Catatan Perjalanan Wilken dan Schwarz di Bolaang Mongondow (Bagian Akhir)

Oleh: Murdiono Prasetio A. Mokoginta. 

Tragedi di Pulau Tiga

Tahun 1864, reputasi Kerajaan Bolango Oeki tercoreng akibat peristiwa pembajakan kapal Jepang di Pulau Tiga. Pada peristiwa ini diketahui bahwa beberapa penduduk Bolango-Uki terlibat dalam pembajakan dan pembunuhan semua awak kapal.

Di tengah lautan mungkin telah terjadi badai hebat yang menyebabkan kapal Jepang ini terdampar di pulau Tiga yang jaraknya tidak terlalu jauh dari lokasi Teluk Oeki. Kapal ini mencari tempat berlindung yang aman dari cuaca badai yang mengamuk di tengah lautan. Namun nahas menimpa mereka, seiring datangnya beberapa orang yang dipimpin oleh pangeran dari Gorontalo (mungkin pangeran palsu) yang melakukan pembunuhan dan penjarahan.

Mereka berani melakukan tindakan kejam itu karena melihat bahwa yang merapat di Pulau Tiga bukanlah kapal pemerintah melalui bendera dipasang yang bukan menggunakan bendera Eropa. Di malam harinya beberapa orang Bolango pergi ke lokasi perampokan itu. Sangat tragis apa yang terjadi di sana. Semua awak telah tewas, kapal dibakar, dan semua barang jarahan diangkut ke Uki.

Pasca kejadian tragis ini, semua kepala suku di Bolango Uki bungkam dengan kondisi sebenarnya yang terjadi di sana. Oleh pemerintah Belanda, beberapa orang yang terbukti memiliki bagian dari hasil jarahan di kapal itu akhirnya ditangkap dan dipenjara bersama Djogugu di Manado.

Nampaknya pihak pemerintah Belanda mencurigai bahwa Djogugu Bolango-Uki terlibat dalam insiden ini. Orang-orang penting di kerajaan ini dianggap harus bertanggung jawab. Diamnya kepala-kepala suku, dan bukti bahwa beberapa barang jarahan ada ditangan orang-orang penting ini membuat residen harus mengambil tindakan tegas dengan menangkap dan memenjarakan mereka.

Tragedi Pulau Tiga ini nampaknya menjadi percakapan pembuka saat Wilken dan Schwarz berbicara dengan Djogugu baru Bolango yang baru menggantikan Djogugu lama yang ditangkap oleh Belanda. Dua orang kulit putih ini mencoba menggali informasi mengenai kejadian sebenarnya peristiwa itu dari perspektif orang Bolango sendiri. Sayangnya Djogugu selalu menjawab “Saja tiada tahu”.

Seiring dipaksa oleh Wilken dan Schwarz untuk menjelaskan kronologi tragedi ini, Djogugu akhirnya memberikan jawaban yang dapat disimpulkan bahwa ia tidak mengelak bahwa ‘mungkin saja penduduk di sini terlibat dan bisa saja juga tidak’. Di Bolango Oeki memang banyak terjadi insiden mengerikan. Penjarahan terhadap kepal Jepang itu pun terjadi karena penduduk tidak pernah mendengar bahasa yang diucapkan oleh para awak kapal itu. Mereka tidak menggunakan bahasa Eropa, Cina, juga Arab sehingga peristiwa perampokan itu bisa terjadi.

Masih di tahun yang sama (1864) telah terjadi pembunuhan tragis di Teluk Oeki. Dua orang dari Mariri ditemukan tewas dibunuh dan tidak pernah diketahui siapa yang telah melakukan tindakan kriminal ini. Menurut cerita, dua orang Mariri ini hanya datang memancing ikan di Teluk Oeki, namun dipagi harinya mereka telah tewas terbunuh. Ini adalah di antara beberapa kasus pembunuhan yang terjadi di negeri ini.

Setelah melakukan pertemuan dengan Raja, Djogugu, dan para petinggi Kerajaan Bolango Oeki, Wilken dan Schwarz beristirahat semalam di negeri itu. Keesokan hari di tanggal 30 Juni 1866 mereka akhirnya kembali ke Kerajaan Bolaang Mongondow setelah menikmati berbagai keindahan yang disuguhkan oleh Teluk Oeki.

Adapun perkembangan informasi terkait tragedi pembajakan kapal Jepang di Pulau Tiga semakin memanas. Selang beberapa minggu setelah perjalanan mereka dari Kerajaan Bolango Oeki, datang kabar bahwa para tersangka pembajakan kapal itu termasuk pangeran palsu dari Gorontalo telah dihukum gantung di Manado.

