Catatan Perjalanan Wilken dan Schwarz di Bolaang Mongondow (Bag. 5)

Oleh.

Murdiono Prasetio A. Mokoginta

Kerajaan Bolango – Uki

Setelah pulang dari Nanasi dan Poigar, Wilken dan Schwarz berencana melakukan perjalanan ke sebuah kerajaan yang bernama Bolango – Uki. Kerajaan ini berada sekitar sebelas, dua belas tempat bertengger dari Bolaang. Sepucuk surat mereka kirim kepada Raja Bolango-Uki meminta izin berkunjung ke negeri itu. Juga meminta izin perjalanan kepada Djogugu Bolaang dan meminta agar beberapa pangeran dari Bolaang dapat menemani perjalanan.

Pagi hari tanggal 29 Juni 1866 Djogugu telah menyiapkan sebuah perahu kano yang siap mengantar mereka. Dua orang ini pun dengan senang hati menerima bantuan Djogugu dan siap melakukan perjalanan ke negeri Bolango-Uki.

Perahu kano mengantar mereka hingga ke mulut sungai Inobonto, sampan juga mereka tinggalkan sementara di pinggiran sungai itu. Mereka masuk ke arah hutan yang berkisar 1/4 paal dari tempat mereka menepikan perahu. Berjalan ke sana, beberapa pangeran menceritakan kepada mereka apa yang tidak akan mungkin mereka dengar dari Raja dan Djogugu. Tiap informasi dan cerita ini kemudian dicatat oleh Wilken dan Schwarz sepanjang perjalanan.

Tempat bernama ‘Toloetoeg’

Para pangeran menunjukan Wilken dan Schwarz sebuah tempat bernama ‘Toloetoeg’. Sebuah pemandian yang berada di tepi laut. Toloetoeg artinya ‘jatuh’ karena air di sini berasal dari sebuah batu di atas gunung Lombagin dan jatuh ke bawah. Tempat itu akhirnya dinamai demikian.

Toloetoeg terletak di kaki gunung Lombagin di bawah pohon rindang. Air muncul dari batu di atasnya lalu turun dengan tetesan yang tidak terlalu deras lalu mengalir ke sebuah batu berbentuk mangkuk yang dilubangi oleh alam. Air ini muncul sejak orang Lombagin masih tinggal menetap di gunung itu. Toloetoeg juga menjadi tempat pemandian khusus seorang putri yang bernama Tombaga setiap hari.

Ketika putri ini meninggal, jiwanya masih dipercaya selalu datang ke tempat itu dengan memelihara udang dan belut yang menjadi teman bermainnya sehingga hadirnya memenuhi tempat itu dengan bau aroma balsemik.

Di tempat ini ada ‘Poton (pantangan)’ misalnya; diperbolehkan untuk mengambil air dan mandi tapi dilarang membuat kegaduhan dan keributan yang tidak perlu seperti berbicara keras, berteriak, atau menembak, menangkap belut dan udang yang merupakan teman bermain Tombaga. Bila pantangan ini dilanggar maka akan menyebabkan seseorang menjadi gila bahkan mati mendadak.

Meski begitu, Wilken dan Schwarz menulis bahwa saat datang mereka tidak melihat udang besar dan belut di sana. Mereka juga tidak terlalu terpengaruh dengan bau balsem yang menyebar di tempat itu.

Tidak perlu berlama-lama di sana, mereka semua langsung balik ke perahu tadi untuk menghilangkan kecanggungan para pangeran yang begitu menjaga adab dan menghormati Toloetoeg. Mereka mungkin mengantisipasi hal-hal buruk yang bisa saja menimpa mereka saat berada di sana. Di semak-semak yang mereka lewati juga nampak kuburan batu peninggalan orang Bolaang saat masih tinggal di gunung Lombagin.

Cerita Batu Ijan

Saat perahu berjalan sedikit ke selatan melewati Lombagin, rombongan Wilken dan Schwarz melewati sebuah batu besar di dekat sebuah pohon pinggiran pantai yang dihormati dan dianggap suci oleh orang-orang Bolaang.

Di tanjung Ompo sedikit lebih jauh ke laut sebuah negeri yang bernama Tondoga terhubung di sana. Karena melanggar pantangan ‘todoegia (togudia)’ yang seringkali dengan mudahnya mengucapkan kata-kata haram dan terlarang seperti ‘wali’, loba’, dan walo’, mereka dihukum oleh arwah nenek moyang.

