kerajaan Bolaang Mongondow mengantikan Djogugu P. A. Sugeha. Dalam mengamban tugas ini, beliau awalnya memfokuskan pada pembinaan sumber daya manusia di kerajaan.  Beliau melakukan pembinaan moral pada para pengguna candu, menertibkan tata desa dan melakukan pendekatan persuasif kepala-kepalanya yang dianggap membangkang terhadap kerajaan. Dengan sikap itu beliau tentu makin mendapat simpati rakyat dari semua kalangan.

A.P. Mokoginta banyak melakukan perubahan-perubahan mendasar terhadap sistem sosial, ekonomi, birokrasi di lingkungan Kerajaan Bolaang Mongondow sejak ia menjadi Djogugu dari tahun 1911 – 1925. Dalam sebuah momen, beliau pernah menampar seorang mandor (pengawas pembangunan jalan) yang berkebangsaan Belanda karena melakukan tindakan semena-mena terhadap salah seorang pekerja pribumi.

Di lingkungan rakyat yang lemah, A.P. Mokoginta begitu sangat berpengaruh dan dicintai. Kuat terhadap yang kuat, dan berlaku lemah pada orang lemah. Namun karena tindakan tegas yang tanpa kompromi itu malah membuat orang-orang Belanda yang ada di Kerajaan merasa takut dan terancam. Karena itu, entah karena siasat para petinggi-petinggi residen Manado beliau seakan dijauhkan dari tanah kelahirannya Bolaang Mongondow.

Tahun 1925 – 1927 A.P. Mokoginta akhirnya ditugaskan belajar di Bestuurschool (Sekolah Pemerintah Menengah). Sekolah ini merupakan sekolah calon Controleur pribumi yang sengaja dipersiapkan untuk mengantikan Controleur Eropa yang berada di beberapa wilayah Hindia Belanda termasuk juga di Bolaang Mongondow.

Meninggalnya Raja D.C. Manoppo

Tahun 1927 mertua A.P. Mokoginta, Raja D.C. Manoppo meningga dunia. Mengisi kekosongan itu Gubernur Jendral Hindia Belanda Andris Cornelis Dirk de Graeff yang diwakili oleh Mr. Creutsberg memulangkan A.P. Mokoginta ke Kotamobagu yang direncanakan akan diangkat menjadi raja menggantikan ayah dari istrinya.

Sikap beliau yang selalu kritis dan tidak pernah kompromi diartikan oleh beberapa petinggi Belanda sebagai tindakan yang kelak akan merugikan mereka sendiri. Muncul juga ketidak sukaan beberapa kepala-kepala adat yang juga berpengaruh dan sama-sama menolak usulan dari Gubernur Jendral ini hingga akhirnya pilihan Raja Bolaang Mongondow tertuju pada Raja Laurens Cornelis Manoppo, adik kandung istri beliau.

Keputusan di atas tentu menjadi sebuah polemik yang pelik di kerajaan. Legitimasi rakyat yang tentu tertuju dan simpati kepada A.P. Mokoginta yang selalu berpihak pada kaum yang lemah dan tertindas dikhwatirkan akan dimanfaatkan olehnya untuk melakukan pembangkangan. A.P. Mokoginta bisa saja memanfaatkan kondisi ini untuk melakukan perlawanan terhadap semua pihak yang dianggap telah merugikannya. Namun itu tidak terjadi karena dasarnya ia juga seorang terdidik yang anti ‘feodalisme’, anti kemapanan, dan sosok berjiawa sosial yang tinggi.

Menuju Tanah Jawa

Belanda akhirnya mengambil keputusan yang kelak akan membawa keluarga A.P. Mokoginta masuk dalam pentas akbar pergolakan menuju Indonesia merdeka. Untuk menyuarakan hasrat yang bergelora untuk melawan Belanda, panggung kerajaan di rasa terlalu sempit untuk menampung visi A.P. Mokoginta sebagaimana mimpinya untuk melawan penjajahan dan keterbelakangan.