Terjadi pro-kontra di Kerajaan Bolaang Mongondow dan Bolango Oeki menanggapi eksekusi ini. Namun Wilken dan Schwarz menganggap bahwa tidak memandang siapapun, tindakan kejahatan harus dihukum secara tegas. Ini juga untuk memberi mereka pelajaran bahwa mereka perlu terbuka dengan orang asing, bukan hanya orang Eropa, Cina, dan Arab, tapi semua orang harus dihargai secara manusiawi.

 

Rencana ke Mongondow yang ‘Gagal’

Pasca perjalanan singkat ke negeri Bolango Oeki, terbesit dalam benak Wilken dan Schwarz untuk mengadakan perjalanan lagi ke negeri Sangkoeb. Sayangnya mereka tidak tahu di mana letak negeri ini. Nanti setelah mereka sampai kembali ke Bolaang, barulah mereka diberitahu bahwa Teluk Oeki adalah setengah perjalanan menuju negeri tersebut. Yang artinya, negeri Sangkub sebenarnya tidak terlalu jauh lagi dari Teluk Oeki.

Mendengar percakapan orang-orang Bolaang, mereka menggambarkan letak geografis Sangkub seakan berada di dekat pegunungan Mongondow. Mereka berkata bahwa Sangkub adalah sebuah negeri yang terletak di pedalaman. Sehingga itu Wilken dan Schwarz mengira bahwa pedalaman Mongondow dan Sangkub itu searah perjalanan sehingga nanti, bila mereka datang ke Mongondow, mereka akan menyempatkan juga waktu ke sana.

Namun keliru, pedalaman Mongondow dan negeri Sangkub memiliki arah jalan berbeda. Karena itu mereka berdua kembali merencanakan perjalanan untuk datang ke Sangkub. Ini juga berkat dukungan dari Djogugu Bolaang yang ternyata beliau juga telah mengirim surat ke Bintauna prihal kedatangan dua orang ini bersamaan dengan surat yang beberapa waktu lalu dikirim kepada Djogugu Bolango Oeki.

Meski begitu besar hasrat Wilken dan Schwarz untuk datang ke Sangkub ditambah dukungan penuh antusias dari Djogugu Bolaang agar mereka bisa berkunjung ke sana, muncul dilema yang besar dalam benak mereka untuk mendahulukan perjalanan apakah harus ke Sangkub terlebih dahulu atau ke pedalaman Mongondow?!. Tiba-tiba keinginan yang lebih besar mengarahkan mereka berdua ke pedalaman Mongondow, negeri yang terisolasi di banding negeri-negeri yang lain di Kerajaan Bolaang.

Mengetahui apa yang mereka fikirkan, Djogugu lebih mengarahkan mereka berdua untuk datang ke Sangkub, Bintauna, Bolang Itam, bahkan hingga ke Kaidipan. Djogugu tidak menyarankan mereka ke Bolaang, bahkan beliau mempertegas bahwa Raja tidak akan merestui dan mentolelir bila Wilken dan Schwarz harus nekat tetap memaksakan diri melakukan perjalanan ke pedalaman Mongondow.

Sikap Raja Bolaang yang tegas memunculkan kecurigaan Wilken dan Schwarz bahwa ada sesuatu yang mungkin saja disembunyikan oleh Raja dan Djogugu di pedalaman Mongondow. Meski niat kuat mereka harus ke sana, namun karena tidak ada dukungan Raja dan Djogugu maka perjalanan ke sana kemudian mereka batalkan. Sepertinya Raja dan Djogugu lebih senang dan antusias bila dua orang ini melakukan perjalanan saja ke Bolango Oeki, Sangkub, dan negeri-negeri setelahnya.

Sebenarnya perjalanan ke Sangkub, Bintauna, Bolang Itam, hingga Kaidipan tidak ada dalam rencana perjalanan Wilken dan Schwarz. Perjalanan mereka sebenarnya hanya ke Kerajaan Bolaang Mongondow dan Kerajaan Bolango Oeki. Namun untuk mengalihkan niat mereka berdua dari Mongondow, maka atas rekomendasi Raja dan Djogugu, perjalanan itu dialihkan saja ke empat wilayah besar pesisir di atas. Mereka berdua akhirnya dengan terpaksa setuju atas keputusan ini.

Negeri Sangkoeb

Negeri Sangkoeb berada di luar Bintauna, tepatnya dibagian pedalaman setelah melewati sungai besar Bintauna dengan menggunakan perahu untuk menuju pedalaman Sangkoeb. Saat melewati sungai besar ini, mereka mengalami kesulitan karena kuatnya arus sungai sehingga masyarakat kadang melewati jalur alternatif lain yakni melalui jalan desa. Jalan ini agak ekstrim karena melewati hutan rimbun. Biasanya bila hujan lebat, jalan darat ini akan terendam banjir oleh sungai Sangkoeb. Wilayah ini berbatasan langsung dengan negeri Bolaang. Di sana terdapat sekitar 50 – 100 rumah tangga.