Di atas perahu, Wilken dan Schwarz tidak diberi tahu apa arti kata ‘wali’, loba’, dan walo’. Mereka hanya memahami dari raut wajah rombongan yang seperti takut mengucapkan kalimat ini saat melewati tempat itu. Saat dua orang ini makin penasaran dengan kisah sebenarnya yang terjadi di sana, seseorang mengambil kertas dan menulis arti tiga kata itu kepada Wilken dan Schwarz tanpa mau mengucapkannya melalui lisan.

Lalu apa yang sebenarnya menimpa negeri dan penduduk Tondoga?

Berdasarkan kisahnya, negeri ini dihukum dengan bencana besar dan mengerikan berupa banjir besar yang dengan cepatnya langsung meneggelamkan negeri ini dan semua penduduknya di dasar lautan yang dalam. Hanya sedikit orang yang lolos dari bencana besar ini salah satunya seorang lelaki yang bernama ‘Ijan’. Ia lolos dari bencana ini karena kebetulan saat itu ia sedang tidak berada di sana. Ia sering melarikan diri dari Tondoga ke wilayah pantai Lombagin untuk mengembara.

Mengetahui negerinya tenggelam dalam bencana yang dahsyat itu, ia merenung, menyendiri dan menjadi putus asa. Dia lalu duduk di batu besar di pantai untuk merenungkan ketakutannya akan malapetaka di negeri asalnya. Dalam keputusasaan itu, dia memohon dan berdoa kepada arwah leluhur agar ikut menenggelamkannya ke dasar lautan bersama para penduduk negeri Tondoga yang dihukum. Doanya terkabul dan Ijan pun tenggelam ke dasar laut bersama penduduk yang dirindukannya.

Sejak itu batu tempat di mana lelaki itu menyepi dan menyendiri di namakan ‘Batu Ijan’. Tempat itu lalu dikramatkan dan ada ‘poton’ yang berlaku di sana. Siapa saja yang berlayar dan lewat di tempat itu tidak boleh mengganggu keheningan dengan berbicara keras atau berteriak di sana. Bila terjadi bencana atau ada wabah yang terjadi di Lombagin dan sekitarnya, para penduduk Bolaang membawa persembahan untuk diletakan di batu ini. Namun yang bole melakukan ritual ini hanya keturunan Ijan.

Siapa Keturunan Ijan?

Keturunan Ijan yang dimaksud sebenarnya bukanlah keturunan langsung dari seorang yang bernama Ijan sebagaimana yang diceritakan di atas. Di Lombagin pernah hidup seorang pria tanpa anak meski sudah melakukan segala cara agar dapat memilikinya. Ia lalu melaksanakan sebuah ritual dan persembahan di batu Ijan itu dan akhirnya memiliki anak yang kelak dijuluki sebagai ‘keturunan Ijan’.

Ia membuat ritual di batu Ijan dengan meletakan kemenyam di atas batu Ijan. Setelah itu ia meletakan perahunya di pantai dan berlayar menuju tempat di mana negeri Tondoga dahulu berada. Di atas lautan itu ia membuat pengorbanan ke dua melalui sepiring gerabah putih, sedikit uang senilai dua puluh, membuang uang receh dan sedikit gabah ke laut, berdoa kepada arwah nenek moyang untuk pengampunan (yaitu penghapusan hukuman) dan membuat janji perbaikan.

Di tahun 1861 di wilayah Bolaang terjadi bencana hujan berkepanjangan dan badai terus menerus sehingga selama berminggu-minggu masyarakat di larang untuk melaut dan berkebun. Pada kesempatan itu kemenyam dipersembahkan oleh Raja terlebih dahulu, lalu setelahnya Djogugu dan mereka berdoa di atas kuburan ayah para pangeran.

Batu Toimoi

Sama dengan Batu Ijan, batu Toimoi juga dianggap sakral dan keramat oleh penduduk Bolaang. Letaknya berada sekitar satu setengah jam ke selatan dari Batu Ijan di tanjung Ompo. Batu ini juga memiliki kaitan erat dengan tragedi yang terjadi di negeri Tondoga dan penduduknya karena sebuah bencana dahsyat.

Nama batu Toimoi diambil dari nama seorang wanita penduduk Tondoga yang juga selamat dari bencana itu. Dia terdampar di tepi pantai dan duduk di sebuah batu. Di tempat itu ia merenungkan nasib dirinya dan merasa sedih. Ia berdoa kepada arwah nenek moyang agar ikut menenggelamkannya dengan penduduk negeri Tondoga dan terkabul.  Menurut kepercayaan penduduk sekitar di batu itu bersemayam jiwa gadis itu.