Di tahun 1928, belanda lalu menempatkan A.P. Mokoginta mengisih posisi penting di kantor Balai Pustaka dengan pangkat patih. Beliau membawa serta keluarganya ke sana termasuk Ahmad Yunus Mokoginta yang ketika itu masih berusia 7 tahun. Alih-alih keputusan untuk menjauhkan A.P. Mokoginta dari tanah kelahirannya Bolaang Mongondow, justru berbalik menjadi bumerang bagi Belanda.

Saat di Jakarta, sikap yang sama dari Bolaang Mongondow terbawa juga hingga ke sana. Beliau selalu bersama dengan masyarakat masyarakat adat Jakarta yakni masyarakat betawi di sana. Atas dukungan semua pihak ia terpilih menjadi anggota “Geementraad” (Dewan Pemerintahan Kotapraja) di Jakarta untuk mengawasi pembangunan kompleks daerah Menteng dan beliau menyelesaikan pekerjaan ini dengan sangat memuaskan.

Waktu itu beliau menduduki pula posisi sebagai anggota Badan Pimpinan Harian Kotapraja hingga tahun 1932. Di Jakarta beliau juga terlibat aksi menuntut pemerintah Belanda agar mengabulkan keinginan rakyat untuk “Indonesia Berparlemen” di mana rakyat yang ada di Hindia memiliki wakil rakyat yang dipilih secara demokrtasi oleh rakyat bukan seperti “Volksraad” di mana anggotanya hanya diangkat oleh Belanda sendiri.

Bersama beberapa pejuang kemerdekaan Indonesia antara lain Hoesni Thamrin, Sam Ratulangie, Hadiwidjaya, juga seorang Belanda progresif yang bernama Douwes Dekker mereka terlibat aksi-aksi sporadis untuk menyuarakan keinginan rakyat secara lantang.

Sungguh uraian yang luar biasa sebagaimana yang dicatatat oleh S. A. Sugeha yang kembali ditulis oleh R. Mokoginta dalam Over de Vorsten Van Bolaang-Mongondow (1984: 113-122). Sebagaimana dalam ulasanya, S.A. Sugeha menulis bahwa ia mencatat dengan benar perjalanan A.P Mokoginta berdasar pada kesaksiannya. Ini sunggu menjadi sumber penting untuk tulisan mengenai kiprah A.Y. Mokoginta yang tentu memiliki kaitan erat dengan terbentuknya pola pikir beliau hingga menjadi sosok yang kelak turut mengisi lembar sejarah nasional Indonesia.

Mewariskan Mimpi

Rekam jejak A.P. Mokoginta tentu menjadi spirit tersendiri bagi Ahmad Yunus Mokoginta yang saat tinggal di Jawa mulai beranjak remaja. Ia menempuh pendidikan HIS, MULO dan AMS. Setelah itu melanjutkan pendidikannya dalam dunia militer dan masuk KMA (Koninklijke Militaire Academie) di Bandung. Meski dididik di lingkungan sekolah kemiliteran Belanda, di masa Revolusi Kemerdekaan Republik Indonesia (1945-1949) beliau mengambil sikap untuk menjadi pejuang Republik Indonesia.

Harapan itu beliau salurkan dengan bergabung dalam kesatuan Divisi Siliwangi yang berpusat di Bandung Jawa Barat. Divisi Siliwangi dibentuk di Jawa Barat pada tanggal 20 Mei 1946. Divisi ini adalah fusi dari seluruh pejuang rakyat yang berada di Jawa Barat untuk mengawal Proklamasi Kemerdekaan Indonesia. Rakyat-rakyat di sana pada masa awal kemerdekaan berjuang terpisah-pisah. Ada yang dari Badan Kemanan Rakyat ada pula yang dari organisasi-organisasi pemuda dan pejuang kemerdekaan yang dibentuk oleh rakyat.