Raja Bintaoena juga tingga di wilayah Bolaang Mongondow. Raja ini berkuasa atas tiga negeri yaitu; Bintaoena, Baloedawa, dan Dolodoeo yang masing-masing negeri ini juga terdapat sekitar 100 rumah tangga. Tidak jauh dari Dolodoeo terdapat tiga negeri di kawasan Doemoga atau Roemoga atau juga Loemoga. Tiga negeri di kawasan ini antara lain; Tapatoempang, Mahag, dan Boeboengon. Perjalanan dari Bintaoena ke Doemoga memakan waktu sekitar tiga hari melalui medan ekstrim jauh ke dalam pegunungan yang berbahaya.

Tidak jauh pula dari Bintaoena adalah negeri Bolang-Itam yang memiliki sekitar 50 rumah. Negeri ini tidak terlalu jauh dari Kaidipan. Dahulu dikedua negeri ini terdapat komunitas masyarakat Kristen namun kemudian mereka memeluk Islam. Di sini juga pernah ada sekolah zending dengan Kepala Sekolah Br. Hellendoorn sekitar tahun 1832. Dari laporan singkat catatan perjalanan guru misi ini, nampaknya ia hanya mengunjungi negeri Bolaang, Bintaoena, dan Bolang-Itam.

Di sebelah utara negeri Bolaang, antara Mariri dan Nanasi terdapat sebuah negeri yang bernama Nonapan. Negeri ini baru diketahui oleh Wilken dan Schwarz saat mereka kembali ke Manado tapi mereka tidak mengunjungi lagi tempat itu. Menurut informasi yang mereka dapat, di Nonapan terdapat sekitar 20 – 40 kepala keluarga. Dari waktu ke waktu juga orang Passi datang ke sana untuk memasak garam dan mengangkap ikan.

Catatan Akhir

Saya bersyukur akhirnya bisa menyelesaikan tulisan pada bagian pertama perjalanan Wilken dan Schwarz yang berjudul ‘Verhaal Eener Reis Naar Bolaang-Mongondou (hlm. 1-41)’, dalam kumpulan laporan Madedeelingen Van Wage Het Nederlandsche Zendelinggenootschap Th. 1867. Saya menghitung kurang lebih membutuhkan waktu sekitar tiga bulan untuk menuntaskan catatan ini sejak bulan April hingga Juli tahun 2021 ini.

Informasi dalam catatan ini diharapkan bisa menambah wawasan kita semua untuk mengetahui masa lalu entitas Bolaang Mongondow berdasarkan perspektif Nederlandsentris yang masih sangat dibutuhkan untuk melengkapi bagian-bagian yang hilang dari kolektifitas historis Bolaang Mongondow disamping tradisi lisan dan sejarah lisan yang ada.

Apa yang ditulis ini bukanlah sebuah kebenaran mutlak yang harus diyakini membabi-buta. Sebagai penulis yang membaca dokumen ini dengan segala keterbatasannya, saya juga mengharapkan kedepan ada juga kawan-kawan pegiat sejarah lokal Bolaang Mongondow yang kelak akan menerjemahkan catatan Wilken dan Schwarz ini dan coba mengulas berdasarkan interpretasi mereka masing-masing agar tulisan ini bisa dikritisi dan dikaji kembali secara teliti.

Perlu juga diketahui bahwa ulasan tulisan yang saya beri judul “Catatan Perjalanan Wilken dan Schwarz di Bolaang Mongondow” ini hanyalah bagian pertama dari laporan Madedeelingen Van Wage Het Nederlandsche Zendelinggenootschap Th. 1867. Masih ada sekitar 12 BAB yang belum diulas dari kumpulan laporan ini. Mungkin setelah catatan ini, akan ada lagi ulasan-ulasan yang lebih asik tentang sejarah Bolaang Mongondow Raya yang saya hadirkan untuk para pembaca sekalian.

Saya berkeyakinan, meski dengan segala keterbatasan yang dimiliki oleh saya dan kawan-kawan pegiat sejarah di Pusat Studi Sejarah Bolaang Mongondow Raya (PS2BMR), perlahan tapi pasti kami akan tetap berusaha menghadirkan ulasan karya-karya tersebut ke hadapan para pembaca, yang tentu berdasarkan interpretasi yang bisa kami tangkap dari maksud Wilken dan Schwarz dalam tulisan mereka. Ini juga menjadi tantangan bagi kami untuk terus menggali dan merekonstruksi kembali sejarah lokal kita sebagai warisan masa lalu demi membangun masa depan yang lebih baik. (END)

 

 

Komentar