Perjalanan Wilken dan Schwarz di Bolaang Mongondow (Bag. 4)

Oleh.

Murdiono Prasetio A. Mokoginta

Tiap hari Minggu, Wilken dan Schwarz mengikuti ibadah Kristiani. Ibadah dilaksanakan dengan sederhana dan biasanya dilakukan bersama persekutuan. Mereka berdoa pada Tuhan untuk kelancaran pekerjaan yang mereka lakukan selama berada di Kerajaan Bolaang Mongondow. Tempat mereka melaksanakan ibadah adalah bangunan sangat sederhana. Kadang juga di alam yang terbuka. Mereka melakukan ibadah dengan sedikit masyarakat yang berada di sana.

Nampaknya masyarakat sebagian besar tidak terlalu faham tata cara ibadah gereja hingga bukan sibuk dengan doa dan pujian, malah banyak peserta ibadah yang mondar-mandir dan melakukan berbagai macam tindakan yang tidak perlu. Ketenangan dan keheningan peribadahan orang di pedalaman Mongondow sedikit lebih baik daripada oleh orang-orang di pesisir Bolaang.

Selain ibadah, Wilken dan Schwarz menunjukan kepada raja dan para bangsawan tentang adab Kristen mulai dari tata cara berdoa sebelum makan, dan kebiasaan lainnya. Raja dengan senang hati dan penuh toleransi membolehkan demikian meski itu nampak asing bagi beliau.

Perjalanan ke Nanasi (26 Juni 1866)

Wilken dan Schwarz melakukan perjalanan ke Nanasi melalui jalur laut dengan perahu yang difasilitasi oleh Djogugu untuk mereka. Tak hanya itu, Djogugu juga menunjuk seorang juru mudi dan dua pendayung yang ditugaskan mengantarkan mereka berdua ke tempat yang dituju ini.

Di atas perahu mereka berdua duduk dalam roefje yang oleh penduduk Bolaang disebut ‘kurung’ seperti bentuk sebuah pondok kecil di atas perahu sehingga mereka berdua merasa seakan terkurung di dalam sangkar. Pondok ini dibuat dari rajutan daun palem dan hampir menutupi perahu sehingga tak ada pemandangan keluar. Tidur pun hanya bisa dengan posisi berbaring ke bawah karena sempitnya kurung ini.

Menuju Nanasi tidak ada pemandangan indah pasir putih, bebatuan yang terlihat di bawah sinar matahari. Dalam pandangan Wilken dan Schwarz, orang Bolaang adalah tipe penakut dengan lautan. Meski penduduk pesisir tinggal di pantai dan disuguhkan pemandangan lautan, memancing ikan tiap hari, namun tidak ada keberanian mengarungi samudera. Mereka tidak mau mengambil resiko ke sana di tengah lautan luas yang tak pasti.

Orang Bolaang tidak memiliki pengetahuan yang cukup luas dalam bidang ilmu bahari. Jalur pelayaran mereka hanya disekitaran pesisir antara satu tanjung ke tanjung yang lain, rawa atau teluk, dan berlayar hanya di sekitaran saja. Mereka berlayar sangat lambat dan hati-hati. Bahkan bila menuju Manado perjalanan akan sangat terasa lama hingga berhari-hari, berminggu-minggu, bahkan bila Raja ke sana kadang bisa lebih dari sebulan pulang dan pergi.

Dengan menggunakan perahu, perjalanan dari pantai Bolaang menuju Nanasi memakan waktu kurang lebih tujuh jam. Mereka berangkat dari Bolaang pada pukul 08.00 dan akhirnya tiba di mulut Poigar pada sore harinya sekitar pukul 15.00.

Sebuah ‘Poton (Pantangan)’ di Tanjung Nonapan

Melewati tanjung Nonapan ada poton atau pantangan yang tidak bole dilanggar oleh para pendatang yang dipercayai para penduduk di sana. Pantangan itu antara lain; Seseorang tidak boleh bernyanyi, berbicara dengan suara keras, membawa payung, semua ornamen emas, toloe (topi jerami petani) warna kuning, dan jenis apapun yang berwarna kuning sebelum lewat harus dibuang. Kata bai (putri) tidak boleh diucapkan. Jika poton atau pantangan ini dilanggar maka akan menyebabkan kecelakaan di kawasan itu.

Wilken bertanya kepada juru mudi akan kebenaran mitos ini tapi mereka tidak tahu jawabannya. Mereka tidak tahu cerita atau hikayat yang menjadi permulaan munculnya pantangan ini. Saat menjawab pun, mereka hanya berkata bahwa “ini adalah kebiasaan dan kepercayaan dari para pendahulu kami”.