Ahmad Yunus Mokoginta termasuk dalam perwira-periwira yang berperan dalam pembentukan Divisi Siliwangi. Di antara mereka ada Kolonel A.H. Nasution, Kolonel Sadikin, Kolonel Abimanyu, Kolonel A. E. Kawilarang, dan beberapa pejuang yang kini telah diangkat menjadi pahlawan nasional.

Di saat diadakan Re-Unie Perwira dan Bekas Perwira Siliwangi pada 21 Mei 1956 yang bertempat di aula S.T.T. Bandung, Letkol A.Y. Mokoginta, bersama Letkol Santot Iskandardinata, dan beberapa perwira lainnya menjadi anggota panitia yang menyelenggarakan kegiatan tersebut. Kegiatan ini dilaksanakan sebagai penyadaran jiwa Korps Siliwangi untuk menjamin terpeliharanya tekad dan norma hidup di lingkungan  Corps Siliwangi (Disjarahdam VII/Siliwangi, 1979: 450).

Tameng Revolusi

Perang dan perlawanan adalah konsekwensi daripada Kemerdekaan. Maka setiap orang yang mengaku setia kepada Ibu Pertiwi menyerahkan jiwa raga mereka untuk mempertahankan kemerdekaan, buah daripada proklamasi 17 Agustus 1945.

Tanggal 25 Mei 1946 Presiden Soekarno mengeluarkan maklumat tentang perubahan nama Tentara Keselamatan Rakyat menjadi Tentara Republik Indonesia. Keesokan harinya tanggal 21 Mei 1946 oleh Menteri Pertahanan, diangkatlah Panglima Besar TRI yakni Soedirman yang merupakan bekas Panglima Divisi Purwokerto dengan pangkat Jendral.

Tanggal 25 Mei 1946 bertempat di Gedung Negara RI Presiden melantik beberapa pejabat tinggi tentara antara lain panglima besar, kepala staf umum, panglima-panglima divisi, kepada-kepala staf divisi, komandan-komanadan brigade, 10 jendral di Kementrian Pertahanan, 3 kolonel di Kementrian Pertahanan, 4 kolonel pada Markas Besar Umum Tentara, dan 1 mayor pada Markas Besar Umum Tentara. Panglima Besar Soedirman atas nama pejabat yang dilantik mengucapkan sumpah jabatan di hari itu (Disjarahdam VII/Siliwangi, 1979: 39).

Usai pelantikan Jenderal Soedirman me re-organisasi Tentara Republik Indonesia di Jawa dan Madura dari 10 Divisi menjadi 7 Divisi. Sementara itu, karena jumlah batalyon dan resimen semakin bertambah, maka pada rapat tentara di Kaliurang tahun 1946 diputuskan untuk mengadakan susunan brigade, dengan tujuan semata-mata sebagai kesatuan tempur yang berisi gabungan resimen-resimen. Divisi I/Siliwangi membawahi 5 brigade, ialah; Brigade I/Tritayasa, Brigade II/Suryakancana, Brigade III/Kian Santang, Brigade IV/Guntur, dan Brigade V/Sunan Gunung Jati. Pemberian nama ini ditetapkan pada tanggal 15 November 1946. (Disjarahdam VII/Siliwangi, 1979: 40-41)

Brigade III/Kian Santang

Jabatan mula-mula A.Y. Mokoginta dalam kesatuan Corps Siliwangi adalah menjabat sebagai Kepala Staf Brigade III/Kian Santang dengan pangkat Mayor. Brigade ini berkedudukan di wilayah Purwakarta meliputi daerah Purwakarta dan Kerawang. Beberapa perwira tergabung dalam Brigade ini antara lain Letkol Sidik Brotoatmojo, Letkol Umar Bakhsan, Mayor Cecep Aryana Prawira, Mayor Mustafa Kamal, Letkol Sadikin, Kapten Marjono, dan lain-lain. (Disjarahdam VII/Siliwangi, 1979: 42)

