Nda Pandendam Tapi Pang ba Inga

Oleh:
Murdiono Prasetio A. Mokoginta

Tagar (#) Jawa tiba-tiba menjadi trending di twitter pada Jumat (17/07/2020). Hal ini karena postingan salah satu pengguna Instagram yang mengunggah peta Pulau Jawa yang dibagi berdasar perbedaan bahasa dan dialek.

Banyak yang merespon melalui laman komentar unggahan tersebut. Ada yang tersinggung, ada juga yang membalas postingan itu dengan memberikan penjelasan tentang kelebihan dialek dan bahasa Jawa. Ada juga yang menganggap postingan itu mendiskriminasi suku Jawa.

Masih dengan orang Jawa yang tersinggung ketika Ustadz Tengku Zulkarnain membuat pernyataan dalam suatu ceramahnya yang viral di youtube. Dalam ceramahnya, beliau memberi pernyataan,, “Kalau Jawa pulang nampak idung, karena dia mundur jalannya. Biarkan kami ustad-ustad Sumatera dengan gaya Sumatera.”

Ustadz menyinggung mengenai budaya jalan mundur yang biasa berlaku dalam adat dan kebudayaan Jawa. “Mulutmu harimaumu”, sebagaimana kata pepatah, beliaupun  akhirnya dilaporkan kepada pihak kepolisisan.

Masih soal ketersinggungan suku. Dari Jawa, kita kini beranjak ke masyarakat Minang Sumatera Barat yang tersinggung dengan ucapan Puan Maharani saat penyerahan SK untuk pasangan Cagub-Cawagub Sumatera Barat, Mulyadi dan Ali Mukhni.

“Semoga Sumatera Barat menjadi Provinsi yang memang mendukung Pancasila.”

Itulah petikan kalimat yang membuat bukan hanya masyarakat Minang tersinggung, tapi menjadi trending dalam beberapa pemberitaan nasional di awal bulan September lalu.

Nampaknya, beberapa kasus di atas cukup menjadi dasar untuk memaklumi ketersinggungan masyarakat Bolaang Mongondow baru-baru ini saat Raja mereka dipentaskan secara terhina di atas panggung teater Cahaya Bidadari Minahasa Pingkan Matindas karya sutradara Achi Breyvi Talanggai.

Tak perlu lagi mengurai konten teater ini dari perspektif sejarah dan sastra. Saya rasa, berbagai macam tulisan, diskusi kesejarahan yang dilaksanakan di Bolaang Mongondow akhir-akhir ini dirasa cukup membuat masyarakat paham melihat kebenaran berdasarkan perspektif sejarah dan hasil imajinasi sastra.

Hanya saja kita perlu menyadarkan mereka (Sutradara dan semua yang terlibat) kembali bahwa masalah hinaan terhadap Raja Bolaang Mongondow yang dipentaskan secara “keji” dan “cabul” tidak akan menjadi angin lalu. Ini tida menjadi dendam, hanya disimpan sangat dalam di hati dan perasaan kami.

Ketika saya ikut bersama lima dinas kebudayaan se Bolaang Mongondow Raya (BMR) ke Manado untuk misi ‘tampangan dodob’ ke Dinas Kebudayaan Provinsi Sulawesi Utara, Kamis (5/11/2020), saya berbicara dihadapan sutradara bahwa salah satu solusi untuk mempertanggungjawabkan kesalahannya hanyalah memenuhi sanksi-sanksi adat yang berlaku di Bolaang Mongondow.

Dengan banyaknya pihak-pihak yang seakan melindungi sang sutradara, atau bahkan faktor lainnya, ia bisa saja bebas dari hukum yang kini tengah dilaporkan oleh beberapa ormas adat yang ada di Bolaang Mongondow yang menempuh jalur hukum.

Tanpa mempertanggung jawabkan melalui jalur ‘Oadatan’, ia tidak akan pernah bebas dari “odi-odi” 500-600 ribu masyarakat Bolaang Mongondow yang merasa tersinggung karena pementasan teater itu.

Jika sang sutradara tidak memenuhi sanksi adat yang berlaku, maka akan diceritakan turun-temurun oleh orang Bolaang Mongondow bahwa sutradara teater Cahaya Bidadari Minahasa Pingkan Matindas yang ‘bernama Achi Breyvi Talanggai’ pernah mementaskan hinaan yang ‘keji dan cabul’ terhadap raja Bolaang Mongondow, raja kita, yang merupakan simbol kehormatan dan teladan dalam kebudayaan dan adat-istiadat kita.