Rasa penasaran akan poton ini membuat Wilken dan Schwarz sempat mencari informasi  kepada penduduk asli yang tinggal di Nonapan setiba di sana. Akhirnya mereka menemukan juga cerita rakyat yang meskipun belum memuaskan rasa penasaran mereka, namun cukup untuk menjelaskan asal-usul akan poton yang tidak bole dilanggar saat melewati tanjung Nonapan seperti cerita berikut:

Menurut cerita rakyat, dahulu kala di dekat hulu sungai Nonapan hiduplah suku Boelan dengan pemimpin mereka yang bernama Obodia. Para bai dari negeri itu dari waktu ke waktu datang mandi ke sungai sehingga sungai itu pun dikeramatkan. Alasan mengapa warna kuning tidak boleh dipakai di sana karena dahulu di sungai itu hidup seekor ikan dengan sisik emas. Bila ikan itu ditangkap, ikan akan mati dan sisik emasnya pun ikut lenyap. Orang yang menangkap ikan itu pun ikut mati bersama ikan yang ia tangkap.

Akar-akar dari semak belukar di sungai itu pun semuanya dilapisi emas. Tapi saat emasnya di ambil, ia langsung berubah menjadi debu atau tanah biasa. Itulah sepengal cerita yang menjadi asal-usul munculnya poton di atas.

Tiba di Nanasi

Perjalanan ke Nanasi dimulai dari daratan mulut Poigar lalu masuk ke hutan dan melewati beberapa taman di sana. Jarak perjalanan mereka dari lokasi awal ke Nanasi kurang lebih sekitar setengah paal.

Nama Nanasi diambil dari nama buah-buahan yang banyak tumbuh subur di wilayah itu. Saat Wilken dan Schwarz datang, hal itu tidak nampak lagi selain hanya semak-semak bekas lahan tumbuhnya buah ini yang masih nampak. Di sana juga banyak terdapat babi yang berkeliaran bebas di sepanjang jalan menuju ke sana.

Tempat itu terlihat tidak begitu luas dengan 17 rumah yang berdiri kumuh dan buruk. Sebagian besar warga di sana sedang memanen padi untuk kebutuhan mereka. Sayangnya kedua orang ini tidak mendapat sambutan baik oleh penduduk di sana saat mereka datang. Ini terbukti dengan pesan yang disampaikan oleh Hukum Tua mereka kepada para penduduk di sana bahwa ia tidak bisa menerima dua pendatang ini. Saat kedatangan mereka pun, Hukum Tua sedang tidak berada di negeri itu.

Lanjut ke Poigar

Dari Nanasi Wilken dan Schwarz melanjutkan perjalanan ke Poigar. Wilayah ini terdiri dari dua pemukiman milik distrik Kawangkoaan dan Romoong yang berbatasan dengan Minahasa dan Bolaang. Minahasa merupakan negeri yang berada di bawah Residen Manado sedangkan Bolaang adalah negeri kediaman raja yang berada dalam pengaruh dan kuasanya.

Nanasi berada hampir tidak jauh dari Poigar. Penduduk di sana memiliki hubungan interaksi yang baik antara satu dengan lainnya. Sayangnya terdapat perbedaan yang cukup besar mengenai taraf kehidupan dua wilayah ini.

Wilken dan Schwarz berpendapat, seandainya negeri-negeri ini (Nanasi dan Poigar) berada di bawah Residen Manado tentu mereka akan memiliki taraf hidup yang lebih layak dibading berada di bawah penguasaan Raja Bolaang Mongodow.  Dengan Residen Manado mereka tentu akan mendapat tempat tinggal yang layak, jalan-jalan kampung yang teratur dan baik, tapi harus memastikan bahwa mereka setia dan taat hanya kepada Residen saja.

Di negeri Poigar ada sedikit gesekan antara penduduk dari distrik Romoong dan Kawangkoaan. Saat Wilken dan Schwarz datang ke rumah hukum tua Romoong, dari sana, mereka tidak lagi diizinkan melewati distrik Kawangkoan. Padahal mereka hanya minum secangkir kopi bersama Hukum Tua dari Romoong.

Guru misi di sana bernama Br. Ulfers. Ia mengajar dengan penuh dedikasi tinggi dengan harapan yang besar. Namun sayangnya kondisi kelas tidak memadai. Bahkan gereja di sekolah tempat beliau mengajar mengalami kerusakan yang parah dan menyedihkan.

Hampir sehari Wilken dan Schwarz melakukan perjalanan ke negeri Nanasi dan Poigar. Saat matahari mulai terbenam mereka segera kembali ke perahu yang membawa mereka ke sana dan melalui  hutan dan taman di mana sudah mereka lewati. Kembali pulang dengan melewati lautan, mereka akhirnya tiba tepat di pantai Bolaang tepat di tengah malam.

(Bersambung)

*Penulis adalah Ketua Pusat Studi Sejarah Bolaang Mongondow Raya (PS2BMR)           

 

 

Komentar