Di sekitar batu Toimoi terdapat poton atau pantangan yang tidak boleh dilanggar oleh para orang yang datang atau lewat. Orang-orang tidak bole membuat keributan seperti bersuara keras atau berteriak. Orang-orang juga membuat ritual dan berkorban di sana seperti meletakan dua buah pinang dan perlengkapannya dan saat lewat berdoa kepada Toimoi agar panjang umur, tidak mendapat penyakit dan kesialan dalam perjalanan.

Menurut cerita ada saat di mana seorang ibu dan anaknya yang lewat di batu Toimoi meletakan pengorbanan dan ritual di sana. Mereka lalu berdoa seperti kalimat berikut:

“O,, Toimoi! aku telah memberimu pinang. Sekrang biarkan aku lewat di tempat ini tanpa gangguan, dan buatlah anakku menjadi sehat dan tidak sakit.”

Selain cerita yang telah umum di atas, ada lagi versi cerita lain tentang Batu Toimoi. Cerita versi berbeda ini tidak terdapat dalam puisi kebanyakan. Cerita ini bahkan tidak terdapat dalam tradisi dan cerita rakyat ini. Cerita yang dimaksud biasanya dikisahkan dengan lebih hidup, tertawa, ditambah dengan gerakan sehingga terasa lebih hidup. Intinya cerita dengan cara ini membuat Wilken dan Schwarz tidak mengerti apa yang dimaksud oleh penutur.

Di sebuah sumur dekat Batu Toimoi mereka singgah makan di situ sekedar mengisi tenaga untuk melanjutkan perjalanan. Para pendayung datang memanggil Wilken dan Schwarz kembali ke perahu karena mereka akan segera kembali melanjutkan perjalanan. Dalam perjalanan mereka, di tepian pantai nampak gubuk-gubuk nelayan dan orang-orang yang sedang memasak garam dan menangkap ikan.

Tak beberapa lama mereka mulai mendekati sebuah pulau tak berpenghuni yang bernama Pulau Molosing yang berada tepat di depan Motabang. Bisanya budak-budak raja datang ke sana untuk mengangkap penyu yang muncul di waktu-waktu tertentu.

Mereka terus melanjutkan perjalanan hingga melewati batu besar di tepi pantai di sebuah tanjung sebelum teluk Oeki. Batu ini bernama Bilangbilang yang juga memiliki cerita yang unik. Hanya saja Wilken dan Schwarz memilih diam dan tidak lagi menanyakan asal-usul batu itu. Sebelum tiba di teluk Oeki mereka juga melewati satu pulau yang dinamai Pulau Tikus yang berada tidak jauh dari kawasan Batu Bilangbilang.

Biasanya kapal besar hanya bisa melewati teluk Oeki melewati selatan Pulau Tikus karena saat berlabuh melalui teluk itu terasa lebih aman dari hembusan angin yang kuat dari laut. Pemandangan indah teluk Oeki menyambut kedatangan orang-orang ini. Gunung dan bukit menjulang tinggi, di tepi teluk berdiri pepohonan rimbun yang tercermin indah dalam bayangan riak ombak. Laut berwarna biru dan hijau begitu jernih terlihat sehingga dasar laut yang terdapat terumbu karang dan tumbuhan laut bisa terlihat jelas dari perahu mereka.

Sebuah teluk kecil indah yang menjadi surga bagi para nelayan untuk menangkap ikan demi penghidupan mereka. Kesejukan di sana terasa menyenangkan para pendatang dari Bolaang yang turut membawa serta Wilken dan Schwarz. Bagi mereka penat dan peluh panasnya matahari tersejukan oleh warna hijau alam, tenangnya lautan, dan semua keindahan dari wujud teluk Oeki ini.

Seorang pangeran bertanya kepada Wilken, “Apakah tuan melihat pulau kecil di sisi selatan teluk sana?.” Yang ia maksud adalah Pulau Nanasi dan gunung di sekitar sana yang menjulang tinggi di mana puncaknya berbentuk mahkota yang terbakar. “Gunung itu adalah Gunung Boentalo” sambung pangeran itu kepada dua orang ini. Sekarang pangeran ini akan menceritakan cerita rakyat tentang tempat yang baru saja ia tunjuk. (BERSAMBUNG)

*Penulis adalah Ketua Lembaga Riset Pusat Studi Sejarah Bolaang Mongondow Raya (PS2BMR)

 

Komentar