Pada 1 April 1947 Brigade IV/Guntur menjelma menjadi dua Brigade yaitu Brigade I dengan komandan brigade Letkol Daan Yahya dan Kepala Staf Kapten D. Kosasih, dan Brigade II dengan Komandan Brigade Kolonel Hidayat dan Kepala Staf Letkol Askari yang kemudian digantikan oleh Mayor A.Y. Mokoginta. Ini juga menjadi jabatan kedua A.Y. Mokoginta di Corps Siliwangi.

Tahun 1947 ketika fokus Belanda sedang tertuju pada taktik diplomasinya, maka A.H. Nasution membagi Jawa Barat menjadi III Wehrkreise dari Divisi Siliwangi. Kolonel A.H. Nasution memimpin Wehrkreise I yang membawahi Garut dan Jawa Barat sebelah Barat; Wehrkreise II dipimpin oleh Kolonel Hidayat yang merupakan Komandan Brigade IV/Guntur II yang bersama-sama dengan Mayor A.Y. Mokoginta membawahi Tasikmalaya sebelah utara, Ciamis, Sumedang, Purwakarta, dan Cirebon. Wehrkreise III sendiri dipimpin oleh Letkol Sutoko yang membawahi Garut sebelah timur, Ciamis Selatan sampai perbatasan Jawa Tengah.

AY Mokoginta bersama dengan Kolonel Hidayat di Wehrkreise II melakukan perlawanan di pos-pos tentara Belanda. Ini dilakukan secara serentak di Wehrkreise I dan II dengan taktik gerilya hingga melahirkan Perjanjian Renville. Suatu saat gerilya, sekadar operasi militer, bahkan bagian terbesarnya merupakan masalah pembinaan dasar perlawanan gerilya itu sendiri. (Disjarahdam VII/Siliwangi, 1979: 115).

Hijrah Ke Yogyakarta

Pasca perjanjian Renville, kerugian tidak hanya dialami oleh pejuang diplomasi Indonesia tetapi juga bagi angkatan bersenjata. Renville menginginkan bahwa Jawa Barat yang notabene sebagai kedudukan Divisi Siliwangi harus diserahkan kepada pemerintah Belanda. Maka pada 22 Februari 1948 sebanyak 29.000 prajurit Siliwangi melakukan hijrah ke kantong-kantong gerilya Tentara Nasional Indonesia.

Meski ‘Hijrah’ dilakukan dengan sepenuh hati, tetapi Divisi Siliwangi menunjukkan kepada Belanda bahwa mereka berada dalam 1 komando. Mereka meninggalkan tanah Sunda bukan karena kalah, tapi karena mereka taat pada perintah pemerintah Indonesia. Bisa dibayangkan bila mereka dimobilisasi untuk melakukan serangan secara bersamaan maka itu akan merugikan kerugian yang tak terhingga di pihak penjajah.

Di antara iring-iringan pasukan Divisi Siliwangi, Mayor AY Mokoginta juga ikut serta dalam perjalanan panjang nan melelahkan ini. Perjalanan ‘hijrah’ ini sungguh suatu penderitaan yang tak dapat dilukiskan dengan kata-kata. Mana perut ‘keroncongan’, rasanya remuk akibat perjalanan yang cukup jauh, sedangkan batang hidung anggota-anggota panitia hijrah tak tampak sama sekali. baik, jadilah hati yang betul-betul tepat di kebumen untuk hati yang terluka. Meski dengan tekanan ekonomi, saat tentara lewat mereka memberikan makanan dan minuman di pinggir jalan. (Disjarahdam VII/Siliwangi, 1979: 134)

Dari Kebumen tentara-tentara Siliwangi diangkut dengan kereta menuju Yogyakarta. Perjalanan ini dilaksanakan pada tanggal 15 Februari 1948 pukul 13.45 siang hari. Setelah melalui perjalanan yang sangat menyenangkan dan menyenangkan, di Stasiun Tugu tentara-tentara ini dijemput oleh Wakil Presiden Drs. Moh. Hatta, para menteri dan perwira-periwira Markas Besar Tentara di Yogyakarta.