Mengapa harus ‘Oadatan’ ?

Ada orang yang menganggap bahwa suatu komunitas masyarakat yang cenderung meninggikan adat istiadat, adalah komunitas masyarakat yang tertinggal. Namun bagi masyarakat berpengetahuan, mereka faham bahwa tujuan pendidikan adalah mewariskan kebudayaan.

Bukankah tujuan sang sutradara menampilkan tetater itu adalah menghargai kebudayaan dan karya kesusastraan?, Jika sutradara benar-benar menghargai kebudayaan, ia harus merenungkan pendapat seorang antropolog ternama di Indonesia, Koentjaraningrat, yang berpendapat bahwa sistem nilai budaya merupakan tingkat yang paling tinggi dan abstrak dari adat-istiadat. Intinya, seseorang yang mengaku berkebudayaan harus menghargai adat-istiadat yang berlaku di komunitasnya atau orang lain yang berbeda suku atau bangsa dengannya.

Achi juga harus memahami bahwa dalam suatu masyarakat, ada kebudayaan yang memandang penting masa lampau dalam kehidupan manusia. Masyarakat Bolaang Mongondow masuk dalam tipe kebudayaan ini di mana kebanyakan dari masyarakatnya menjadikan pedoman tindakannya dari contoh-contoh atau kejadian-kejadian dalam masa lampau sebagai suatu  harga diri dan kehormatan.

Itulah sebabnya mereka marah ketika ada bagian masa lalu mereka yang dihina secara “cabul dan keji” sebagaimana dalam beberapa bagian tetater yang telah ditampilkan. Karena ‘Oadatan’ adalah hukum tertinggi yang diakui oleh komunitas Bolaang Mongondow, maka sebagai orang yang berbudaya, stutradara harus menghargai ini sebagai bukti keberbudayaannya.

Nda Pandendam, Tapi Pang ba Inga

Masyarakat Bolaang Mongondow membangun daerahnya dengan adat dan kebudayaan yang tinggi dan diakui sebagai landasan nilai kehidupan mereka. Jangan heran ketika menutup pidato, atau pembicaraan umum, seseorang selalu mengutip moto/ filosofi tutur bahasa kita yaitu “Mototompiaan, Mototabian, bo Mototanoban”.

Dampak di masyarakat Bolaang Mongondow pasca pagelaran teater Cahaya Bidadari Minahasa Pingkan Matindas karya sutradara Achi Breyvi adalah kesadaran sejarah. Mereka kemudian bisa kembali melihat masa lalunya setelah kian lama terbuai bujuk rayu masa depan tanpa arah yang jelas jika masih menjadi bagian utuh bersama Sulawesi Utara.

Kita kembali melihat masalalu kita, kejayaan dan kehormatan yang pernah kita genggam berabad-abad yang lampau. Gorontalo telah mendapat kembali kehormatannya. Apakah Bolaang Mongondow harus dibuai masa depan tanpa kepastian, dianggap tamu di rumah sendiri, hinaan dianggap angin lalu semata?

Imbas dari pagelaran tetaer ini membuka mata orang Bolaang Mongondow. Membuat mereka terbangun dari mimpi dan harapan semu. Membuat mereka melihat dan menyadari masa lalu mereka yang penuh kejayaan gemilang.

Jika pemerintah Provinsi, tokoh masyarakat Sulawesi Utara hanya mendiamkan masalah ini tanpa membantu mengembalikan harkat dan martabat masyarakat Bolaang Mongondow yang dihina dalam pentas itu, maka biarlah.

Ingatlah petuah orang tua di Bolaang Mongondow yang menasehati anaknya saat dibully dan dihina, “Dika tuli’an. Mani’ bonu kon gina, bo tayow namuna. Sin aka gina motulid, yo Tundu’on bi I Togi Kawasa kon dalan mopia”. Tiap masalah simpanlah di hati. Jangan ada dendam. Tanamkan dalam jiwa kita, bahwa jika masalah ini didiamkan oleh pemerintah provinsi, maka bersiaplah ‘Mobakid”, Menuju Provinsi Bolaang Mongondow Raya.(***)

*Penulis adalah Ketua Lembaga Pusat Studi Sejarah Bolaang Mongondow Raya (PS2BMR)

 

Komentar