Sesampainya di Yogyakarta, seorang lelaki tegap menghadap seorang Panglima Besar Tentara Nasional Indonesia Jendral Soedirman untuk melaporkan kedatangan pasukan Siliwangi dari Jawa Barat. Dia adalah Letkol AY Mokoginta yang mengemban tugas untuk memimpin barisan depan tentara Siliwangi yang hijrah ke Yogyakarta. Pertemuan ini diabadikan dalam gambar dalam buku Siliwangi dari Masa ke Masa. Nampak AY Mokoginta menghadap Sang Jendral dengan wajah yang lelah setelah menempuh perjalanan panjang demi kepatuhan kepada pemerintah Indonesia. (Disjarahdam VII/Siliwangi, 1979: 137)

Perang Rakyat Semesta 1948-1949

Akibat hijrahnya hampir 30.000 pasukan Siliwangi dari Jawa Barat ke wilayah-wilayah yang dikuasai oleh Pemerintah Indonesia, maka hal ini juga berimbas pada peningkatan besarnya beban anggaran yang harus ditanggung untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan tentara-tentara yang telah suka rela meninggalkan kampung halaman di tanah Sunda untuk melanjutkan perjuangan.

Diplomasi tidak menjamin bahwa Belanda tidak akan menyerang wilayah Indonesia. Berangat dari pengalaman sejak tahun 1945, di saat Belanda lemah maka mereka menggaungkan taktik diplomasi, dan di saat kuat mereka  melancarkan agresi. Belajar dari pengalaman itu maka Panglima Besar Jendral Soedirman pada Minggu 20 Desember 1948 mengeluarkan instruksi No. 1/MBKD/48 tentang perintah bekerja berdasarkan perintah siasat Panglima Besar No. 1 mengenai pertahanan di Pulau Jawa.

Dua hari kemudian tepat pada tanggal 22 Desember 1948 Panglima kembali mengeluarkan Maklumat No. 2/MBKD tentang berlakunya pemerintahan militer di pulau Jawa. Tanggal & Januari kembali dikeluarkan instruksi perhubungan No. 71/MBKD/1949 untuk mengatur sistem perhubungan antar gerilyawan yang menjadi faktor penentu keamanan. Berbagai instruksi itu dikeluarkan untuk mengatasi masalah-masalah darurat bila sewaktu-waktu terjadi kembali perang terbuka antara TNI dan tentara Belanda.

Sejak Belanda agresi militer II pada tahun 1948 semua intruksi-intruksi pokok pengendalian sebagai komandi telah diselesaikan. kemajuan-kemajuan yang dicapai satuan-satuan teritorial dan satuan-satuan mobil mulai nampak.

Hal itu mendorong PTTD untuk melengkapi staf MBKD, maka itu diangkatlah beberapa orang pejabat baru sebagai wakil Kepala Staf Umum (WKSU) dan 4 pejabat pemerintahan untuk bidang-bidang pengendalian, keamanan daerah, kepolisian dan pembinaan desa. Wakil-wakil KSU tadi ialah Letkol (L) Jayadinigrat, yang bertugas di MBKD, sebentar juga Letkol (U) Suhododitto, Letkol A. Latif untuk komunikasi daerah Jawa Timur, dan Letkol A.Y. Mokoginta untuk daerah Jawa Tengah dan Letkol Sukanda Bratamanggala untuk daerah Jawa Barat (Dinas Sejarah TNI-AD, 1981: 109).

Peran A.Y. Mokoginta dan perwira-perwira yang ditunjuk sebagai WKSU ini sangat penting untuk menjamin bahwa seluruh TNI di wilayah gerakan mereka benar-benar memahami intruksi-intruksi Panglima Besar sebagai bagian persiapan dari rencana perang rakyat semesta atas tanah Jawa. Berkat mereka pula perang gerilya di Pulau Jawa nanti akan dapat terkoordinasi dan terkendalikan (Dinas Sejarah TNI-AD, 1981: 110).

Di antara dampak nyata kinerja KSU adalah makin banyaknya pertempura-pertempuran, serangan-serangan dan penghadangan-penghadangan dilakukan oleh satuan-satuan TNI pada masa itu sehingga berhasil membatasi ruang gerak pasukan Belanda. Setelah gerakan militer Belanda buntu, tiada jalan lain baginya selain mengajak berunding. Sehubungan dengan tanda-tanda akan diadakannya perundingan itu yakni setelah serangan umum 1 Maret atas Yogyakarta (Dinas Sejarah TNI-AD, 1981: 110).

Tanggal 3 Agustus 1949 jam 20.00, Presiden RI mengeluarkan perintah penghentian tembak menembak (Cease fire) melalui RRI Yogyakarta yang sekaligus merupakan jembatan ke arah perundingan Indonesia – Belanda pada KMB (Konferensi Meja Bundar) di Den Haag (Dinas Sejarah TNI-AD, 1981: 111). TNI terus mengawasi perundingan itu hingga penyerahan kedaulatan RIS dari Belanda pada tanggal 27 Desember 1949 yang juga menjadi penanda berakhirnya Perang Kemerdekaan Indonesia.

Catatan Penutup

Masih banyak data-data historis tentang kiprah Ahmad Yunus Mokoginta dalam dokumen-dokumen dari Markas Besar Tentara Nasional Indonesia Angakatan Darat dari Dinas Sejarah ABRI yang berhasil dikumpulkan oleh Lembaga Pusat Studi Sejarah Bolaang Mongondow Raya (PS2BMR). Dalam dokumen itu semua berisi kiprah perjuangan A. Y. Mokoginta selama menjadi prajurit TNI, yang mana, sebagian kecilanya telah diulas dalam catatan ini. hanya saja karena keterbatasan ruang, saya tidak bisa memuatnya. Mungkin ke depan bila menulis biografi beliau, saya akan coba mengulas lebih banyak lagi tentang kiprah beliau.

Sungguh ada begitu banyak sebenarnya yang ingin saya ulas lebih dalam misalnya saat beliau menjadi Komandan CPM Wilayah Jawa menggantikan Gatot Subroto 1948, kiprah beliau saat menjadi Panglima Teritorium/VII Wirabuana tahun 1950, Menjadi Panglima Komando Mandala I (Kolatu) untuk membebaskan Irian Barat dari Belanda, menumpas PKI di Medan, dan kiprah-kiprah beliau untuk Ibu Pertiwi.

Sayangnya saya menyadari bahwa ini hanyalah sebuah catatan singkat saja untuk kembali membawa ingatan kita agar tak henti mengharagai jasa-jasa beliau bagi Indonesia. Bila masih ada waktu senggang, mungkin saya akan kembali melanjutkan catatan ini dengan berbagai macam data yang terkait dengan A.Y. Mokoginta, “Semoga”.

Beliau adalah putra Bolaang Mongondow yang telah menyerahkan keringat, jiwa dan raganya untuk perjuangan kemerdekaan Indonesia. Apa upaya untuk negara kiranya harus menjadi teladan bagi kita semua dalam rangka mengisi dengan hal-hal positif untuk kemajuan, juga untuk mempertebal nasionalisme Indonesia disanubari kita.

* Penulis adalah Ketua Lembaga Riset dan Kajian Pusat Studi Sejarah Bolaang Mongondow Raya (PS2BMR)

 

Komentar